Rabu, 12 Desember 2012

KISAH TANPA AKHIR

Kisah ini dimulai ketika pagi yang lembut menyapa sebuah kota. Kota kecil dengan pesona surga.

"Selamat pagi dunia."

Teriakan cempreng di balkon menggema. Dua buah tangan kecil terangkat tinggi-tinggi. Regangkan badan sedikit. Bengkok ke kanan lalu ke kiri. Mata mengerjap-ngerjap ringan, mencoba beradaptasi dengan terpaan matahari pagi.

"Hari, kamu bangun pagi sekali"

Suara jahil berbunyi. Wajah bahagia sirna diganti dengan lipatan-lipatan wajah menggemaskan.

"Kak Cinta, namaku Matahari bukan Hari. Kayak cowok aja sih"

"Kamu kan memang cowok" Cinta mengacak jahil rambut adiknya.

"Aku cewek kak, cuma ya memang bagian ini kecil" Matahari menatap dadanya dengan pilu.

Cinta serba salah. Dia sudah berjanji tidak akan membahas hal ini namun kebiasaannya memanggil Matahari cowok sedikit banyak membuka bagian itu.

"Obatnya Nona Matahari" 

Matahari tertawa riang, meraih obat dari suster dan menenggaknya dengan cepat. Lihatlah wajahnya cerah sekali seperti namanya. Tidak ada gurat sedih sehabis operasi. Tidak ada gurat penyesalan menghabiskan waktu remajanya di rumah sakit, terapi ini, terapi itu. Mengembalikan kondisinya seperti sedia kala. Sebelum  kanker payudara menyerang.

"Jam berapa anak-anak itu bangun?" tanya Matahari pada suster seraya menyisir rambutnya yang amat tipis.

"Sebentar lagi"

Suster hanya tersenyum. Matahari selalu ceria menyambut pagi. Berlari ke sana kemari. Berkunjung ke bangsal anak-anak. Melipat origami, menggambar, bercerita kepada mereka. Mengembalikan semangat hidup sekitarnya.

Matahari seutuhnya tahu hidupnya tinggal menghitung waktu. Entah beberapa tahun, bulan, besok, bahkan mungkin sore ini semua napas titipannya bisa diambil begitu saja. Matahari seutuhnya telah terbebas dari kanker payudara itu tetapi penyakit lain ternyata telah bersemanyam di dalam tubuhnya.

Banyak yang menatap prihatin gadis itu ketika mendengar semuanya. Namun lihatlah Matahari, dia tetap tersenyum seolah-olah semuanya baik-baik saja. Matahari tegar. Matahari kuat. Itulah yang selalu ingin dia tunjukkan kepada semua orang. Hatinya sudah terlanjur remuk melihat ke dua orang tua dan kakaknya menangis. Merutuki hidup sepanjang hari. Matahari tidak ingin melihat itu lagi. Dia hanya ingin meninggalkan semuanya dengan senyum.

"Kak Cinta ikut?"

Cinta mengangguk. Hatinya perih namun dia tetap tersenyum.

"Kak Candra gak ikut ke sini?" Matahari memulai pertanyaan menusuk.

Candra adalah tunangan Cinta. Sebelum tragedi Matahari yang sakit-sakitan terjadi, mereka telah berencana untuk segera menikah. Tapi semuanya pupus. Cinta sangat sayang terhadap adiknya, dia tidak ingin meninggalkan adiknya untuk kehidupan yang baru.

"Sampai kapan pernikahannya ditunda?" Matahari sudah menahan pertanyaan ini sejak lama.

"Kita bicarakan itu nanti saja. Ayo cepat, anak-anak mungkin sudah menunggu" Cinta menarik tangan Matahari.

Matahari terdiam, melepaskan tarikan tersebut dengan paksa. Keceriaan itu memudar.

"Matahari mau melihat kakak menikah sebelum Matahari meninggal"

Bibir tipisnya berkata lirih.

*

Bunga matahari merekah di sana sini. Para tamu dengan berbagai setelan baju tersenyum bahagia. Hari ini Cinta menikah sesuai dengan permintaan Matahari. Pipi Cinta merona merah, tangannya mengamit Candra ketika mengelilingi taman. Menyapa para undangan satu per satu.

"Konsep nikahmu bagus sekali. Bunga mataharinya cerah. Aku juga mau kayak gini nanti ya sayang" seorang tamu merajuk manja pada kekasihnya.

Cinta tersenyum simpul. Candra menguatkan genggaman tangannya.

Puluhan anak kecil dengan wajah pucat mulai menyanyi. Tangan mereka melambai indah. Beberapa suster tampak siaga di samping mereka. Cinta menangis haru. Ini permintaan Matahari.

Sebulan sebelum pernikahan dilangsungkan, Matahari menghembuskan napasnya. Seketika langit berduka. Suasana Rumah Sakit menjadi kelam selama beberapa minggu. Tidak ada lagi Matahari dan senyumnya.

"Matahari sudah bahagia di atas langit. Matahari akan menunggu semuanya dengan tersenyum jadi tersenyumlah mengantar Matahari."

Beberapa baris kalimat terakhir yang menguatkan.

Kata orang kematian bukan akhir dari segalanya. Ya itu benar. Kematian bukan akhir dari Matahari karena meskipun raganya memiliki batas untuk bertahan tetapi cerahnya kebahagiaan yang dia tabur masih tetap tertinggal.

Tamat. Ah tidak, kisah ini tidak memiliki akhir. Selama kebaikan Matahari masih hangat dibicarakan di bumi, selama masih ada senyum yang tersisa dari kenangan Matahari.



- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -

4 komentar:

  1. kalau boleh sok tahu, sepertinya cerpen ini terinspirasi oleh salah satu novel karangan penulis ternama. hanya saja posisi adik-kakaknya dibalik.

    BalasHapus
  2. novel apa Bang? :o aku terinspirasinya dari film korea malah :3

    BalasHapus

what do u think, say it !