Rabu, 22 Oktober 2014

TANYA


Aku mulai bertanya pada diriku sendiri tentang detik-detik yang terlewati bersamamu kini. Rasanya sangat asing. Seperti bertemu dengan seseorang yang hanya melintas sekejap di dalam hidupku. Kira-kira apa yang salah?

Terkadang aku ingin bertanya padamu, pahamkah kau apa yang aku inginkan? Sudahkah kau baca buku yang aku rekomendasikan? Mengertikah kau poin dari tiap kalimat yang aku utarakan lewat sms maupun telepon? Namun semua aku urungkan mengingat kejadian demi kejadian terdahulu.

Katamu berhenti bermain tebak-tebakan perasaan. Baiklah, aku mulai berkata jujur apa adanya. Namun tetap saja disalahkan. Sesaat saja aku minta didengarkan apa susahnya?

Aku merindukan hari-hari dimana waktu terasa berlalu sangat cepat. Masing-masing dari kita sibuk menorehkan guratan sketsa. Berdebat sangat panjang seperti sepasang musuh dan setelah itu tertawa melihat keegoisan masing-masing. Mendiskusikan masa depan yang tidak ada habisnya. Saling mencicipi pesanan yang seratus persen berbeda dari selera masing-masing. Kita tertawa bahagia. Aku merindukan jarak yang tidak menjauhkan kita, sesibuk apapun hari yang terlewati.

Aku mulai bertanya-tanya apakah sebaiknya aku mulai menapaki hidup sendiri?

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Senin, 20 Oktober 2014

MENUNGGU


Suasana ruangan ini begitu sepi. Aku merasa ada hawa dingin yang memelukku setiap angin berhembus. Udara pengap mengisi setiap sudut. Beberapa cat dinding tampak terkelupas. Waktu telah lama menelan semuanya. Di atas meja tempatku menatap dalam diam tampak dua buah pot bunga kering. Mengapa benda ini ada di sini? Dan untuk apa aku ke sini?

Tetes air jatuh tepat di atas pot bunga. Langit-langit yang penuh dengan bercak air memanggilku. Aku menengadah. Masih bertanya mengapa aku berada di tempat ini?

Pintu berderit dan terdengar langkah-langkah kaki. Ada seorang pria berdiri di bawah palang pintu. Wajahnya tampak sudah senja. Helai rambutnya memutih seutuhnya. Sama sepertiku, dia ikut menatap pot bunga dan langit-langit yang memiliki bercak. Ah, saat itu aku baru tersadar kalau langit-langit yang meneteskan air sebenarnya terbuat dari kaca. Debu yang tadi menutupinya mulai terkikis. Aku bisa melihat awan mendung bergelayut. Dadaku mulai bergemuruh. Rasanya ada yang menyergap ingatanku. Kenapa aku ada di tempat ini?

Pria itu melangkah mendekatiku. Wajahnya tepat berada di hadapanku. Jantungku berdegup semakin kencang.

“Aliana.” Ucapnya.

Apa ini hanya perasaanku? Sepertinya hawa di ruangan ini mulai berubah, semua terasa hangat. Pria itu mengulurkan tangannya. Mengambil buku lusuh yang ku pangku entah sejak kapan.

“Maaf baru sempat mengambil benda ini. Aku sudah ikhlas.”

Kabut putih mengerubungiku. Aku ingat sekarang kenapa aku berada di sini. Aku menunggunya.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Minggu, 19 Oktober 2014

PATUNG


“Aku hanya ingin didengar.”

Mungkin itu suara yang keluar dari isinya. Patung itu sudah terlalu membisu di sudut ruangan. Ke dua bola matanya bahkan sangat paham akan setiap situasi yang membingkai hari-hari di tempat itu. Ada orang yang menatapnya bingung. Ada pula yang dengan acuh mematikan puntung rokok ditubuh mulusnya.

“Ah hanya patung ini.”

Mungkin itu yang terlintas dipikiran orang-orang tersebut.

“Aku hanya ingin didengar.”

Patung itu kembali mendesah. Ah, rasanya seperti percuma dia protes pada dinding. Hanya keheningan yang kembali ia dapat. Andai saja ia bisa bergerak semaunya, ingin rasanya menendang dinding yang terdiam.

“Kau kesepian?”

Seekor kucing kecil meringkuk di samping patung. Suaranya mengagetkan sang patung.

“Kau berbicara padaku?”

Sang kucing hanya mengeong. Mungkin hanya lamunan.

“Ya aku berbicara padamu.” Ada kata-kata setelah itu.

Kucing kecil menempelkan kepalanya pada sang patung.

“Aku akan mendengar dan menemanimu. Anggap saja ini yang bisa aku lakukan sebagai balas bukti untuk majikanku yang telah tidur dipembaringan terakhirnya.”
Sang patung tersenyum. Hari ini bebannya akan berkurang. Ia berbicara banyak dan kucing kecil terdiam menatap takjub sang patung.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Sabtu, 18 Oktober 2014

GADIS BUNGA MATAHARI


Panas sangat menyengat. Suara serangga-serangga melengking memenuhi ladang bunga. Aku sudah siap dengan topi jeramiku. Mengikat rambutku yang pendek sebahu agar tidak lengket di leher dan membuat gerah.

“Liliana!”

Suara Ibu sudah membahana di belakangku. Ibu pasti ingin melarangku bermain ke ladang bunga. Tapi seperti biasa, aku tidak peduli dan terus berlari.

Hai, namaku Liliana Putri. Anak pertama dari keluarga yang mengabdikan dirinya untuk menjaga ladang bunga. Menurut cerita nenek, keluarga kami sejak jaman dahulu kala sudah menjadi penjaga ladang bunga. Jujur saja aku menyukainya. Apalagi ketika bunga-bunga mulai bermekaran. Wah, luar biasa! Matamu akan dimanjakan oleh warna-warna alam yang sangat indah.

Tahukah kau bunga apa yang aku sukai? Lili? Tebakanmu salah. Meskipun diberi nama Liliana tetapi bunga yang aku sukai adalah bunga matahari. Saking sukanya dengan bunga matahari, aku pernah merengek pada ke dua orang tuaku agar namaku diganti menjadi Matahari Putri. Dan rengekanku tersebut ditolak mentah-mentah.

Aku akan bercerita sedikit mengapa aku sangat menyukai bunga matahari. Semua ini karena dongeng yang diceritakan oleh nenek. Dongeng tentang gadis bunga matahari yang sangat mempesona. Gadis bunga matahari hidup bersama bunga-bunga matahari karena tugasnya adalah menjaga agar bunga-bunga tersebut mekar dengan baik. Tubuhnya mungil selayaknya peri. Ia memiliki sayap berwarna kuning cemerlang. Meskipun begitu, gadis bunga matahari sangat kuat. Ia kokoh seperti kelopak-kelopak bunga matahari yang mekar. Walaupun tugasnya sangat banyak, gadis bunga matahari tidak pernah mengeluh. Ia selalu menebar keceriaan oleh karena itu setiap melihat bunga matahari kau akan merasakan perasaan bahagia dan ceria. Benar-benar gadis pujaan.

Umurku sekitar lima tahun ketika mendengar dongeng tersebut. Mataku berbinar sangat cerah saat nenek menunjukkan gambar gadis bunga matahari. Pada saat itu, aku dengan polosnya mulai giat mencari sosok gadis bunga matahari. Sembunyi diantara deretan bunga matahari yang tingginya melebih tubuhku. Membuat ke dua orang tuaku kebingungan mencari sosokku.

Aku baru saja merayakan ulang tahunku yang ke dua puluh lima. Aku tahu gadis bunga matahari yang diceritakan nenek tidaklah nyata. Mana mungkin ada peri di ladang bunga. Tapi aku tetap ingin menjadi gadis bunga matahari yang selalu mempesona. Dan ritual kabur ke ladang bunga masih tetap aku lakukan. Bukan untuk mencari gadis bunga matahari tetapi untuk bersembunyi. Sejenak menghirup udara di dunia khayal milikku.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Sabtu, 05 Juli 2014

PENARI


Spanduk besar terpampang di gedung pertunjukan kota. Nama Ambar bersanding dengan sebuah predikat penari berbakat abad ini. Banyak mata yang berdecak kagum melihat spanduk tersebut. Siapa yang tidak kenal Ambar? Beberapa bulan ini namanya mengisi seluruh pemberitaan negeri. Seorang gadis yang terlahir dengan keterbatasan yang bertransformasi menjadi penari hebat. Ambar bahkan disebut-sebut sebagai penari yang muncul hanya sekali dalam berjuta-juta tahun. Ambar mendobrak dinding yang selama ini memenjarakannya dari indahnya alunan musik dunia.

“Nona Ambar.”

Penanggungjawab pertunjukan memberi isyarat. Ia menulis sebuah kalimat ‘lima menit lagi pertunjukan dimulai’. Tangannya membentuk sebuah lingkaran, meminta jawaban pada Ambar. Ambar mengangguk dan ikut membulatkan jemarinya tanda mengerti.

Sebuah sepatu berukuran 27 yang tampak lusuh tertata rapi dipinggir meja rias. Ambar menatapnya dengan senyuman yang cerah. Sepatu itu yang membimbingnya menjadi Ambar yang sekarang. Pemberian dari seseorang yang amat berjasa.

Ketika itu Ambar berumur 7 tahun. Ia suka sekali bermain di sebuah rumah tua. Rumah itu memiliki sebuah piano lusuh yang ditinggalkan penghuninya. Sejak dulu Ambar penasaran dengan piano yang memiliki tuts aneh. Ambar sering melihat orang-orang ditelevisi memainkan benda besar itu. Ia tidak mengerti mengapa orang-orang itu sangat bahagia melakukan hal tersebut.

Suatu hari ketika ia kembali mengunjungi rumah tua, ia bertemu dengan seorang pria. Pria dengan punggung yang lebar tampak asyik memainkan piano. Pria itu menutup matanya dan tampak sangat menikmati apa yang sedang ia lakukan. Tanpa sadar Ambar pun ikut terhanyut dengan gerakan pria tersebut. Tangan dan kakinya bergerak secara spontan. Ambar menari untuk pertama kalinya tanpa tahu lagu apa yang sedang dimainkan oleh pria berpunggung lebar tadi.

“Kau penari yang hebat.”

Ambar membuka matanya. Ia terkejut melihat pria itu terus menatapnya sambil tersenyum. Ambar menggerakkan tangannya, berusaha mengatakan bahwa ia tidak ada niat mengganggu.

“Kau bisu?”

Ambar hanya terdiam.

“Kau bisu?” Pria itu mengulangi pertanyaannya perlahan-lahan.

Ambar mengangguk. Ia lalu menggerakkan tangannya ke arah telinga.

“Kau juga tidak bisa mendengar?”

Ambar mengangguk. Ia tidak merasa sakit hati ada orang yang bertanya seperti itu. Ia sudah terbiasa hidup dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih menyakitkan di panti asuhan.

“Tetapi kau bisa menari. Hebat.”

Pria itu berdiri dan bertepuk tangan. Ambar bingung. Ia tidak tahu mengapa pria dihadapannya tersenyum dan bertepuk tangan. Namun, ia merasakan sebuah kehangatan yang menjalar ke dalam hatinya. Rasanya sangat menyenangkan.

“Kau sangat istimewa.” Pria itu mengacak rambut Ambar.

Ambar tersenyum bahagia. Sejak saat itu Ambar semakin giat mengunjungi rumah tua. Ia selalu menantikan saat bertemu dengan pria berpunggung lebar. Pria itu mengajarinya memahami nada dan not balok. Mereka pun menari bersama-sama dengan riang. Ambar menemukan apa yang selama ini ia cari. Kebahagiaan. Dengan menari Ambar bisa merasakan hal yang membuatnya merasa dibutuhkan di dunia ini. Ia seperti hidup kembali dan melupakan kekurangannya yang selama ini menjadi bahan tertawaan.

“Kau akan menjadi penari hebat.” Pria tersebut selalu berkata seperti itu.

Ambar menjawabnya dengan sebuah anggukan yang keras. Iya, ia ingin menjadi penari yang hebat agar bisa membuat semua orang berhenti menertawakannya. Menutup mulut orang-orang yang tidak ingin mengadopsinya karena beralasan akan kerepotan mengurus anak kecil yang terlahir tidak sempurna.

Pria berpunggung lebar membuka jalan bagi Ambar untuk meraih dunia yang lebih luas. Lewat sepasang sepatu putih dan senyuman yang mengembang, pria itu mengantarkan Ambar mengikuti kompetisi pertamanya. Kompetisi yang membuat Ambar kembali ditertawai banyak orang.

“Tuli kayak gitu disuruh ikut lomba?”

“Ya ampun, pria satu ini tidak pernah kapok membawa orang aneh kesini.”

“Menyerah saja!”

Ambar tidak dapat mendengar tetapi ia paham ejekan-ejekan yang dilontarkan kepadanya. Ia semakin membulatkan tekad memenangkan kompetisi tersebut. Ia pun menari dengan sangat hebat. Pengunjung berdecak kagum. Tetapi hal itu tidak lantas membuatnya memenangkan kompetisi. Juri tidak bisa memenangkannya dengan alasan keterbatasan yang dimiliki Ambar. Ambar sudah siap menerima hal itu. Ia tahu untuk meraih dunia yang luas tidaklah mudah. Berbeda dengan pria berpunggung lebar. Ia marah besar pada juri. Ia bahkan membanting meja yang digunakan untuk berdiskusi. Untuk pertama kalinya Ambar melihat seseorang membelanya. Seketika itu air matanya menetes. Ia tidak sakit hati dilecehkan. Ia hanya merasa bahagia dan sedih melihat ada orang yang berjuang untuknya.

Ambar memeluk pria berpunggung lebar tanpa sadar. Ia menggelengkan kepalanya dengan keras. Dalam hatinya ia berteriak “sudah cukup Tuan. Sudah cukup.” Pria berpunggung lebar mengerti. Ia mengusap anak kepala Ambar dengan hangat.

Mereka pun pulang ke rumah tua sambil bergandengan tangan. Pengalaman menyakitkan hari itu adalah awal segalanya.

“Kau memiliki hati yang besar. Aku belajar banyak darimu hari ini. Ayo kita raih dunia yang luas untukmu.”

Ambar mengangguk.

Sepasang sepatu putih itu menjadi saksi perjuangannya. Solnya kini telah menipis. Warna putihnya berubah menjadi lusuh. Namun semangat Ambar tetap menyala. Apa yang tampak pada sepatu itu adalah ceminan perjuangan bertahun-tahun yang dilewati oleh Ambar.

Sekali lagi Ambar tersenyum. Hari ini adalah pertunjukan keseratusnya. Pertunjukan emas yang ia persembahkan untuk pria berpunggung lebar. Pertunjukan bertajuk ‘Perjalanan Sepasang Sepatu Putih’.




- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Sabtu, 14 Juni 2014

LARI


Angin memainkan dedaunan kering yang berserakan di taman. Sehelai daun dengan lihai melesat masuk ke dalam kamar dan berhenti pada buku catatanku. Suara tawa anak-anak pecah di bawah sana. Orang tua tampak sibuk berteriak tentang jangan begini dan begitu. Tapi, namanya juga anak kecil mereka hanya terdiam beberapa detik dan kembali lagi tertawa-tawa. Tanpa sadar senyumku pun mengembang. Aku juga ingin bermain seperti itu. Berlari menyusuri taman, melempar ranting, daun, atau apa saja yang bisa ku raih.

“Tentu saja masa itu sudah lewat”

Aku hanya bisa menatap ke dua kakiku yang hilang entah kemana. Tiga bulan yang lalu dokter memutuskan untuk mengamputasinya. Menurut pemeriksaan hal itu merupakan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diriku. Oh tentu saja. Kaki yang membusuk selama hampir setahun. Aku tahu cepat atau lambat hal itu akan terjadi.

Suara langkah kaki menaiki tangga membuatku siaga. Segera ku arahkan kursi roda menuju tempat tidur, mendorong diriku sendiri hingga terhempas di atas kasur, menarik selimut, dan berpura-pura tidur.

“Kau masih tidur atau hanya berpura-pura?”

Itu suara Ayah, orang yang pada akhirnya menjadi tempatku berbagi cerita.

“Sudahlah Talia, Ayah tahu kau hanya berpura-pura tidur.”

Ayah mendekatiku dan mulai mengeluarkan ‘jurus pamungkasnya’. Aku tidak dapat menahan tawa. Langsung bangkit dan kembali menyerang. Kami tertawa bahagia, saling melempar bantal.
Inilah keadaan rumahku sekarang, berbanding terbalik dengan yang dulu. Dulu penghuni rumah kami berjumlah lima orang. Ayah, Ibu, aku, dan dua kakakku. Cukup ramai jika dihitung, tetapi sepi jika dirasakan. Tidak pernah ada obrolan dan berkumpul bersama di ruang keluarga. Hanya tegur sapa biasa. Kami sekeluarga tetapi seperti orang yang tak saling kenal. Mengapa? Entahlah, yang aku tahu sejak aku dilahirkan hal ini sudah terjadi.

Menurut kakak pertamaku, ini semua karena posisi Ayah dan Ibu di kantor yang telah meningkat. Promosi yang luar biasa, ekonomi keluarga terangkat. Sudah pasti membuat sibuk Ayah dan Ibu. Jarang bertemu keluarga sendiri. Cuma member uang dan mengecek nilai kami setiap minggu. Ketika nilai kami bagus, maka tidak ada peringatan apapun. Tetapi ketika nilai kami menurun, maka les tambahan akan siap menanti. Menolak? Ah itu hal yang membuang tenaga. Pada akhirnya ke dua kakakku bertingkah selayaknya anak baik di rumah. Dan ketika berada di luar jangkauan keluarga, mereka akan bertindak semaunya. Aku tahu hal itu namun aku terlalu malas untuk mencampurinya. Yah, aturan lain keluarga kami-secara tidak tertulis. Jangan mengganggu urusan keluargamu ketika berada di lingkungan luar.

Itulah mengapa aku selalu iri dengan teman sebayaku yang diperhatikan sangat ketat oleh ke dua orang tuanya. Saling mengejek dan bertengkar, namun kemudian tertawa lagi. Aku juga ingin merasakannya. Aku selalu berharap akan ada kejadian besar yang membuat harapanku itu terkabul. Beberapa bulan kemudian, tragedi itu terjadi.

Ayah bekerja sebagai hakim dan Ibu sebagai pengacara publik. Waktu itu mereka sedang menangani sebuah kasus yang sangat berat. Kasus seseorang yang berkuasa di negeri ini. Suatu malam aku sempat mendengar Ibu menangis. Entah apa yang terjadi, yang jelas aku menangkap sekilas bahwa nyawa keluarga kami terancam.

“Andai saja kita masih hidup sebagai warga negara biasa, bukan penegak hukum atau semacamnya. Aku menyayangi anak-anakku meskipun . . .”

Ayah menutup pintu sebelum Ibu menyelesaikan kalimatnya.

Ke esokan harinya kakak pertamaku ditemukan tertembak. Ibu sangat histeris. Kakakku kabur dari rumah pada malam hari. Itu adalah kebiasaannya, bertemu teman-temannya di klub. Ibu dan Ayah tidak mengetahui hal tersebut dan menganggap anak-anaknya sudah terlelap di kamar.

“Tama,anakku!!!” Ibu kembali berteriak.

“INI SEMUA SALAH AYAH DAN IBU!”

Kakak ke duaku meledakkan amarahnya. Ia sangat dekat dengan kakak pertamaku, mereka selalu merencanakan hal-hal aneh bersama.

“Kalau saja Ayah dan Ibu lebih memperhatikan kami dan berhenti . . .”

“Tara . .” Ibu mencoba memeluk kakakku, “maafkan Ibu.”

Kakak keduaku menghempaskan pelukan Ibu dan berkata, “andai saja kata maaf itu bisa menghidupkan kak Tama.”

Suasana rumah menjadi semakin sepi, kali ini ditambah dengan duka yang mendalam. Entah kutukan apa yang terjadi. Siang harinya kami menemukan mayat kakak ke duaku di dalam kamar. Ia menggantung dirinya. Ibu semakin histeris dan merasa bersalah. Ibu berteriak tanpa henti dan melarang siapapun bahkan tim forensik serta dokter menyentuh mayat anaknya. Ibu kehilangan akal sehatnya.

Ayah mencoba menjauhkanku dari Ibu. Tidak ingin aku terluka oleh tingkah Ibu yang semakin aneh. Rasa bersalah dan kesedihan yang mendalam membuat Ibu sering berhalusinasi. Kadang Ibu memelukku erat dan memanggil namaku dengan penuh kasih sayang. Kemudian mendadak Ibu menjadi histeris dan mencoba mencekik leherku.

Puncaknya, Ibu membawaku kabur dari rumah. Saat itu, Ayah lalai memperhatikanku karena panggilan dari kantor. Ibu tertawa-tawa sambil menginjak gas sekuat tenaga. Aku yang masih berumur tujuh tahun hanya bisa menangis. Ibu menabrak apa saja yang menghalangi jalannya hingga pada akhirnya Ibu mencoba menabrak sebuah beton yang menjulang tinggi. Kami kecelakaan. Ibu pingsan namun tidak terluka parah. Sementara aku mendapati luka yang cukup serius. Ke dua kakiku kemudian mulai membusuk karena infeksi yang disebabkan kecelakaan itu.

“Talia? Anakku yang cantik masih di sana?” Ayah membuyarkan lamunanku.

“Eh, iya.” Jawabku sambil tersenyum.

Aku menatap garis wajah Ayah. Kerutan mulai tampak diwajahnya yang bersih. Aku tahu jauh di dalam hatinya, Ayah juga ingin berteriak seperti Ibu. Ayah juga pasti merasa bersalah bahkan mungkin lebih. Tetapi Ayah memutuskan untuk kuat dan mengubah semuanya dengan menjagaku dan Ibu. Dua permatanya yang berharga. Itulah kata Ayah ketika bertemu denganku di rumah sakit. Untuk pertama kalinya aku melihat Ayah menangis seraya memanggil namaku.

Kau tahu teman, dulu ketika keluargaku masih lengkap aku ingin sekali lari dari kenyataan. Aku ingin lari mencari keluarga yang lain, yang lebih hangat dan saling memperhatikan. Namun aku sadar aku tidak bisa melakukan hal itu.

Ketika keluargaku mulai hancur dengan kepergian kakak-kakakku. Aku juga ingin berlari. Sudah cukup rasa sepi yang selama ini aku rasakan, sesak dada ini mengetahui harus memikul beban kesedihan juga. Namun sekali lagi aku sadar bahwa aku tidak bisa melakukannya.

Sekarang, aku masih tetap ingin berlari. Tetapi berlari untuk meraih cahaya kebahagiaan. Membuat Ayahku tetap hidup dengan memiliki permatanya yang berharga. Dan berlari meraih jiwa Ibuku, mengembalikannya seperti sedia kala.

“Ayo kita tengok Ibu, Yah.”

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Selasa, 27 Mei 2014

DENGAR [AWAL]

“Aku benci saat mataku terpejam.” Hal itu selalu berdengung dikepala Ariana.

Hari ini seperti biasa ia duduk diantara nyanyian angin yang menyerbu pepohonan. Beberapa wanita dan pria tampak lalu lalang. Sesekali tawa membuncah ketika bisik-bisik kecil dilontarkan. Ariana mengencangkan headset ke telinga, sayang headset sebagus itu hanya menggantung dilehernya. Jempolnya kini tengah memilih lagu mana yang akan ia dengar.

“Boleh aku duduk di sini?”

Ariana mengangguk singkat lalu menutuskan lagu apa yang sebaiknya ia dengar. Sebuah musik klasik dari seorang komposer ternama kini mengalun. Suara dentingan piano yang sangat anggun memanjakan telinga. Semilir angin dan aroma tanah yang basah menambah kenyamanan dihati. Ariana pun terpejam. Jiwanya seakan dibelai oleh suasana yang menyejukan itu.

“Apa yang harus aku lakukan dengan lembar jawaban ini?”

Sebuah suara menyusup ke dalam alunan nada-nada.

“Aku tidak ingin berlaku curang tapi jika aku tidak melakukannya maka . . . maka . . .”

Suara itu semakin jelas terdengar.

“Aku harus bisa mengalahkan anak-anak pindahan itu. Impianku akan hilang begitu saja jika aku tidak melakukan ini. Sudah cukup aku dipermalukan dengan hasil try out kemarin.”

Ariana menghela napas. Ia tahu kini apa yang terjadi. Harusnya ia tidak membiarkan gadis berkacamata tebal tadi duduk di sampingnya. Dan seharusnya lagi, ia tidak terbuai dengan kecup manja alunan lagu serta desah angin sehabis hujan. Entah berapa lama gadis di sebelahnya akan berhenti mengeluh. Mengeluh dalam pikirannya sendiri yang kini sangat mengganggu.

Ariana ingin sekali membuka matanya, namun ia tak kuasa. Kemampuannya membaca pikiran menahannya untuk melakukan itu. Ya, Ariana memang bisa membaca pikiran. Ia bahkan bisa mengubah jalan pikiran seseorang dengan memanipulasinya. Terdengar sangat tidak masuk akal tetapi itulah yang terjadi saat ini. Setiap kali matanya terpejam, tanpa sengaja-atau bisa saja sengaja-alam bawah sadarnya akan terhubung dengan alam bawah sadar orang lain.

“Apa aku harus membuangnya? Atau . . . .”

“Buang saja! Kau harus percaya pada kemampuanmu!” –Ariana memutuskan untuk membantu.

“Tapi . . .”

“Tidak ada kata tapi. Keputusanmu saat ini akan sangat berpengaruh untuk segala hal yang akan kamu jalani ke depannya. Apa kamu mau menodai perjuanganmu selama ini hanya karena sebuah keegoisan? Jika ya, memalukan!” –Ariana sangat berharap perang ini akan segera berakhir.

“Iya, benar juga.”

Temaran jingga mentari sore membuat pandangan sedikit memudar. Ariana menghalangi berkas cahaya itu dengan telapak tangannya.

“Akhirnya . . .” Tanpa sadar ia bergumam.

Gadis berkacamata tebal yang duduk di sebelahnya kini berdiri. Ia merobek beberapa lembar kertas lalu membuangnya ke tong sampah terdekat.

Ariana tersenyum, hari ini tidak terlalu berat tetapi ia tetap benci ketika matanya terpejam.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Minggu, 11 Mei 2014

KISAH KLASIK


Aku dibesarkan dengan dongeng-dongeng klasik yang selalu diceritakan oleh Ibuku. Tentang para leluhur penjaga semesta yang luar biasa. Mereka bagaikan elemen yang selalu ada di dalam kehidupanmu, yang menciptakan siklus siang dan malam. Adalah keturunan Raja Langit yang sekarang entah dimana keberadaannya. Raja Langit memiliki empat puteri yang masing-masing diberi anugerah kekuatan menjaga siklus di dunia. Puteri pertama adalah Puteri Matahari. Ia bertugas membawa cahaya terang yang membuat setiap penghuni bumi bergerak cepat dan tangkas. Puteri ke dua adalah Puteri Bulan, yang bertugas membawa ketenangan dan membuat setiap penghuni bumi merasa nyaman untuk beristirahat. Puteri Awan adalah Puteri ke tiga. Ia bertugas meredam keceriaan Puteri Matahari yang berlebih. Menaungi setiap makhluk bumi dengan keteduhan dan angin sepoi-sepoi. Sementara Puteri bungsu Raja Langit adalah Puteri Bintang. Puteri paling cantik yang bertugas menghiasi gelapnya malam. Membawa cahaya yang indah ketika Puteri Bulan terlalu lelah bersinar.

Di sela tugas yang padat, ketiga puteri tersebut sering mengunjungi bumi. Bahkan ada beberapa bagian dongeng yang mengatakan bahwa mereka menikah dengan ksatria tangkas dari bumi. Dongeng ini memiliki akhir yang kurang menyenangkan. Dikisahkan bahwa ke empat saudara itu bertengkar karena perbuatan Puteri Bintang. Entahlah, ketika aku bertanya hal ini pada Ibu, Ibu menolak menceritakannya lebih detail.

Ibu adalah pendongeng yang baik. Beliau dengan lihai mendeskripsikan tentang wujud setiap tokoh. Dan anehnya aku merasa mengenal setiap tokoh itu. Aku selalu merasa setiap orang yang ada di dalam hidupku adalah karakter dongeng tersebut. Seperti kakek Wisnu yang sangat mirip dengan deskripsi Raja Langit. Ibu yang sangat mirip dengan Puteri Bulan. Aku suka tersenyum sendiri ketika menyadari hal itu. Apa mungkin karena Ibuku yang sangat pandai bercerita atau dongeng tersebut adalah kisah leluhurku? Entahlah. Sejak umur lima tahun aku tidak terlalu peduli akan hal itu hingga ulang tahunku yang ke tujuh belas.

Waktu itu semua anggota keluarga berkumpul. Mulai dari tua dan muda, om, tante, hingga cicit. Ini adalah tradisi keluarga kami. Berhubung aku adalah cucu kesayangan kakek, maka setiap anggota keluarga diwajibkan berkumpul. Sejak pagi bel rumah tidak berhenti berbunyi. Setiap anggota keluarga sibuk membantu seperti akan ada pesta pernikahan.

Malam itu Ibu memakai gaun yang sangat indah. Gaun berwarna putih dengan renda-renda kuning muda. Ibu juga memakai kalung yang menarik perhatianku. Sebuah kalung berbentuk bulan sabit yang terlihat sangat outstanding. Tante Candra dan Sawitri pun menggunakan kalung senada, hanya dengan bentuk yang berbeda yaitu bentuk awan dan matahari. Sejenak aku tertegun, teringat dongeng yang selalu diceritakan Ibu.

“Kenapa perempuan ini datang?”

Bisik-bisik mulai terdengar. Khayalanku mulai terganggu dengan bisik-bisik tersebut. Mataku kemudian tertuju pada sosok seorang wanita yang tampaknya tidak jauh berbeda dari Ibu, tante Candra, dan tante Sawitri.Wanita itu mengenakan gaun putih bersih dan dilehernya tersemat sebuah kalung berbentuk bintang. Kakek Wisnu menyapa ramah wanita itu dan mengajaknya masuk. Beberapa menit kemudian kakek, ibu, tante Candra, tante Sawitri, dan wanita itu terlibat percakapan serius di ruang atas. Aku mengendap-endap, mencoba mencuri dengar karena penasaran.

“Puteri Bintangku sudah kembali.”

Suara Kakek Wisnu terdengar jelas olehku.

“Ayah yang mengundangnya? Setelah kekacauan yang dia buat di langit kita?”

Itu suara tante Candra.

“Sudahlah kak, toh kita butuh penjelasan tentang hal yang dulu terjadi . . .”

Suara Ibu menggantung begitu saja.

“Kau terlalu baik padanya. Ingat, dia mencoba mencuri semua sinarmu. Mengambil apa yang menjadi tugasmu dan merebut posisimu sebagai puteri bulan. Bahkan hampir saja merebut tunanganmu.”

Aku tertegun. Sebentar, apa yang baru saja aku dengar sama persis dengan dongeng yang dikisahkan oleh Ibu. Puteri Bintang yang selalu iri pada kakak-kakaknya mencoba melakukan kecurangan dengan menghancurkan reputasi Puteri Bulan.

Aku hampir limbung mendengar fakta yang baru saja aku dapat. Apakah dongeng itu nyata?

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Senin, 17 Februari 2014

PERGURUAN GANESHA : SI JENIUS DARWIS



Pelajaran matematika merupakan pelajaran yang sangat disukai Darwis. Ia suka menghitung segala kemungkinan. Berkutat berjam-jam merangkai rumus-rumus dengan caranya sendiri. Hingga suatu malam, entah darimana asalnya pertanyaan itu muncul. Mata Darwis terus memperhatikan rumus perkalian plus dan minus dibuku sakunya.

“Kenapa bisa minus dikali minus hasilnya plus? Padahal dalam hidup jika keburukan dikali dengan keburukan bukankah hasilnya kan jadi buruk?” Gumam Darwis.

Malam itu ia habiskan dengan berpikir hingga akhirnya terlelap. Keesokan paginya ia bergegas menemui Pak Ganesha. Lupa mencuci muka bahkan sikat gigi. Pak Ganesha hanya menggeleng-geleng kepala melihat tingkah Darwis.

“Pertanyaan lagi Darwis?” Pak Ganesha bisa menebaknya dengan tepat.

Darwis mengangguk dan segera melontarkan pertanyaan yang ada dibenaknya. Pak Ganesha mendengarkan dengan seksama, mengelus janggut gelombangnya dan sesekali tersenyum. Hening sejenak ketika Darwis telah selesai mengungkapkan isi kepalanya.

“Bagaimana kalau kita utak-atik sedikit pendapatmu seperti ini. Menyatakan keburukan terhadap hal yang buruk, bukankah akan menghasilkan suatu kebaikan? Sama seperti minus dikali minus yang menghasilkan plus. Begitu juga dengan menyatakan kebaikan terhadap hal yang sebenarnya buruk, bukankah seharusnya tetap akan menghasilkan hal yang buruk? Seperti minus dikali plus atau sebaliknya.”
Darwis berpikir sejenak, menimbang-nimbang.

“Muridku Darwis, intinya adalah . . .”

“Menyatakan hal yang buruk terhadap hal yang memang buruk adalah suatu kebenaran yang baik. Menyatakan hal buruk terhadap sesuatu yang sebenarnya baik menghasilkan musibah begitu juga sebaliknya. Menyatakan hal yang baik terhadap hal yang benar-benar baik mendatangkan kebaikan yang berlipat.” Darwis memotong dengan cepat.

Pak Ganesha tersenyum. Seharusnya dia tahu bahwa muridnya yang satu ini adalah murid yang paling cepat paham.

“Tapi . . .”

“Sudut pandang Darwis, sudut pandang. Ubahlah cara berpikirmu. Jika tidak, tidurmu malam ini juga tidak akan tenang.”

Pak Ganesha tertawa meninggalkan Darwis yang garuk-garuk kepala.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Rabu, 12 Februari 2014

LOCK [1]


Hai, aku adalah si pembuka. Aku membawa sebuah benda berharga kemana-mana. Kunci pembuka jiwa, begitu mereka menyebutnya. Tugasku adalah mengeluarkan jiwa-jiwa kelam agar dapat kembali pada wadahnya, manusia.

Halo, aku adalah si pengunci. Aku telah mengunci banyak sekali jiwa kelam di dalam tubuhku. Tugasku adalah menjaga agar jiwa-jiwa tersebut tidak kembali pada wadahnya, manusia.

*

Ini adalah catatan perjalanan si pembuka dan pengunci melepaskan jiwa-jiwa. Ada yang berjalan mudah dan tak jarang berjalan sangat sulit. Kadang mereka berdebat dan kadang saling membantu. Mari kita mulai.

*

TERIAKAN SARI

            Alarm berbunyi nyaring di rumah si pengunci. Ada sebuah kedip jingga di salah satu kotak bernama.
“Tugas!”

Si pengunci berseru nyaring. Ia melempar serbuk berkilau ke udara dan tring . . . seketika itu juga ia menghilang.

Tiga hari yang lalu . . .

Suasana sekolah sudah mulai sunyi. Beberapa menit yang lalu, tepat ketika bel berbunyi para siswa berlarian meninggalkan ruang kelas. Menyisakan para guru di ruangan mereka. Merapikan tumpukan kertas ulangan dan sedikit berbincang mengenai kelakuan siswa masing-masing. Sementara itu dibeberapa ruang kelas tampak siswa yang sibuk memegang sapu, melaksanakan tugas piket harian. Ada yang mengangkat bangku ke atas meja, membersihkan papan tulis, serta membuang sampah ke bak pembuangan. Setiap anak memiliki tugasnya masing-masing. Namun di salah satu kelas, terlihat seorang gadis berambut ikal yang melakukan semua tugas tadi sendirian. Dua puluh bangku diangkatnya dengan sekuat tenaga. Setelah itu tangannya mulai cekatan menyapu lantai. Sesekali ia menghela napas. Kejadian ini tidak hanya terjadi sekali tetapi berkali-kali.

“Sari, hari ini aku harus menemani mama ke pasar. Gantian kamu yang piket ya.”

“Sari, aku harus buru-buru pulang. Ada hal penting yang harus aku lakukan.”

Selalu saja teman-temannya memiliki alasan untuk meninggalkan tugas piket. Sebenarnya Sari ingin sekali berkata bahwa ia keberatan jika harus melakukan semuanya sendiri. Namun pada akhirnya yang keluar dari mulutnya adalah kata yang meng-iya-kan ini semua terjadi.

“Kenapa sih susah banget bilang tidak?” Gumam Sari pada dirinya sendiri.
“Kau saja yang kurang berusaha.”Jawab si pembuka.

Sejak tadi ia duduk di atas meja, dekat dengan posisi Sari berdiri. Tentu saja Sari tidak dapat melihat bahkan mendengar perkataan si pembuka barusan.

            Sari Lulanita. Nama itu yang muncul pada kotak tugas miliki si pembuka. Kali ini ia harus melepaskan jiwa kelam gadis itu. Ya, setiap orang pasti punya satu sisi kelam di dalam dirinya. Hampir sebagian besar sisi kelam itu terkunci rapat-rapat. Tidak semua sisi kelam bersifat buruk karena ada beberapa bagian dari sisi itu yang sengaja terkunci untuk menunggu waktu yang tepat.

            Hampir sejam Sari membersihkan ruang kelas sendirian sebelum akhirnya ia bisa pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, Sari menerima sebuah pesan singkat dari sang kakak untuk membeli susu coklat di sebuah toko.

“Aku harus jalan memutar dong, kan jauh!” Gerutu Sari sambil menekan balasan yang tentu saja berbeda dari gerutuannya barusan.

“Anak ini aneh sekali.” Si pembuka memutar bola matanya bingung.
*
Sudah dua hari si pembuka mengikuti Sari. Ia mengamati segala tingkah laku Sari untuk mencari pemicu yang bisa membuatnya mendapatkan kunci pembuka jiwa. Memang hanya si pembuka yang bisa melepaskan jiwa-jiwa tersebut, tetapi ia juga membutuhkan sebuah ‘ijin’ dari si pemilik jiwa. Oleh karena itu, ia selalu memantau setiap jiwa yang ingin dilepaskannya. Biasanya di saat seperti ini, si pengunci akan muncul dan mencoba menghentikannya. Namun entah kenapa sejak hari pertama memantau, si pengunci tidak juga menampakkan dirinya.

“Sari! Sari!” Sang Kakak menepuk tangannya di depan wajah Sari.

“Eh kenapa Kak?”

“Ck! Tahun ini kan kamu sudah lulus sekolah menengah atas, Ayah nanya kamu mau lanjut kuliah di jurusan apa?”

“Eh . . . itu . . .”

“Kuliah yang sama denganku saja.” Sang Kakak memotong dengan cepat.

“Sania, biarkan adikmu yang menjawab.” Sang Ayah mencoba menengahi.

“Sari pasti mau kok. Buktinya Sari sering bantuin Sania ngajar murid-murid yang les. Itu tandanya Sari juga mau kuliah pendidikan bahasa sama kayak Sania.”

“Enak saja! Aku mau jadi penulis! Selama ini aku bantuin Kak Sania karena kasihan melihat Kak Sania repot. Tidak lebih.”

“Nanti Sari pikirkan lagi.” Akhirnya sebaris kalimat itulah yang keluar dari mulutnya.

“Tuh, apa kata Sania. Sari pasti mau kuliah di tempatnya Sania. Tenang saja, pasti Kakak bantu.”
“Gak usah. Terima kasih.”

“I-i-iya Kak.” Sekali lagi kata yang keluar berbeda dari apa yang terucap dihatinya.

            Si pembuka tersenyum puas. Kejadian di meja makan malam itu membuatnya tahu apa yang harus dilakukan.
*
Hari ke tiga. Si pembuka memutuskan untuk melepas jiwa kelam milik Sari di hari ini juga. Tidak seperti tugas yang ia dapat sebelumnya, yang butuh waktu hingga sebulan untuk memantau. Tugas kali ini termasuk mudah.

“Namamu sudah aku masukan ke daftar mahasiswa baru di kampus ku loh Sar.” Sang Kakak membuka pembicaraan.

“Nah ini dia.” Si pembuka menggerakkan ke dua kupingnya.

“Apa!”

Sari yang sejak tadi asyik menulis, berteriak kaget.

“Ih biasa aja kali. Kakak tahu kamu pasti senang. Bla bla blab la . . .”

Sari tidak sanggup lagi mendengar setiap kalimat yang diucapkan kakaknya. Selama ini dia sudah berusaha keras untuk menekan teriakan penolakan. Entah itu dari teman, kakak, atau bahkan ke dua orang tuanya.

            Sari bisa bertahan dengan berlari ke dunia menulis. Dimana ia bisa menumpahkan apa yang sebenarnya ada di kepalanya. Tapi entah kenapa, sejak dua hari yang lalu ia merasa ada sebuah hasrat untuk memberontak. Ia ingin sekali berteriak pada semua orang tentang apa yang sebenarnya ia rasa dan pikirkan. Seperti ada sebuah arwah aneh yang merasuki tubuhnya. Memaksa satu sosok lain di dalam dirinya untuk keluar.

“Satu . . .”

Si pembuka memutar badannya yang bulat di udara. Ritual membuka jiwa sudah mau ia mulai.

“Dua . . .”

Ke dua telinganya yang panjang bersinar terang. Ada siluet-siluet yang terpancar dari sana bagaikan kolase yang terbang.

PLOP!

Tepat di saat si pembuka ingin mengucapkan kata ‘tiga’, si pengunci muncul di hadapannya.

“Kenapa kau muncul disaat seperti ini?” Gerutu si pembuka.

“Hoam. Lanjutkan saja. Aku tidak peduli sama yang satu ini.” Kata si pengunci santai.

            Jangan bayangkan mereka akan bertengkar. Meskipun memiliki tugas yang berbeda dan sering berdebat, sebenarnya mereka adalah dua sahabat karib. Terkadang si pengunci membantu si pembuka untuk melepaskan beberapa jiwa. Dan kadang si pembuka mengurungkan niatnya untuk membuka jiwa. Sepertinya tugas kali ini menjadi sangat mudah karena si pengunci memutuskan untuk muncul di saat terakhir. Membantu si pembuka melancarkan ritualnya. Dengan adanya si pengunci di dekat pemilik jiwa dan si pembuka maka jiwa yang ingin dilepaskan akan cepat masuk ke wadahnya, manusia.

“Tiga . . .”

            Siluet-siluet tadi terbang dengan sangat cepat menuju Sari. Hanya butuh waktu beberapa detik hingga akhirnya Sari berteriak. Ia seakan baru saja menenggak ramuan kejujuran. Ia dengan lantang menolak mentah-mentah apa yang diucapkan kakaknya. Tegas sekali ia menjelaskan bahwa keinginannya adalah menjadi penulis dan tidak peduli dengan apapun yang berkaitan dengan mengajar. Sang kakak hanya bisa terpaku. Hari itu menjadi hari yang baru untuk Sari yang baru.




- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..