Kamis, 18 April 2013

GUAVA

Malam panjang tanpa bintang. Suasana gang dengan temaram lampu seadanya tampak sunyi. Tidak ada tanda seorang pun yang melintas. Sepertinya semua orang sedang sibuk mengisi malam mereka dengan kegiatan pilihan masing-masing.

Di sudut gang, sebuah lampu berpendar menerangi deretan bata yang menjulang. Tangan mungil dan kecil menelisik tirai. Mata bulat hitam menatap ke arah jalan seakan menunggu kehadiran seseorang. Namun, yang tersisa beberapa jam terakhir hanya bisik angin. Sepi.

Sebuah jambu biji terpelanting manja di atas karpet pada detik berikutnya. Tatapan mata tajam itu kemudian mengarah pada kulit mulus jambu biji. Satu bulir. Dua bulir. Tiga bulir. Airmata mulai menetesi pipinya.



Ada benda yang dapat membangkitkan kenangan. Ada kenangan yang tanpa disadari terus kau tunggu. Ada kenangan yang seharusnya kau sadari akan berakhir sebagai kenangan, tak akan terulang.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

SEXUAL HARASSMENT ? NO! NO! NO!


Umurnya sudah separuh baya. Memiliki tiga orang anak, dua diantaranya adalah seorang wanita. Isterinya? Jelaslah seorang wanita, bisa dikategorikan sebagai isteri yang cantik dan baik. Tapi, apa yang membuatnya menjadi seperti ini?

Setiap hari, pada saat jam tertentu (sesuai dengan akumulasi waktu yang dia tentukan) niat anehnya disalurkan. Mahasiswi dan siswa yang kelihatannya ‘mengundang’ akan menjadi sasarannya. Jika tidak ditemukan target seperti itu, target mana pun boleh. Kacaunya meskipun sang target merasa ‘dijahati’ target hanya bisa terdiam kaku. Lebih kacau lagi, beberapa penumpang di angkutan tersebut hanya mendiamkan meskipun menyaksikan hal tersebut.

Ups! Tapi hari ini keberuntungan (?) tidak berpihak pada pria ini. Tangan jahilnya yang sedang asyik melakukan kejahatan pada target seorang siswa SMA ditarik dan digenggam dengan erat oleh seorang penumpang pemberani. Tidak hanya disitu saja, sang penumpang pun berteriak dengan kencang.

“Selamat menikmati buah yang kau tanam om”

*

Mungkin itu satu diantara berbagai macam cerita pelecehan seksual di dalam angkutan umum. Sebagian dari kita sepertinya telah menyadari hal tersebut apalagi untuk mereka yang tinggal di kota besar semacam Jakarta. Kadang kita merasa “bukan urusan saya”, “nanti kalau saya ikut campur jadi berabe”, dan “siapa suruh korbannya berpakaian seperti itu” ketika melihat kejahatan seperti ini terjadi. Ada baiknya sekarang mengubah paradigma tadi, bayangkan jika keluarga kita yang menjadi korban pelecehan seksual tersebut dan beberapa orang yang sebenarnya tahu malah mendiamkan. Satu sikap berani bisa mendatangkan keberanian lain.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -

Read More..

Senin, 15 April 2013

LONCENG KEMATIAN


Lonceng bangunan tua itu berdentang untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun lebih tampak mati suri. Penduduk desa meringkuk ke dalam selimut mereka masing – masing karena takut akan kenyataan yang terbangun oleh lonceng itu.

Berpuluh – puluh tahun yang lalu, ada seorang pemuda tampan yang hidup di desa. Warna matanya berbeda dari seluruh penghuni desa itu, perak. Pemuda tampan itu bernama Wira. Tidak ada yang tahu asal usul pasti anak Pemuda itu. Ketika mereka tersadar anak itu telah muncul di desa dan memberikan banyak senyuman.

Wira membuka sebuah toko roti dibangunan peninggalan Belanda yang diberikan oleh warga. Sebagai ganti kebaikan warga desa, Wira harus merawat lonceng yang terdapat dibangunan tersebut. Lonceng yang telah berumur ratusan tahun itu merupakan lonceng penanda jam milik desa. Selama ini tidak ada warga yang bersedia merawat lonceng raksasa itu. Wira secara sepihak ditunjuk untuk merawat lonceng itu. Wira yang tampan dengan telaten mulai merawat lonceng tersebut meski apapun yang terjadi.

Senin, ketika hujan membasahi desa dengan liarnya, lonceng bangunan tua berbunyi. Dentang lonceng tersebut tidak menunjukkan waktu saat itu. Seharian penuh lonceng itu terus berbunyi. Warga desa merasa terganggu namun tidak dapat berbuat apa – apa karena hujan menghambat langkah mereka untuk menghampiri bangunan tempat lonceng itu berbunyi. Bagaimana dengan Wira, mengapa dia tidak memperbaiki lonceng itu?

Jawabannya muncul keesokan harinya ketika lonceng tersebut masih terus berdentang. Matahari bersinar cerah, menyisakan kemilau yang indah dibalik tetes akhir hujan. Bangunan tua yang menjulang megah di tengah desa menarik perhatian warga. Dipuncak bangunan tua, tepatnya di atas lonceng tua terdapat sebuah siluet merah yang mengganggu. Siluet itu membuncahkan rasa panik warga. Tubuh Wira yang tertancap dengan mantap. Ujung bangunan yang runcing tampak menembus indah ditengah perut Wira yang berselimut kemeja berwarna merah. Ke dua bola mata Wira yang indah terpelanting di depan pintu bangunan tua, entah bagaimana caranya.

Entah apa yang terjadi, banyak spekulasi yang muncul namun pada akhirnya cerita itu pun terkubur seiring dengan kesunyian desa tanpa dentang lonceng.

Lima tahun kemudian, seorang pemuda tampan lainnya datang mengunjungi desa. Pemuda itu memiliki bola mata berwarna biru sapphire. Mata sendu yang serupa dengan mata Wira. Kemunculan pemuda itu membuat lonceng bangunan tua kembali berbunyi. Tidak ada yang curiga dengan pertanda itu hingga sang pemuda bermata biru sapphire ditemukan meninggal dengan kondisi yang sama persis seperti Wira.

Kejadian ini terus berulang setiap kali desa tersebut dikunjungi pemuda bermata indah.

“Apa mungkin ini kutukan Wira?”

“Kenapa harus pemuda dengan bermata indah?”

Pertanyaan – pertanyaan beberapa puluh tahun kembali terkuak. Kepala desa kemudian memutuskan untuk menutup akses wisata ke desa. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya musibah aneh tersebut. Namun hal tersebut tidak menghentikan musibah.

Secara misterius, setahun sekali seorang warga desa akan melahirkan seorang anak bayi bermata indah. Ketika anak mereka menginjak umur 5 tahun, sang lonceng akan berbunyi dan musibah itu pun kembali lagi. Mungkin ini karma untuk warga desa. Entah karma karena apa? Yang jelas tidak ada satu pun warga desa yang bisa melarikan diri dari semua kejadian ini.

Kepala desa yang merasa frustasi dengan ini semua pun kembali membuka akses wisata ke desa. Sesuai kesepakatan warga, ada baiknya membiarkan warga asing yang terenggut nyawanya dibandingkan warga desa itu sendiri.

Malam ini, seperti yang sudah dikatakan tadi, lonceng besar itu kembali berbunyi. Siluet merah siapakah yang akan tertancap mesra disana? Bola mata indah milik siapa yang akan terpelanting manja di depan pintu bangunan?

Aku hanya bisa memejamkan mataku yang hampa dan tersenyum dari balik lonceng sembari menatap wajah-wajah ketakutan di bawah sana.


- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..