Sabtu, 05 Juli 2014

PENARI


Spanduk besar terpampang di gedung pertunjukan kota. Nama Ambar bersanding dengan sebuah predikat penari berbakat abad ini. Banyak mata yang berdecak kagum melihat spanduk tersebut. Siapa yang tidak kenal Ambar? Beberapa bulan ini namanya mengisi seluruh pemberitaan negeri. Seorang gadis yang terlahir dengan keterbatasan yang bertransformasi menjadi penari hebat. Ambar bahkan disebut-sebut sebagai penari yang muncul hanya sekali dalam berjuta-juta tahun. Ambar mendobrak dinding yang selama ini memenjarakannya dari indahnya alunan musik dunia.

“Nona Ambar.”

Penanggungjawab pertunjukan memberi isyarat. Ia menulis sebuah kalimat ‘lima menit lagi pertunjukan dimulai’. Tangannya membentuk sebuah lingkaran, meminta jawaban pada Ambar. Ambar mengangguk dan ikut membulatkan jemarinya tanda mengerti.

Sebuah sepatu berukuran 27 yang tampak lusuh tertata rapi dipinggir meja rias. Ambar menatapnya dengan senyuman yang cerah. Sepatu itu yang membimbingnya menjadi Ambar yang sekarang. Pemberian dari seseorang yang amat berjasa.

Ketika itu Ambar berumur 7 tahun. Ia suka sekali bermain di sebuah rumah tua. Rumah itu memiliki sebuah piano lusuh yang ditinggalkan penghuninya. Sejak dulu Ambar penasaran dengan piano yang memiliki tuts aneh. Ambar sering melihat orang-orang ditelevisi memainkan benda besar itu. Ia tidak mengerti mengapa orang-orang itu sangat bahagia melakukan hal tersebut.

Suatu hari ketika ia kembali mengunjungi rumah tua, ia bertemu dengan seorang pria. Pria dengan punggung yang lebar tampak asyik memainkan piano. Pria itu menutup matanya dan tampak sangat menikmati apa yang sedang ia lakukan. Tanpa sadar Ambar pun ikut terhanyut dengan gerakan pria tersebut. Tangan dan kakinya bergerak secara spontan. Ambar menari untuk pertama kalinya tanpa tahu lagu apa yang sedang dimainkan oleh pria berpunggung lebar tadi.

“Kau penari yang hebat.”

Ambar membuka matanya. Ia terkejut melihat pria itu terus menatapnya sambil tersenyum. Ambar menggerakkan tangannya, berusaha mengatakan bahwa ia tidak ada niat mengganggu.

“Kau bisu?”

Ambar hanya terdiam.

“Kau bisu?” Pria itu mengulangi pertanyaannya perlahan-lahan.

Ambar mengangguk. Ia lalu menggerakkan tangannya ke arah telinga.

“Kau juga tidak bisa mendengar?”

Ambar mengangguk. Ia tidak merasa sakit hati ada orang yang bertanya seperti itu. Ia sudah terbiasa hidup dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih menyakitkan di panti asuhan.

“Tetapi kau bisa menari. Hebat.”

Pria itu berdiri dan bertepuk tangan. Ambar bingung. Ia tidak tahu mengapa pria dihadapannya tersenyum dan bertepuk tangan. Namun, ia merasakan sebuah kehangatan yang menjalar ke dalam hatinya. Rasanya sangat menyenangkan.

“Kau sangat istimewa.” Pria itu mengacak rambut Ambar.

Ambar tersenyum bahagia. Sejak saat itu Ambar semakin giat mengunjungi rumah tua. Ia selalu menantikan saat bertemu dengan pria berpunggung lebar. Pria itu mengajarinya memahami nada dan not balok. Mereka pun menari bersama-sama dengan riang. Ambar menemukan apa yang selama ini ia cari. Kebahagiaan. Dengan menari Ambar bisa merasakan hal yang membuatnya merasa dibutuhkan di dunia ini. Ia seperti hidup kembali dan melupakan kekurangannya yang selama ini menjadi bahan tertawaan.

“Kau akan menjadi penari hebat.” Pria tersebut selalu berkata seperti itu.

Ambar menjawabnya dengan sebuah anggukan yang keras. Iya, ia ingin menjadi penari yang hebat agar bisa membuat semua orang berhenti menertawakannya. Menutup mulut orang-orang yang tidak ingin mengadopsinya karena beralasan akan kerepotan mengurus anak kecil yang terlahir tidak sempurna.

Pria berpunggung lebar membuka jalan bagi Ambar untuk meraih dunia yang lebih luas. Lewat sepasang sepatu putih dan senyuman yang mengembang, pria itu mengantarkan Ambar mengikuti kompetisi pertamanya. Kompetisi yang membuat Ambar kembali ditertawai banyak orang.

“Tuli kayak gitu disuruh ikut lomba?”

“Ya ampun, pria satu ini tidak pernah kapok membawa orang aneh kesini.”

“Menyerah saja!”

Ambar tidak dapat mendengar tetapi ia paham ejekan-ejekan yang dilontarkan kepadanya. Ia semakin membulatkan tekad memenangkan kompetisi tersebut. Ia pun menari dengan sangat hebat. Pengunjung berdecak kagum. Tetapi hal itu tidak lantas membuatnya memenangkan kompetisi. Juri tidak bisa memenangkannya dengan alasan keterbatasan yang dimiliki Ambar. Ambar sudah siap menerima hal itu. Ia tahu untuk meraih dunia yang luas tidaklah mudah. Berbeda dengan pria berpunggung lebar. Ia marah besar pada juri. Ia bahkan membanting meja yang digunakan untuk berdiskusi. Untuk pertama kalinya Ambar melihat seseorang membelanya. Seketika itu air matanya menetes. Ia tidak sakit hati dilecehkan. Ia hanya merasa bahagia dan sedih melihat ada orang yang berjuang untuknya.

Ambar memeluk pria berpunggung lebar tanpa sadar. Ia menggelengkan kepalanya dengan keras. Dalam hatinya ia berteriak “sudah cukup Tuan. Sudah cukup.” Pria berpunggung lebar mengerti. Ia mengusap anak kepala Ambar dengan hangat.

Mereka pun pulang ke rumah tua sambil bergandengan tangan. Pengalaman menyakitkan hari itu adalah awal segalanya.

“Kau memiliki hati yang besar. Aku belajar banyak darimu hari ini. Ayo kita raih dunia yang luas untukmu.”

Ambar mengangguk.

Sepasang sepatu putih itu menjadi saksi perjuangannya. Solnya kini telah menipis. Warna putihnya berubah menjadi lusuh. Namun semangat Ambar tetap menyala. Apa yang tampak pada sepatu itu adalah ceminan perjuangan bertahun-tahun yang dilewati oleh Ambar.

Sekali lagi Ambar tersenyum. Hari ini adalah pertunjukan keseratusnya. Pertunjukan emas yang ia persembahkan untuk pria berpunggung lebar. Pertunjukan bertajuk ‘Perjalanan Sepasang Sepatu Putih’.




- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..