Jumat, 20 Mei 2011

DRACULA DOES NOT EXIST


Prolog

Tawa dan keharuan membuncah diantara sepasang pasangan yang saling mengucap janji. Kue tart setinggi satu setengah meter menjulang indah bagaikan sebuah istana kecil. Pengantin wanita tampak tersenyum bahagia berbicara dengan para tamu sambil menyematkan lengan kecilnya pada  pasangannya yang tampan dan berambut putih perak.

Satu persatu tamu disapa dengan hangat. Bahagia tampak merekah dirona pipinya yang terpoles blush on baby pink. Sang pengantin pria tampak tersenyum dan sesekali memberikan sentuhan hangat pada pasangannya menampakkan kebahagiaan yang tersemai.

Tak jauh dari mereka, seorang wanita paruh baya berdiri dengan tongkat kayu eldernya tampak menatap mereka dengan tajam. Wanita tersebut mengenakan gaun berbahan katun yang berwarna dominan hitam dan mengelung rambut pirang keemasannya dengan rapi. Beberapa saat kemudian wanita itu  menggumamkan sesuatu dan berjalan ke arah pasangan pengantin.

“Kalian tidak seharusnya menikah” kata wanita paruh baya itu.

Pengantin wanita meringis memegang tangannya yang dicengkeram kuat. Melihat hal itu pengantin pria menepis kuat tangan wanita paruh baya tersebut.

“Delia, hentikan permainanmu itu. Aku tidak akan mempercayaimu” bentak pengantin wanita seraya mendorong wanita paruh baya tersebut.

Merasakan penolakan yang besar dari para tamu dan pasangan pengantin, wanita paruh baya yang dipanggil Delia tersebut melangkahkan kakinya meninggalkan wedding party tersebut.

“Kamu akan mendapat kutukan Athea, aku ibumu” desis wanita itu saat berada di depan gedung.
***
Seorang gadis berlari diantara pepohonan pinus yang menjulang indah mengelilingi danau Saphire. Tubuhnya sesekali dibungkukkan dan tangannya mencari – cari sesuatu diantara rerumputan.

“Ini rusak” gumam gadis itu seraya membuang sebuah cone pinus.

Gadis tersebut melanjutkan lari – lari kecilnya disekitar danau dan kemudian tersenyum saat melihat dua buah cone pinus yang tampak sempurna. Sejurus kemudian, tangan putihnya menampakkan duah buah cone pinus pada sepasang suami isteri.

“Rhea, ini buat Ibu?” tanya wanita tersebut.

“Iya, dan ini . .” gadis yang dipanggil Rhea tersebut menyerahkan salah satu cone pinus dan kemudian berkata ”untuk Ayah”

Pria berambut putih perak yang dipanggil Ayah tersebut pun tersenyum. Dia menatap anak gadisnya yang kini telah menginjak umur 20 tahun dengan iba. Sebuah foto lusuh yang didapatinya beberapa minggu yang lalu membuatnya merasakan ketakutan yang aneh. Matanya yang berwarna abu – abu cerah kini mengarah pada wanita yang menjadi isterinya selama 23 tahun terakhir dengan cemas. Wanita yang duduk disebelahnya balik menatapnya dengan hangat lalu tersenyum. Kecemasan yang dirasakan pria itu pun mulai memudar. Ke dua tangannya yang kekar seketika memeluk ke dua wanita yang dikasihinya itu.

“Semoga kecemasanku tidak akan terbukti” batinnya.

***
Rhea terpaku menatap salad yang terhidang dihadapannya. Tangannya yang memegang garpu digoyang – goyangkan begitu saja dipiring putih yang berisi salad tersebut.

“Rhe . . . ck, ingat kata Ibumu, makan sayur !” kata seorang gadis berkulit hitam yang duduk dihadapannya.

Gadis tersebut bernama Melville Barker, sahabat Rhea sejak kecil. Dia adalah satu – satunya orang yang dipercayai oleh Athea-Ibu Rhea- dengan sepenuh hati untuk menjaga Rhea. Melville dan Rhea bagaikan bidak catur yang berbeda warna.  Rhea berkulit putih mulus dengan rambut yang berwarna kuning emas, mata berwarna abu – abu cerah, dan bertubuh langsing yang seakan rapuh. Sementara Melville adalah seorang gadis berkulit hitam dengan rambut yang berwarna cokelat tua dan direbonding sehingga tampak lurus kaku serta berbadan cukup besar dengan otot yang sesekali tampak mencuat. Tak heran mengapa Melville selalu disebut sebagai pengawal pribadi Rhea ketimbang disebut sebagai sahabat.

“Aku tidak mau” kata Rhea lalu menutup mulutnya dengan kedua tangannya yang rapuh.

Melville terus memaksa menyuap Rhea dengan segarpu salad, namun Rhea dengan berbagai cara terus berkelit. Akhirnya Melville pasrah dan meletakkan begitu saja garpu yang dipegangnya.

“Aku kesana sebentar” kata Rhea tiba – tiba sambil menunjuk ke arah tempat pemesanan makanan di kantin kampus.

Melville menggelengkan kepalanya dan terus menatap Rhea. Mulutnya seperti ingin meneriakkan sesuatu saat Rhea membawa nampan yang berisi daging sapi asap. Rhea hanya menyengir sebentar dan mulai menyantap makanannya.

“Rhe, kamu ini sudah dilarang makan daging masih saja melawan. Sayurnya jangan lupa”

Melville menyodorkan salad yang tadi tak disentuh sama sekali oleh Rhea. Rhea menggelengkan kepala dan mencoba mengunyah daging sapi asap yang telah masuk dimulutnya dengan cepat lalu berkata” Aku benci sayur dan kamu  Mel harusnya mengerti. Jangan ikut – ikutan Ibu yang hobi menasehatiku”

“Rhe, aku dan Ibumu peduli dengan kesehatanmu. Wajahmu pucat seperti vampir ah tidak drakula”

“Biarkan saja” kata Rhea asal.

“Ah ya . . . kamu sudah dengar berita lokal tadi pagi?” melihat wajah Rhea yang seperti kebingungan, Melville pun melanjutkan “I should know that, kamu gak suka nonton berita”

Rhea kembali menyengir lalu memasukkan potongan terakhir daging sapi asap dan mulai menatap Melville dengan serius.

“Hari ini dua orang ditemukan mati di dekat danau Spahire dengan bekas gigitan aneh yang mengoyak badan mereka” lanjut Melville

“Binatang liar kali”

Melville mengangkat bahunya dan berkata lagi “jangan main – main di danau itu lagi Rhe”

***
Rhea berbaring di tempat tidur hitamnya. Matanya yang bulat menatap langit – langit kamar yang penuh dengan hiasan bintang sambil memikirkan sesuatu. Sudah hampir sebulan ini Ayahnya bersikap aneh padanya dan Ibu. Ayahnya tampak jijik jika berada didekat mereka. Entah apa yang terjadi pada Ayahnya. Tapi seingat Rhea, kelakuan Ayahnya berubah saat mereka mengunjungi rumah keluarga Ibunya yang kini dibiarkan kosong dan tidak terurus.

Ibu Rhea adalah satu – satunya penerus keluarga Barones atau bisa dikatakan Athea-Ibu Rhea- adalah anak tunggal di keluarga tersebut. Keluarga Barones adalah keluarga yang aneh. Mereka dikabarkan berasal dari Asia dan tampak tidak memiliki sanak saudara. Pertengahan abad 20-an mereka pindah ke kota kecil ini bersama anak gadis mereka yang telah remaja dan seorang pengasuh yang bernama Delia. Saat ini hanya Athea yang hidup, oleh karena itu rumah megah tersebut tampak tidak berpenghuni. Athea lebih memilih hidup dirumah sederhana bersama keluarga kecilnya, mengingat rumah megah milik keluarganya tampak tidak cocok untuk ditinggali 3 orang saja.

Rhea mendadak merasa haus dan segera melangkahkan kakinya ke ruang makan. Saat ingin mengambil minum di kulkas, dia mendengar suara Ayahnya yang tampak sedih dari arah ruang keluarga. Rhea minum sebotol limun dengan cepat dan berjalan menuju ruang tengah.

“A-a-ayah?”kata Rhea dengan sedikit cemas sambil menyentuh bahu Ayahnya.

Claud-Ayah Rhea-terdiam dan kemudian menatap anaknya yang mulai duduk disampingnya. Tangannya mulai bergetar melihat Rhea yang menatapnya dengan sendu.

“D-d-dia seharusnya tidak boleh lahir”batin Claud.

Rhea terus menatap Ayahnya seakan menunggu sebuah jawabannya. Matanya membulat dengan pasti disertai dengan alis yang terangkat dengan jelas.

“Ayah tidak apa – apa dan sebaiknya kamu tidur”

Rhea menatap jam dinding di ruang tersebut lalu mengangguk. Sebelum pergi ke kamarnya, Rhea mendaratkan sebuah kecupan hangat di dahi Ayahnya dan mengucapkan selamat malam dengan lembut.

Ayahnya hanya memandang Rhea yang menjauh. Tangannya dikepal dengan kuat. Ingin rasanya dia menghindar dari kecupan itu tadi namun hati kecilnya sebagai Ayah luluh merasakan kehangatan kasih sayang dari seorang anak.

“Apa yang harus aku lakukan” batin Claud.

Rhea kembali berbaring di atas tempat tidurnya sambil memikirkan bahasa tubuh Ayahnya tadi. Tidak seperti biasanya, Ayahnya tampak canggung dan tidak mengucapkan apa – apa saat Rhea berlalu.

“Mungkin Ayah sedang banyak masalah” gumam Rhea ,lalu menutup matanya dengan perlahan.
***
Rhea berlari – lari kecil mengejar taksi diantara hujan yang mengguyur kota kecilnya. Tangannya mengibas – ngibaskan payung yang basah di dalam taksi dengan cepat. Supir taksi berdehem keras melihat kelakuan Rhea yang membasahi taksinya. Rhea meminta maaf dan menyimpan payung hitamnya didekat kakinya.

Beberapa menit kemudian Rhea telah duduk di depan sebuah bioskop ternama menunggu Melville. Rhea terus menatap jam tangan antiknya yang kini menunjukakkan pukul 11.00. Suara seorang wanita menggema dengan keras dan memberitahukan bahwa pintu teater  1, tempa Rhea dan Melville akan nonton akan telah dibuka. Rhea semakin cemas , lalu mencoba menghubungi Melville via telepon.

“Maaf, Rhe” kata Melville yang tiba – tiba muncul dihadapan Rhea.

Rhea cemberut, menyimpan handphonenya, lalu menarik Melville masuk ke dalam teater 1. Rhea dan Melville masuk ke dalam bioskop dengan perlahan. Gerutuan para penonton membayangi langkah mereka saat ingin menuju tempat duduk yang mereka pilih. Melville dengan tubuhnya yang cukup besar tampak mengganggu penonton.

“Makanya jangan lama” kata Rhea saat duduk.

Sorry, diluar lagi hujan deras”

“Ssssstt”

Penonton yang duduk disebelah mereka menatap dengan tajam. Rhea dan Melville seketika tersenyum kecut dan mengarahkan pandangan ke depan dan mecoba menikmati film yang mereka pilih.

Dua jam kurang belalu, Rhea dan Melville kini terlihat sedang menikmati chicken crispy disalah satu food court. Rhea melahap makanannya dengan cepat sementara Melville terus menatapnya takjub.

“Makanmu makin banyak saja” komentar Melville.

“Biarin aja, lagi ada masalah dengan Ayahku. Daripada marah – marah gak jelas, lebih baik makan sebanyak – banyaknya kan ?”

“Salad ?” tanya Melville sambil menunjuk salah satu menu yang bergambarkan sayur dengan sedikit mayonnaise. Rhea menggelengkan kepalanya dan menunjukkan ekspresi ingin muntah.

“Huh !! Memang ada masalah apa sih ? Dilarang ikut prom night nanti ?” tanya Melville lagi.

“Bukan, Ayah jadi bersikap aneh padaku dan Ibu”

“Mungkin lagi banyak masalah” kata Melville.

“Hope so”

Rhea melemparkan pandangannya ke arah kaca bening yang menampakkan ruas – ruas jalan raya. Rhea menikmati pemandangan tersebut. Daridulu dia memang suka melihat ruas – ruas jalan yang tampak indah menopang langkah bermacam – macam orang. Seulas senyum pun tersungging dari bibir mungilnya.

“Rhe . .”

Rhea menatap Melville lalu menaikkan alisnya yang tipis. Melville tersenyum dan meminta Rhea untuk segera menghabiskan makananannya. Mereka harus segera pulang karena hari semakin siang sementara Melville memiliki jadwal kuliah siang nanti. Rhea mengangguk dan dengan segera menghabiskan makanannya.

“Panas sekali sekarang” kata Rhea melindungi matanya dengan tangan.

“auch” kata Rhea seketika merasakan sengatan matahari yang serasa mengoyak kulit tangannya.

Tangan Rhea tampak melepuh dibalik sinar matahari. Rhea menatapnya dengan heran dan menjauh dari cahaya matahari lalu mencoba melambaikan tangannya yang lain pada Melville yang telah berada di dalam taksi.

“Kenapa ini?” kata Rhea sambil memandangi kulit tangannya yang mengelupas.

***
Rhea pulang ke rumah saat matahari berganti menjadi cahaya bulan. Tangannya yang melepuh dipegang dengan lembut. Luka lepuhan itu meninggalkan bekas yang aneh dan kontras dengan tangannya yang putih.

“Tangan kamu kenapa sayang?” kata Ibu Rhea saat makan malam.

“Melepuh kena matahari”

Seketika itu pula Ayah Rhea tersedak dan hampir menyemburkan makanan yang dikunyahnya. Matanya menatap Rhea dengan tajam, lalu mulutnya mengeluarkan sebuah suara bariton yang serak saat berkata “mulai besok jangan kuliah”

Kini giliran Rhea dan Ibunya yang tampak ingin tersedak. Rhea dan Ibunya membulatkan mata dengan lebar lalu saling menatap.

“Lihat tanganmu, itu yang akan terjadi kalau kamu masih nekat kuliah”

Rhea menatap tangannya seakan paham akan sesuatu lalu berkata “maksud Ayah tanganku bakal melepuh lagi kalau kena sengatan matahari?”

“Jangan bercanda, tadi itu hanya kebetulan” timpal Ibu Rhea.

Ayah Rhea menatap Rhea dengan tajam dan kemudian beranjak dari ruang makan. Ibu Rhea tersenyum lalu mengelus tangan anaknya yang tampak bingung dan berkata bahwa mungkin Ayahnya terlalu khawatir hingga berlebihan seperti itu.

***

Claud de’Bureau melangkahkan kakinya diantara bangsal yang pinggirannya ditumbuhi bunga Lily. Claud de’Bureau adalah Ayah dari Rhea dan juga anak dari salah satu bangsawan terkemuka di kota kecil tempat dia tinggal saat ini. Dia adalah anak bungsu dari keluarga tersebut. Sejak memilih menikah dengan Athea Barones, Claud diusir dari rumahnya. Keluarga besar Claud tidak setuju jika Claud menikah dengan Athea yang dianggap rendah. Namun, rasa cintanya pada Athea mengalahkan segalanya, bahkan saat Delia datang dan mengatakan suatu hal yang semakin mengguncang keluarga Claud. Kini, Claud tampak mulai menyesali tindakannya.

Langkahnya kini terhenti di depan sebuah ruangan yang terletak di ujung bangsal. Sebuah ketukan kecil terdengar. Seorang pria berbadan bulat dengan janggut keputihan yang menjuntai muncul dari balik pintu. Pria tersebut tersenyum dan mempersilahkan Claud masuk.

Aroma lavender tercium dari dalam ruangan. Claud menarik napas panjang lalu tersenyum menikmati keasrian ruangan tersebut. Ruangan kecil tersebut tidak tampak seperti ruangan dokter pada umumnya. Warna cokelat mendominasi seluruh ruang yang berukuran lumayan tersebut. Dindingnya tampak dihiasi dengan berbagai macam lukisan bunga lavender. Dua buah kursi kayu mahoni berpelitur juga tampak tersusun rapi di depan sebuah meja persegi yang berbahan senada. Sebuah kursi lain tampak terdiam sendiri di salah satu bagian meja. Papan nama berbentuk segitiga sama kaki dengan ukiran bunga edelweis tampak mencuatkan nama dr. Patrick Redwood. Pria bulat tadi kemudian duduk disebuah kursi  yang membelakangi papan nama tersebut. Sementara Claud duduk disalah satu kursi berpelitur sambil menyimpan tas kerjanya di kursi yang lain.

Dia mengeluarkan sebuah berkas lusuh dari dalam tas dan menunjukkannya pada dr. Patrick.

“Ingat yang aku bicarakan kemarin Patrick?” katanya seraya melihat ekspresi Patrick.

“Iya dan apakah hal itu yang mengundangmu kesini lagi?” kata Patrick sambil membetulkan posisi duduknya.

“Tanda – tandanya sudah ada. Aku sudah menduganya sejak melihat foto itu. Aku mengenal pria itu dan berkas ini . .” Claud mengangkat berkas lusuh ditangannya tinggi – tinggi “menguatkan segalanya”

“Tenanglah Claud. Kamu hanya terlalu takut ke . . .”

“Aku memang takut” potong Claud.

“Aku memang takut” ulangnya pelan.

***

Rhea menangis menatap tubuhnya yang semakin pucat dan tampak gelap selayaknya orang mati. Ke dua tangannya dikepal erat dan dihempaskan dengan kuat ke arah cermin yang berdiri tegap dihadapannya. Suara pecahan kaca membahana dipenjuru rumah dan mengagetkan Athea-Ibu Rhea.

“Sayang . .” Athea tampak berdiri pilu di depan pintu kamar anaknya.

“Aku kenapa Bu” tangis Rhea semakin kencang.

Athea memeluk anaknya dengan lembut lalu mengelus rambutnya dengan penuh kasih sayang.

“Hari ini kita ke tempat dokter Patrick. Ganti bajunya, biarkan pecahan itu dibereskan Ibu. Jangan menangis sayang” kata Athea sambil mengangkat wajah anaknya.

Beberapa saat kemudian Athea meninggalkan anaknya sendiri di kamar. Langkahnya mengarah tegas ke kamar. Tangannya yang bergetar menggebrak meja rias.

“Claud, apa yang sebenarnya terjadi !!” kata Athea sambil menatap Claud-suaminya-dari cermin.

Merasa tidak diacuhkan, Athea berjalan ke arah Claud yang sedang duduk di tempat tidur. Matanya berkaca – kaca menyiratkan sebuah pertanyaan. Claud hanya menarik napas dan beranjak dari tempatnya duduk.

Sebelum keluar dari kamar ia berkata “ Kita bertemu Patrick supaya semua lebih jelas”

***

“Harus transfusi darah tiap minggu atau suntikkan ini padanya” kata dokter Patrick pada Claud dan Athea.

Athea kemudian memaksa Claud dan Patrick untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada Rhea. Claud tertunduk dan meminta Patrick menjelaskan semuanya. Patrick menarik napas panjang dan mencoba menjelaskan semuanya dengan berhati – hati. Athea mendengarnya dengan seksama dan mulai menitikkan air mata saat Patrick menceritakan semuanya.

“J-j-jadi ini salahku?” kata Athea sendu.

“Bukan sayang, ini bukan salah siapa – siapa. Takdir memang seperti ini”

Claud lalu memeluk Athea dengan hangat dan melanjutkan “sekarang kita harus menjaga Rhea dengan baik”.

***
Hari ini Melville datang mengunjungi Rhea yang hampir sebulan tidak bertemu dengannya. Dia sempat terkejut saat melihat tubuh Rhea yang semakin kurus dengan kulit putih gelap yang aneh dan tampak pucat.

“Kamu sakit apa Rhe ? ” Melvile memeluk Rhea dengan penuh kasih sayang.

“Aku juga tidak tahu, Ayah dan Ibu tidak pernah mengatakannya padaku”

“Baumu seperti darah” kata Melville sambil melepaskan pelukannya.

Rhea hanya tersenyum menatap Melville. Kemudian mereka saling bertukar cerita tentang apa yang mereka lalui selama ini. Melville dengan semangat bercerita tentang acara weekendnya di pantai bersama keluarga. Mata Rhea berkaca – kaca saat mendengar hal itu. Dia rindu bau pantai dan hangatnya matahari yang menyengat tubuh. Matanya menerawang jauh ke masa  – masa indah saat dia bisa berlari dan berenang di pantai.

Melville menangkap sinyal kesedihan itu dan mulai mengalihkan pembicaraan. Dia bertanya tentang kegiatan Rhea selama di rumah dan meminta maaf karena baru bisa menjenguknya. Rhea, sekali lagi, hanya tersenyum mendengar perkataan Melville.

Sejam sudah Melville dan Rhea bertukar cerita. Sebuah panggilan singkat dari handphone Melville mengharuskan dirinya untuk segera pulang. Dia memeluk Rhea sekali lagi lalu turun ke bawah dan segera berpamitan pada Ibu Rhea.

Setengah perjalanan, Melville tersadar bahwa handphonenya tertinggal di tempat tidur Rhea. Dengan segera dia kembali ke rumah Rhea. Betapa terkejutnya Melville ketika melihat sebuah selang infus yang berisi cairan darah terhubung ke tangan Rhea. Matanya semakin membulat saat melihat Ibu Rhea menyuntikkan sesuatu yang berwarna merah dan kental.

“Ada apa Melville?”

Suara bariton berat mengagetkan Melville.

“Ah om, i-i-itu handphone saya ketinggalan” jawab Melville gugup.

“Tunggu disini”

Claud kembali berdiri dihadapan Melville sambil membawa sebuah handphone hitam. Melville menerima handphone tersebut dan dengan segera pergi dari rumah tersebut.

“Jangan – jangan rumor selama ini benar” gumam Melville sambil menatap jendela kamar Rhea dari luar.

***
Pemberitaan di kota kecil tempat Rhea tinggal mengenai keberadaan makhluk aneh semakin menjadi  –  jadi. Beberapa minggu belakangan ini korban tewas dengan gigitan yang mengoyak tubuh semakin bertambah. Claud semakin cemas dengan pemberitaan tersebut. Dia menatap anaknya dengan sedih. Rhea tersenyum memandang Ayahnya dan berjalan ke arah jendela. Tubuhnya yang ringkih terbalut sebuah kapuchon merah marun. Rambutnya yang berwarna perak tampak semakin menipis dan menyisakan jejak – jejak rontokan rambut disepanjang langkahnya.

“Apa harus malam ini Ayah?” tanya Rhea sambil terus menatap jendela.

“Iya, harus secepatnya kita pergi dari kota ini”

Rhea tersenyum kecut menatap langit yang mulai menampakkan warna jingga kemerahan. Ayah Rhea-Claud-kemudian meninggalkan Rhea sendirian di ruangan tersebut. Rhea terus menatap jingga kemerahan, ada setitik kerinduan yang menghampiri dirinya.

“Aku mau keluar” gumam Rhea.

“Ayo”

Melville tiba – tiba muncul dihadapan Rhea. Rhea menatap Melville yang mencoba memanjat jendela dengan susah payah. Tubuh Melville yang semakin tambun tidak mampu melewati jendela tersebut. Rhea tertawa dan meminta Melville untuk menjauh dari jendela. Sebuah lompatan kecil terlukis dari kaki Rhea. Kemudian Rhea berlari kecil mengikuti langkah Melville. Awalnya Rhea merasa sedikit  aneh dengan sikap Melville yang tampak semakin kasar. Namun, hal tersebut ditepisnya  dengan segera.

Melville membawa Rhea mengelilingi kota, menikmati ice cream, hamburger, serta mengunjungi kampus dengan menggunakan van orangenya. Rhea merasa sangat bahagia dan menikmati perjalanan tersebut. Dia bersyukur karena bisa jalan – jalan untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan kota kecil ini. Senyuman tidak pernah lepas dari wajah ovalnya.

Kini senja perlahan menghilang ditepis angin malam yang berkabut. Melville mengarahkan van orangenya ke arah danau saphire.

“Kenapa kita kesini Mel ? Kata Ayah ada makhluk buas yang berkeliaran di sekitar danau dan hutan pinus disana” kata Rhea sambil menunjuk jejeran pohon pinus diseberang danau.

Melville melemparkan batu kecil ke arah danau. Batu tersebut terpantul tiga kali di atas air seperti jet ski yang menerjang ombak. Melville kembali ke bawah pohon pinus tempat Rhea berdiri lalu berkata “jangan menutupinya lagi Rhea”

Rhea mengerutkan dahinya, menandakan bahwa dirinya tidak mengerti apa yang dikatakan Melville. Melville menyeringai lebar dan mencengkeram bahu Rhea dengan kuat. Rhea mencoba berteriak namun tangan kiri Melville dengan sigap membungkam mulut Rhea dengan sebuah sapu tangan.

Siulan kecil Melville mendatangkan berbondong – bondong orang yang membawa obor dan pisau perak. Mata Rhea membulat ketakutan menatap semua itu sementara Melville dengan cekatan mengikat tangan serta kaki Rhea.

“Kamu kan yang sudah membunuh semua orang dengan gigimu yang runcing tajam itu ?!!” teriak Melville.

Rhea menggelengkan kepalanya dengan keras yang kemudian diselingi dengan teriakan serombongan orang yang berada ditempat tersebut. Rhea menangis menatap Melville dan berharap ini semua hanya mimpi. Namun, tusukan sebuah pisau perak membuatnya tersadar bahwa ini bukanlah mimpi.

Darah kental menetes dari tangan kanan Rhea. Airmatanya semakin deras mengalir seiring dengan tusukan berikutnya yang mendarat di tangan kanannya. Hati Rhea seperti tersayat dengan dalam ketika melihat orang yang tega menusuknya adalah Meville.

Meville terus menusuk tangan dan kaki Rhea dengan kejam. Matanya berubah menjadi cokelat kemerahan saat menatap luka disekujur tangan dan kaki Meville. Tubuhnya berguncang dan dengan segera dia mundur ke arah barisan rombongan berobor.

Seketika itu pula Claud beserta Athea muncul. Mereka terguncang melihat Rhea yang terluka dan diikat dengan biadab. Tangan Claud yang besar dikepalkan dengan kuat dan terarah pada rombongan berobor tersebut.

“APA YANG KALIAN LAKUKAN PADA RHEAKU !!!!!!!!!” teriaknya dengan bengis.

Urat – urat diwajahnya tampak menegang dan mencuat diantara kulit wajahnya yang putih. Rombongan yang berada disitu seketika mundur perlahan sementara Melville telah menghilang entah kemana.

“DIA DRAKULA !!! DIA MEMBUNUH ANAKKU” teriak seorang wanita berambut hitam panjang.

“KAU !!”

Wajah Claud menegang melihat wanita itu. Athea yang telah berhasil melepas ikatan Rhea mencoba menahan Claud dan membopong  Rhea yang lemas. Claud menghentikan pukulan tangannya yang hampir saja mendarat di wajah wanita tersebut.

Rombongan yang berada di temoat tersebut meneriakkan kata drakula secara bersamaan. Wanita berambut hitam panjang tadi pun melangkah maju dan berkata” Lihat wajahnya yang putih dan memucat. Kemana dia selama ini hah !!! Siang hari dia tidak pernah keluar rumah dan kulitnya pernah terbakar karena matahari kan?!! Saya juga melihat Anda dan Isteri Anda yang tiap minggu memasanga infus yang berisi gumpalan darah pada ANAK INI !!!”

Telunjuk wanita tersebut mengarah pada Rhea.

“R-r-rhea bukan drakula” isak Athea.

Seluruh orang yang berada disitu berteriak dengan heboh mendengar perkataan Athea. Wanita berambut hitam panjang tadi memberikan isyarat untuk maju dan menyerang keluarga tersebut. Athea mengeratkan pelukannya pada Rhea sambil menangis, sementara Claud mencoba melawan dengan sekuat tenaga.

“Ini salahku” batin Athea sambil melindungi Rhea dan mengingat kembali perkataan Patrick beberapa hari yang lalu.

“Rhea menderita penyakit Porphyria. Penyakit ini biasanya mengganggu pigmen porphyrin, yang memberikan warna pada hemoglobin. Penyakit ini punya beberapa subtipe dan yang diderita Rhea tergolong subtipe Porphyria Cutanea Tarda yang akan menyerang saraf dan kulit. Hal itu akan membuat Rhea tampak seperti . . .drakula” suara Patrick mengecil saat mengatakan hal tersebut.

Athea menangis mengingat hal tersebut apalagi saat mengingat alasan yang membuat anak kesayangannya ini menderita penyakit tersebut.

“Banyak hal yang bisa memicu hal itu Thea, seperti kelainan genetik, obat-obatan,konsumsi rokok dan alkohol, stres dan gangguan hormon selama menstruasi, serta kelebihan zat besi. Aku tahu Rhea tidak pernah mengkonsumsi hal yang aneh, dia mendapatkan penyakit itu . . . . . . . karena pernikahan sedarah antara kamu dan Claud” saat mengatakan hal itu, Patrick menyodorkan surat – surat dan foto keluarga milik Claud.

Itulah kenangan terakhir yang terlintas dipikiran Athea sebelum dia terbujur kaku sambil memeluk anaknya yang juga telah meregang nyawa.

“Mereka meninggal” kata salah seorang pria berbadan kurus.

Seketika itu pula Claud berjalan ringkih ke arah anak dan isterinya. Tubuhnya yang berbalut darah mendekap ke dua wanita tersebut dengan pilu. Rombongan yang berada disitu merasa ada sesuatu yang salah.

“K-k-kalau dia dan keluarganya drakula kenapa mereka lemah d-d-dan tidak mengigit kita?” tanya pria berbadan kurus tadi dengan gugup.

Rombongan tersebut baru menyadari hal itu. Kemarahan yang kuat dan menyala telah membuat mereka melupakan segalanya. Pisau perak perlahan terjatuh dari tangan mereka. Mereka terpaku menatap keluarga kecil yang baru saja mereka aniaya. Satu per satu langkah mereka menjauh dalam diam. Keegoisan membuat mereka tidak mengatakan kata maaf meskipun di hati mereka yang terdalam mereka menyadari kesalah yang telah mereka perbuat.

Claud menangis menatap anak dan isterinya yang terdiam. Tangisnya pecah dengan kuat.

“Harusnya ini tidak terjadi kalau saja aku tidak menikahimu, jangan pergi” isak Claud sambil menatap wajah Athea.

Pikirannya kalut dan tidak dapat berpikir jernih lagi. Tangannya yang sobek mengambil sebuah pisau perak. Dengan penuh airmata, pisau tersebut diarahkannya tepat ke jantung. Tak butuh waktu lama, jiwanya melayang menyusul Athea dan Rhea.

***

Epilog

Sebuah langkah kecil terarah pada tiga mayat yang tersayat – sayat. Dua taring putih mencuat dari bibir mungil orang tersebut. Seringai jahat tersulam dari kulit wajahnya yang berwarna hitam.

Hidungnya digerak – gerakkan dengan seksama mencium bau darah yang keluar dari tubuh tiga orang tersebut. Seringainya semakin lebar, sejurus kemudian taringnya menancap ke arah mayat tersebut.



THE END

- Regrads Pipit -
Read More..

Kamis, 19 Mei 2011

THE ROSE


Disaat kecantikan dan keindahan menutupi duri yang mematikan – The Rose




Prolog

Seorang gadis kecil tersenyum ceria memandangi taman bunga dihadapannya. Matanya yang bulat dan bening memancarkan aura kebahagiaan.

“Bunganya bagus” kata gadis itu sambil berlari ke arah taman bunga.

“Nona hati – hati !!”teriak seorang wanita muda yang mengenakan seragam berwarna biru tua.

Gadis kecil tersebut berhenti di depan kumpulan bunga mawar merah. Dia memandang bunga itu dengan seksama.

“Chie, bunga apa ini?”tanya gadis tersebut kepada gadis berseragam biru tua.

Gadis berseragam yang dipanggil Chie itu lalu tersenyum dan menyentuh kepala sang gadis kecil dengan lembut dan berkata “bunga mawar, nona”

Gadis kecil itu pun mengalihkan pandangannya dari Chie ke jejeran bunga mawar yang ada dihadapannya. Dia terpesona dengan kecantikan mawar yang ada dihadapannya. Dan tanpa disadari tangannya telah terluka oleh bunga mawar yang coba dipetiknya.

“Nona , tidak apa – apa?”

Gadis kecil tersebut hanya menggelengkan kepalanya dan terus menatap luka gores ditangannya.

Tak jauh dari tempat gadis kecil itu berdiri, di bawah sebuah pohon maple, seseorang tersenyum sinis.

***

10 tahun kemudian . . .

“Indonesia” lirih seorang gadis berwajah oriental sambil membetulkan kacamata perseginya.

“Nona, mobil jemputannya sudah datang” kata seorang pria tua pada gadis tersebut.

Mei Tsubaki adalah nama gadis berwajah oriental itu. Dia adalah anak pertama dari keluarga Tsubaki. Ayahnya, Tuan Shinya Tsubaki adalah seorang pengusaha yang memiliki sebuah perusahaan besar yang tersebar dihampir seluruh wilayah Asia. Ibunya, Nyonya Xiao Ling adalah anak bangsawan Cina yang sangat anggun. Adiknya, Yi Tsubaki dikabarkan telah meninggal dengan cara yang mengenaskan.

Mei Tsubaki berbeda dengan beberapa anak konglomerat lainnya. Dia lebih suka menghabiskan sebagaian besar waktunya dengan berdiam diri di dalam kamar daripada berpesta. Tidak banyak bicara dan jarang menunjukkan ekspresi manusia, bisa dikatakan ekspresi yang selalu terlukis di wajahnya adalah datar. Dia tidak pernah tersenyum atau pun menangis. Setidaknya itulah yang selama ini dikatakan oleh setiap orang yang mengenalnya, bahkan ke dua orang tuanya pun mengatakan Mei adalah anak tanpa ekspresi.

Mei sangat menyukai bunga mawar, terutama yang berwarna merah. Di rumah, kamar, bahkan di dalam tasnya sekali pun, bisa ditemukan sekuntum mawar merah.

“Kita sudah sampai , Nona” kata supir sambil membuka pintu mobil dengan perlahan.

Mei keluar dengan anggun dan melihat bangunan tua yang menjulang megah dihadapannya.

“Tidak terlalu besar...”katanya pelan dengan tatapan kosong.

“Maaf Nona, tapi inilah rumah yang bisa kami dipersiapkan untuk kedatangan Nona” kata seorang pelayan wanita yang berwajah kaku.

“Its better than another one” kata Mei penuh teka – teki sambil melangkahkan kakinya ke dalam bangunan tua tersebut.

Bangunan tua yang berarsitektur jengki tersebut memiliki aura yang agak menyeramkan. Atap pelananya terlihat kokoh meskipun sedikit kusam. Beton yang kuat menjadi salah satu elemen dari rumah dengan fasad bangunan yang tampak variatif dan komposisi tidak simetris ini. Salah satu jendela terlihat lebih tinggi dan tidak sejajar dengan jendela yang lain. Pola permukaan dindingnya yang berwarna krem dipenuhi dengan berbagai macam bentuk ekspresif.

Masuk ke rumah tua ini mengingatkan kita akan arsitektur rumah di Indonesia pada tahun 1960-an. Bentuk dan komposisi rumah tua ini menjelaskan eksistensi kebebasan yang diinginkan sang arsitek.
Mei mengelilingi rumah tersebut sambil membawa tas ranselnya yang berwarna merah marun. Dia melihat semua perabotan yang ada disekitar ruang tamu, menyentuhnya satu per satu dengan ekspresi datar. Langkahnya kini tertuju pada sebuah ruangan aneh yang jendelanya terlihat lebih tinggi tadi. Sebuah piano tampak kokoh di ruangan tersebut. Mei melihat piano yang berwarna hitam kelam tersebut dan mulai menekan tutsnya.
Sebuah alunan lagu terbias indah dan memenuhi sela – sela rumah jengki itu.

***

Mei terduduk diam di ruang kepala sekolah. Matanya yang sendu mengamati setiap sudut benda yang ada di ruangan tersebut. Di depannya duduk seorang wanita paruh baya dengan kacamata bulat dan tebal yang tengah sibuk membaca berkas yang kini ada ditangannya.

“Oke, semua berkasnya sudah lengkap. Silahkan ke kelasmu.”kata wanita paruh baya tersebut sambil menurunkan kacamata bundarnya.

Mei hanya terdiam menatap wanita tersebut. Seakan mengetahui arti dari tatapan tersebut, wanita paruh baya yang tidak lain ada kepala sekolah SMA Versulius Jakarta tersebut pun berkata “Oh, Pak Toni akan mengantarmu”.

“Biasa saja” batin Mei saat memasuki ruang kelas barunya.

Saat Mei memperkenalkan dirinya, seluruh siswa kelas 3 IPA 1 memandangnya dengan tatapan beragam. Bisik – bisik pun mulai terdengar saat Mei mengatakan bahwa dia adalah anak dari Shinya Tsubaki.

“Wah, dia nona miliuner” kata Doni yang duduk di pojok.

Kelas pun menjadi ribut dengan berbagai macam argumen yang keluar dari tiap siswa yang ada di kelas tersebut. Bu Rini pun berbicara dengan keras dan mulai menenangkan kelas yang sudah tidak kondusif lagi, setelah itu Mei diminta untuk duduk.

Mei duduk di samping seorang gadis berwajah lucu. Gadis tersebut tersenyum dan menatap Mei dengan tatapan ramah dan kagum.

“Kamu orang Jepang ya?” bisik gadis tersebut saat Mei duduk di sampingnya.

Mei hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari papan tulis dan Bu Rini yang sedang sibuk menuliskan sesuatu di papan tulis.

“Kenalin, aku Nina” kata gadis tersebut sambil mengulurkan tangannya.

Mei hanya melihatnya sesaat lalu menjabat tangan gadis tersebut dan berkata datar “Mei Tsubaki”.
Saat istirahat, Mei hanya duduk terdiam di bawah pohon jambu yang berada di samping kelasnya sambil menikmati sandwich tuna. Kepalanya mengangguk – angguk mengikuti sebuah irama yang melantun indah dari ipod merah marun yang terdapat disaku seragamnya.

“Hei !!” kata Nina sambil menepuk bahu Mei.

Mei melepaskan headset merahnya dengan perlahan, lalu melihat Nina dan bertanya “kenapa?”
Nina pun duduk disamping Mei dan berkata “Gak, kamu kok gak gabung sama kita sih?”

“Memangnya kenapa?”

“Lho kok nanya balik sih? Kalau kamu kayak gini, bisa – bisa kamu dianggap sombong lho” kata Nina sambil mengambil sandwich tuna dari kotak makan milik Mei.

Wajah Nina merengut saat merasakan sandwich tuna menari riang di dalam mulutnya. Mei hanya diam menatap wajah Nina yang terlihat sangat aneh, tanpa ketawa sama sekali.

“Tidak enak” kata Nina sambil membuang sandwich tuna yang ada di tangan dan mulutnya.

Sekali lagi Mei hanya terdiam dan tetap menikmati makanannya.

“Dia tidak ketawa bahkan memberikan komentar sama sekali, aneh” batin Nina dan melirik Mei.

***

Sebulan sudah Mei menjadi bagian dari kelas 3 IPA 1. Awalnya Mei menolak dengan mentah – mentah ajakan Nina untuk berbaur dan berteman dengan seluruh siswa 3 IPA 1. Saat ditanya alasan Mei menolak ajakan tersebut, Mei hanya terdiam. Dia bingung harus menjelaskan hal tersebut darimana karena hal yang dipendamnya selama ini sungguh sangat rumit.

“So, kalau gak ada alasan berarti kamu harus gabung dengan kita. Ayo !” kata Nina saat melihat Mei terdiam.

Dan kini, mau tak mau Mei telah menjadi bagian resmi dari kelas tersebut. Dia tidak lagi berdiam diri di bawah pohon jambu atau pun makan siang sendiri. Meskipun begitu, ekspresi wajahnya tetap tidak berubah. Disaat seisi kelas tertawa ataupun merasa sedih, hanya Mei lah yang tidak menunjukkan ekspresi apapun. Keanehannya itu membuat beberapa siswa mulai takut berada didekatnya.

“Mei itu manusia apa robot sih , kok datar banget yah ekspresinya. Gue gak pernah lho lihat dia ketawa” kata salah seorang siswi.

“Ssssttt, tuh orangnya datang”

Kerumunan anak – anak itupun terdiam memandang Mei. Mei tidak peduli dengan tatapan tersebut, sejak kecil dia tahu keanehan  yang ada pada dirinya dan dia sangat menikmatinya. Dia sama sekali tidak takut kehilangan sahabat karena sifatnya tersebut.

“Mei, kamu tahu gak sih kalau anak – anak pada ngomongin kamu si muka datar?” kata Loli tanpa ragu sambil menyantap mie ayam yang ada dihadapannya.

“Hush Loli, kamu “

“Gak apa – apa kok”potong Mei saat Ari ingin berbicara.

“Udahlah, gak usah peduli ma mereka guys, yang penting sekarang kita tetap mau berteman eh gak, bersahabat dengan Mei” kata Nina sambil merangkul Mei.

Ari dan Loli pun tersenyum dan memandang Mei dengan tatapan tulus. Mei merasa bahagia, namun sebuah sisi di dalam dirinya mulai meronta. Secepat angin dia mengontrol lagi emosinya lalu bergumam “tidak boleh emosional”

Tanpa mereka sadari, mereka sedang diawasi oleh seseorang.

***

Tradisi SMA Versulius Jakarta adalah mengadakan sebuah festival tahunan. Kali ini kelas 3 IPA 1 mendapatkan giliran untuk menampilkan sebuah drama yang telah ditentukan oleh panitia festival.

“Romeo dan Juliet? Euh” kata Nina sambil memandang judul yang di tulis oleh Kania di papan tulis.

“Kenapa?”tanya Mei saat melihat ekspresi jijik Nina.

“Aku gak suka drama kayak begituan”

“Oh...”

Setelah melalui debat yang panjang mengenai siapa yang pantas untuk menjadi pemeran di pementasan tersebut, akhirnya seluruh siswa kelas 3 IPA 1 kini mulai sibuk dengan segala persiapan pementasan, hanya Nina yang terlihat murung di pojok kelas.

“Kenapa aku harus terlibat sih?”kata Nina

“Terimalah nasibmu nak”kata Ari sambil menepuk punggung Nina dan menahan ketawa.

“Mei, kamu juga harusnya protes. Masa kamu jadi pembantunya Juliet sih. Keenakan tuh si Loli, jadi Nona, gak cocok”kata Nina ketus

“Eh eh , jangan bawa – bawa aku dong kalau kesal. Oh iya, Doni itu siapa sih? Anak baru ya?”

“Hallo ..... kemana aja Nona Juliet selama ini? Masa gak nyadar sih kalau kelas kita ada anak baru yang ganteng itu” jawab Nina

“Dia gak ganteng, gantengan juga aku kali” cibir Ari.

Mei yang duduk dihadapan mereka hanya bisa menatap mereka dengan sebuah tatapan dingin. Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan Mei saat itu, yang jelas kini seseorang juga ikut memandangi Mei dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

***

Mei merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya mulai terpejam namun tiba – tiba seseorang menggoyangkan badannya. Mei membuka matanya dengan perlahan.

“Main yuk, rumahmu sepi sekali sih” kata Loli.

Mei menghela napas dan teringat bahwa hari ini ke tiga sahabatnya itu akan bermain di rumahnya seharian penuh.

“Wajar sajalah lah kan orangtua Mei gak tinggal disini, eh kamu punya adik kan?” kata Ari yang kemudian berjalan ke arah Mei.

“Ya”

“Dimana dia sekarang?”tanya Ari lagi.

“Dia selalu ada disampingku kok”kata Mei sambil mengalihkan pandangannya ke arah taman mawar merah yang berada di samping kamar.

Tiba – tiba Nina muncul sambil membawa nampan yang berisi minuman dan makanan ringan.

“Ih, tuh cewek jutek berseragam pembantu kamu ya Mei?”

“Iya, kenapa?”

“Jutek banget, ngerubah mood ku aja nih” gerutu Nina.

Niat Mei untuk beristirahat di hari ini pun batal karena ulah ke tiga sahabatnya tersebut. Segala tingkah mereka telah mengubah suasana rumah Mei yang suram. Namun, hal itu tetap tidak dapat membuat Mei tersenyum.

“Eh si Mei itu aneh ya” kata Ari dalam perjalanan pulang.

“Maksudnya karena dia gak punya ekspresi?” tanya Loli.

“Kurang lebih sih” kata Ari sambil mencoba berkonsentrasi membawa mobil.

“Kalau kata Kakakku sih, dia mengidap penyakit Amoeba eh Moebi...apa ya hmmm ah iya Moebius
Syndrom” kata Nina seketika

“Ha???”

“Duh Loli jangan gitu dong, gue jadi gak konsen”kata Ari

“Sorry, hehehe” Loli lalu membalikkan badannya perlahan ke arah Nina yang duduk sendirian.

“Itu penyakit aneh deh pokoknya. Kata Kakakku, orang yang kena penyakit itu gak bisa gerakin wajah atau
membentuk ekspresi gitu deh” kata Nina

“Serius??? Berarti Mei sakit? Kok gak diobatin ya? Kan dia kaya”

“Ya ampun Loli, namanya juga penyakit aneh. Obatnya mungkin belum ditemuin karena yang kena tuh penyakit cuma dikit. Lagipula kata Kakakku sih penyakit itu asing banget dan jarang ada yang ditemuin meninggal karena penyakit ini” jelas Nina.

***

Malam menjelang dan bulan purnama mulai tampak menerangi kota Jakarta yang masih saja terdengar bising. Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan suasana SMA Versulius yang tenang dan mencekam.
Di salah satu ruang kelas tampak siluet seseorang yang sedang duduk dan memegang sebuah pigura. Tangannya yang putih pucat menyentuh foto pada pigura tersebut dengan perlahan. Matanya tampak sangat tajam dan menakutkan.

“Kalian tidak akan pergi kemana – mana, kalian harus terus bersamaku dan bukan orang lain. Kalian milikku” lirih orang tersebut.

Seorang satpam yang sejak tadi memperhatikan ruang kelas tersebut mulai curiga dengan siluet yang dilihatnya. Berbekal sebuah pentungan dan senter, satpam tersebut berjalan mantap ke ruang kelas itu.
5 menit kemudian satpan tersebut telah sampai di kelas itu, kelas 3 IPA 1. Dia mengarahkan senter yang dipegangnya ke seluruh penjuru kelas.Matanya dengan lihai mencoba mendeteksi suasana kelas tersebut. Namun, tak seorang yang terlihat disana.

“Apa tadi aku salah lihat?” batin satpam tersebut.

Saat dia ingin berbalik jendela kelas tersebut pun terbuka dan angin yang sangat kencang pun masuk dan meniup seluruh isi ruang kelas dengan kejamnya. Ketika itu pula satpam tersebut melihat sebuah siluet yang berlari meninggalkan kelas tersebut.

Dengan kekuatan penuh, satpam tersebut mengejar siluet itu.

“Cepat juga larinya”lirih satpam tersebut.

Siluet itu berlari menuruni tangga dan tampak masuk ke laboratorium fisika yang terletak di lantai 1 SMA Versulius.

“hah hah hah, kali ini pa-h-sti hah tertangkap” desah satpam tersebut sambil membuka pintu laboratorium fisika.

Tanpa dia sadari, sepasang tangan putih pucat memegangnya dengan kuats dan menariknya ke dalam laboratorium fisika yang sangat gelap. Satpam tersebut pun terjerembab ke lantai dan silut itu pun berlari meninggalkannya.

“Awas kau” teriak satpam tersebut sambil mencoba untuk berdiri.

Kini siluet itu terus berlari  dan tampak berbelok ke arah ruang seni.
Satpam yang mengejarnya pun tersenyum penuh arti dan berteriak dengan sekuat tenaga.

“Tidak ada jalan lagi !!! ”

Jika seseorang berniat bersembunyi di ruang tersebut maka orang itu memilih tempat yang salah, karena ruang seni SMA Versulius adalah sebuah ruangan kecil di lantai 1 yang letaknya paling pojok, tak ada jalan keluar dan tempat sembunyi yang sempurna di ruang itu.
Satpam yang kini tampak sangat lelah mulai tersenyum lebar saat berada di depan ruang tersebut.

“Kena........”

Satpam tersebut tidak dapat melanjutkan kata – katanya karena ruangan tersebut kosong. Tak ada siapapun disana, hanya sebuah mawar merah dan jejeran kursi yang diam membisu diantara gelapnya malam.
Jantung satpam tersebut mulai bedegup sangat cepat, keringatnya mulai bercucuran, dan wajahnya tampak sangat pucat. Suasana disekitar ruang tersebut pun berubah menjadi lebih menakutkan.

“A-aku tadi melihat.......”

***

“Jadi, sekarang pak Jono udah gak kerja disini?”

“Iya, katanya dia trauma ma kejadian semalam. Waktu ditanya ma Bu Kepsek, dia diam aja”

Mei dan Ari hanya terdiam mendengar percakapan Loli dan Nina. Ari mencoba berkonsentrasi memakan mie ayam yang ada dihadapannya. Sementara Mei sedang mengunyah sandwich tuna dengan tenang.

“Ih serem banget ya” kata Nina, lalu menggoyang tangan Loli.

Seakan mengerti isyarat yang diberikan oleh Nina, Loli pun mulai mengajak bicara Ari dan Mei.

“Menurut kalian gimana?”

“Gak tau” kata Ari sambil menyembunyikan ketakutannya.

“Si Ari kan takut ma hantu, ha ha ha ha”

Nina dan Loli pun tertawa melihat Ari yang wajahnya kini memerah seperti kepiting rebus.
Mei hanya terdiam, wajahnya yang selalu datar kini terlihat sendu. Dari kejauhan Doni melihatnya dengan tatapan sinis.

“Kau akan merasakan pembalasanku” gumam Doni.

***

Kehebohan terjadi diruang kelas 3 IPA 1. Semua anak tampak sibuk menata dan membuat perlengkapan untuk pementasan Romeo dan Juliet sabtu nanti. Beberapa anak tampak merengut sambil menjahit baju untuk pementasan itu sedangkan yang lainnya tampak sibuk mengecat papan yang berbentuk pohon, kastil, serta awan.

Sementara itu di auditorium tampak Mei, Nina, Loli, Ari, Doni dan pemain lain yang sibuk latihan untuk pementasan.

“Istirahat lima menit” kata Bu Lani, guru kesenian yang bertanggungjawab atas pementasan tersebut.

Nina, Loli, serta Ari dengan segera meninggalkan ruangan tersebut. Sejak latihan selama dua jam tadi, perut mereka selalu berlomba untuk mengeluarkan suara kelaparan. Mei hanya menatap mereka bertiga sambil menggeleng dan menunjukkan sandwich tuna yang selalu dibawanya. Mengerti bahwa Mei tidak akan ikut dengan mereka, ketiganya pun keluar dari auditorium tersebut dengan cepat.
Kini Mei tampak duduk di atas panggung sambil menikmati sandwich tuna dan sesekali menghafal naskah yang dipegangnya.

“Buka topengmu” kata Doni yang tiba – tiba berdiri di samping Mei.

Mei mendongak dengan wajah datar sementara Doni tersenyum sinis dan melangkah turun dari panggung tersebut.

***

Sabtu . . .

Malam semakin dingin karena angin yang berhembus dengan cepat dan tanpa ampun. Semua orang yang berada di kota tersibuk di Indonesia tampak enggan menjejakkan kakinya ke luar rumah. Namun hal ini sepertinya tidak berlaku bagi beberapa penghuni SMA Versulius Jakarta.

Auditorium SMA Versulius Jakarta tersebut kini terlihat berbeda dari malam – malam sebelumnya. Suara tawa dan canda menggema di dalamnya. Tiga puluh tujuh siswa kelas 3 IPA 1 sedang mengadakan sebuah pertunjukan tahunan. Para orang tua, guru, pemilik yayasan, serta beberapa siswa tampak hadir memeriahkan acara malam itu. Suasana yang terekam di dalam auditorium tersebut berbanding terbalik dengan suasana di luar serta hati seseorang.

Lima menit menjelang pementasan, Mei tampak murung dan semakin pucat di belakang layar. Nina dan Loli yang tampak cemas mulai sibuk menanyakan keadaan Mei dan menawarkan obat serta istirahat untuknya. Namun Mei menolaknya dan bahkan berkata “jangan dekati aku”

Nina dan Loli yang merasa tidak enak mendengar perkataan tersebut pun memilih untuk menjauhi Mei untuk sementara.
Kini, layar merah penutup panggung telah diangkat. Drama kolosal Romeo dan Juliet karangan William Shakespeare terkemas indah dipanggung tersebut. Mei, Nina, Loli, Ari, bahkan Dika tampak sangat hebat memerankan tokoh masing – masing.

Semua adegan tampak berjalan lancar dan sesuai dengan skenario sampai pada akhirnya Loli yang seharusnya terbangun disaat adegan terakhir tetap tertidur dalam diam di pembaringannya. Suara kegelisahan dari penonton pun bermunculan. Bu Lina yang tampak keringat dingin terus berusaha memanggil nama Loli dari belakang panggung, namun hal tersebut sia – sia karena Loli tetap tertidur. Bu Lina mencoba mencari Doni yang berperan sebagai Romeo agar ke atas panggung dan membangunkan Loli yang tampak tertidur. Namun, sosok Doni yang putih dan kekar itu tidak nampak dimanapun.

Dengan kegelisahan yang terus membuncah, Bu Lina pun memutuskan untuk menurunkan layar panggung dan memeriksa kondisi Loli. Saat hal itu dilakukan, para penonton tampak berbisik – bisik tidak jelas.

“Loli ba . .”

Bu Lina tidak dapat melanjutkan kata – katanya karena saat menyentuh tubuh Loli, tubuh tersebut telah menjadi dingin seperti mayat. Beberapa siswa yang ada di sekitar Bu Lina pun histeris melihat kondisi Loli, dia benar – benar menjadi mayat.

Tiba – tiba lampu yang menerangi auditorium tersebut mati. Seluruh penonton dan peserta yang berada di auditorium itu tampak histeris. Teriakan dan jeritan seketika mewarnai ruangan tersebut.

Beberapa menit kemudian sebuah tangan kurus seseorang menarik sebuah tuas lalu lampu di auditorium tersebut pun menyala kembali. Para penonton yang berada di auditorium lalu mengucapkan kata syukur sambil tersenyum. Namun, senyuman itu seketika lenyap saat sebuah tubuh yang penuh dengan darah tampak di panggung. Tidak hanya itu, auditorium megah itu kini telah tertutupi oleh lautan bunga mawar merah. Para penonton yang melihat ke dua hal tersebut pun menjadi semakin histeris. Mereka datang dengan setangkup keinginan untuk melihat pertunjukan yang akan membuat mereka tersenyum dan berdecak kagum, kini tersapu oleh sebuah adegan dramatis. Seakan merasakan hembusan firasat yang tidak baik, mereka pun berbondong – bondong meninggalkan ruangan tersebut.

Kepanikan yang menyergap membuat seluruh penghuni auditorium tidak dapat memikirkan sahabat bahkan kerabat mereka, keegoisan mulai menghampiri. Masing – masing individu berlomba untuk menuju pintu utama, yang merupakan satu – satunya pintu untuk keluar dari auditorium tersebut.

“Terkunci” teriak seseorang yang berada di deretan paling depan.

Suasana ruangan tersebut semakin riuh. Di belakang panggung, Bu Lina hanya terduduk dalam diam menyaksikan dua siswanya yang terbujur kaku. Loli dengan badan yang mulai membiru membisu di hadapannya. Sementara Ari, tampak bersimbah darah dengan sebuah mawar merah yang menggantung pasrah di tangan kirinya.

Tangan Bu Lina mengeluarkan sebuah getaran yang hebat. Airmata sedih dan ketakutan terpaut diantara ke dua bola matanya yang sipit. Dia mencoba menenangkan diri sambil menarik napas panjang, berharap agar akal sehat segera menyapanya. Sejurus kemudian, sebuah keberanian membuncah didirinya. Bersama dengan tungkainya yang putih, dia melangkah ke arah massa yang riuh karena ketakutan yang sedang menyergap. Tangannya yang bertahta gelang emas, menyokong sebuah kapak yang tadinya digunakan untuk memotong tambang di belakang layar.

Deretan massa yang tampak cemas dan berdebat satu sama lain pun terdiam memandangi Bu Lina yang terus maju ke arah pintu utama. Sebuah hentakan dari ke dua tangan kecilnya mendobrak pintu dengan kejam. Kapak besi yang berat itu terjatuh sedih di tegel. Pintu utama masih tampak kokoh karena tenaga yang dikeluarkan Bu Lina ternyata tidak cukup kuat untuk menghancurkan pintu berkayu jati tersebut.

Seorang pria berbadan tambun dengan tinggi yang diperkirakan berkisar 180 meter, merampas kapak itu. Sebuah ayunan kuat dari otot bisepnya menggores pintu secara dalam. Riuh rendah seluruh penghuni auditorium kini mulai menggema menyemangati pria itu. Merasa tersanjung, pria itu terus melanjutkan kegiatannya.

Bu Lina dengan kekuatan yang sudah pulih mencoba mencari Mei, Nina, dan Doni yang disadarinya tidak nampak sedari tadi. Tangannya yang mulus itu kini mendorong para massa untuk membuka jalan.

“Dimana anak – anak itu?”

***

Balkon . .

Tangan kecil pemegang pisau belati itu digerak – gerakan secara aneh pada sebuah meja. Ilustrasi sebuah mawar kini tampak terukir di meja tersebut.

“M-m-mei” kata Nina dengan gugup. Tubuhnya yang mungil kini terkulai lemas dan terlilit tambang yang disimpulkan secara kuat. Di sampingnya tampak Doni dengan mata nanar yang memancarkan sejuta amarah.

“Aku bukan Mei” kata pemegang pisau belati sambil melotot ke arah Nina. Untuk pertama kalinya dia tersenyum, namun senyuman itu lebih tampak sebagai sebuah pesan kematian yang dapat menyentakkan jiwa.

Doni meronta, tangan dan kakinya terus digoyang – goyangkan dengan kuat, berharap akan datang keajaiban dimana tambang tersebut akan terbujur pasrah dan melepaskan dirinya. Namun, Mei dengan sigap berjalan ke arah Doni dan menendang tubuhnya dengan kejam.

“Korban berikutnya” kata Mei memandang Doni yang berada di bawah kakinya.

Nina menangis semakin kencang. Ke dua matanya ditutup dengan sekuat tenaga. Hatinya sudah cukup terkoyak melihat Ari disiksa dengan kejam. Matanya tidak kuat lagi melihat darah yang membuncah dari tubuh sahabatnya.

Sebuah teriakan dan tusukan terdengar dari kirinya. Matanya dikatupkan semakin rapat. Tubuhnya bergetar semakin hebat disaat sebuah tetesan hangat dan berbau amis tersembur di pipi dan tangan kirinya. Suara tusukan demi tusukan terus di dengarnya. Dalam hati dia terus berdoa agar semua yang kini terjadi hanyalah sebuah mimpi. Namun, dia akhirnya tersadar bahwa itu bukan mimpi saat sebuah pisau belati menggores pipi kanannya dengan kejam.

“Aaaaaaaaaaaaaaaarrrrrggggggggghhhhhh !!!!!!!!!!!” sebuah jeritan tak diingankan pun dia lontarkan.

Matanya yang telah basah oleh butiran air mata dan percikan darah pun terbuka. Wajah Mei yang sedang menyeringai langsung menyambutnya.

“S-s-sakit” Nina mencoba membuka mulut sekuat tenaga menahan goresan tajam di pipinya.

“Tenang, sebentar lagi kamu akan hidup damai bersamaku” kata Mei yang kini sedang sibuk mengasah pisau belatinya.

“K-k-kamu sudah gila !!!”

“Aku gila?? Tidak tidak”

Mei menghempaskan pisau belatinya ke lantai bersemen lalu mengambil seikat bunga mawar merah yang membisu di atas meja. Tangannya yang memerah karena darah menarik salah satu mawar dari lilitan pita emas lalu membuangnya ke arah Doni.

“Itu karena ingin membocorkan rahasiaku” kata Mei sambil memandang Doni dengan bengis.

Matanya yang tajam bagaikan elang kini terpatri pada sosok Nina yang bergetar hebat. Tangannya yang dingin ditiup angin malam mulai menyentuh pipi Nina yang terkoyak pisau belati. Tangan itu mengusap luka berdarah dipipi Nina secara lembut. Nina semakin ketakutan dan mencoba menjauh dari sentuhan dingin tersebut. Mata Mei mengerling liar, lalu dengan cekatan tangannya yang dingin tersebut menusuk luka dipipi Nina secara sadis. Teriakan Nina terbuncah bersamaan dengan darah yang mengalir semakin kuat. Mei semakin menikmati penyiksaannya. Di tariknya rambut Nina dengan cepat, kemudian mengarahkan kepala Nina yang bulat itu dengan kejam ke dasar lantai bersemen.

Buk . . Buk . . . Buk . . .

Kepala itu terbentur dengan cepatnya di lantai dan membiaskan darah. Nina terdiam, tanpa suara, jiwanya yang lelah telah melayang dari raganya yang telah hancur.

Tak jauh dari situ seorang wanita tampak duduk lemas di depan pintu balkon. Ke dua tangannya tertangkup menutupi mulutnya yang ingin berteriak menyaksikan penyiksaan itu.

Mei, entah bagaimana, menyadari kehadiran wanita tersebut. Dengan sebuah lemparan terarah, pisau belati yang tadinya terdiam di lantai kini tertancap manis di dada wanita itu.

“Bu Lina” gumam Mei.

***

Ke esokan harinya kehebohan yang terjadi di auditorium SMA Versulius Jakarta menjadi trending topic. Loli dan Ari, yang diakui oleh beberapa siswa kelas 3 IPA 1 telah meninggal, tiba – tiba menghilang bersama Nina dan Dika bahkan Bu Lina.

Mereka baru menyadari hilangnya ke dua mayat beserta ke tiga orang tersebut sejam setelah hingar bingar di depan auditorium. Beberapa siswa yang berada didekat ke dua mayat saat kejadian berlangsung dimintai saksi untuk dijadikan petunjuk namun hasilnya nihil.

Mei yang kemudian diketahui ikut menghilang saat itu dan merupakan satu – satunya orang yang kini muncul pada akhirnya menjadi sasaran empuk berbagai macam pertanyaan.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Bagaimana bisa mayat itu menghilang tanpa jejak?”

“Kemana mereka?”

“Diculik oleh siapa?”

Rentetan pertanyaan aneh itu terlontar dari seluruh penghuni SMA bahkan polisi yang ditugaskan untuk menangani kasus tersebut. Mei dengan wajah datarnya hanya menjawab tidak tahu apa – apa karena dia pingsan di balkon saat hal itu terjadi. Polisi yang tidak merasa curiga sedikit pun akhirnya menghentikan penyelidikan pada Mei. Mei yang memiliki wajah tanpa ekspresi pun, memilih untuk pindah sekolah setelah kejadian tersebut.

Para penghuni sekolah yang menyadari kepindahan Mei mungkin disebabkan oleh traumatik karena kehilangan sahabat – sahabatnya hanya terdiam menatap langkah kaki Mei yang menghilang dari gerbang sekolah.

***

“Nona, Tuan dan Nyonya sedang menunggu di ruang bawah” kata seorang pelayan wanita pada Mei yang terus menatap kotak coklat tuanya.

Sebuah anggukan kecil terbias dari kepalanya. Kotak coklat tua ditutupnya dengan sangat hati – hati kemudian melangkah keluar menemui ke dua orang tuanya.

Ibu dan Ayahnya tampak duduk dengan khidmat di sebuah sofa beludru sambil menghirup teh mint yang terhidang di hadapan mereka. Tanpa senyum dan tanpa basa – basi mereka menawarkan Mei untuk tinggal bersama mereka, mengingat bahwa telah banyak kejadian buruk yang menimpa dirinya selama ini sejak hidup sendirian.

“Adikmu, Chie, dan sahabat – sahabatmu semua menghilang begitu saja. Ayah dan Ibu khawatir kamu akan ikut menghilang juga. Kami hanya memilikimu saat ini” Kata Tuan Tsubaki tajam

“Aku bisa hidup sendiri seperti saat ini. Ayah dan Ibu tidak perlu memperhatikan aku”

“Mei” tangan lembut Nyonya Tsubaki menggenggam tangan Mei dengan erat.

Mei dengan cepat melepaskan genggaman itu dan berkata “jangan tunjukan kasih sayang kalian padaku kalau kalian memang peduli padaku. Bersikaplah acuh seperti biasanya. Itu yang aku butuhkan”

Tuan dan Nyonya Tsubaki semakin terperangah mendengar perkataan anaknya itu. Mereka tahu, sejak kecil Mei hanya hidup bertiga bersama saudara kembar dan pengasuhnya. Namun, seiring waktu mereka tidak ingin melihat Mei yang tampaknya semakin aneh sejak mayat saudara kembarnya ditemukan ditaman mawar merah di depan kediaman mereka di Jepang.

Tuan dan Nyonya Tsubaki bersikeras menyatakan keinginan mereka dengan berbagai  alasan logis namun Mei tetap menolaknya dengan alsan yang sama.

Tuan Tsubaki yang kemudian bisa melihat kesungguhan dari kata – kata dan tatapan Mei pun terpaksa menyetujuinya. Dia tahu anaknya telah dewasa dan bisa memilih. Dia hanya berpesan agar anaknya tidak ragu untuk meminta bantuannya.

Mei pun menyetujui hal tersebut dan pamit ke kamarnya.

Sebuah napas panjang ditariknya saat berada di dalam kamar. Tetesan air yang hangat mengalir di pipinya saat melihat foto saudara kembar, pelayan, dan para sahabatnya yang terbingkai indah dalam sebuah pigura hitam. Tiba – tiba sebentuk sentakan menyentuh jiwanya.

“Andai saja kalian tidak mendekatiku, hal ini tidak akan terjadi. Diriku yang satunya . .”

Seketika itu pula tubuh Mei memanas, tatapan matanya berubah tajam. Seringai yang menyeramkan tersulam dari bibirnya menggantikan paras manusiawi yang tadi sempat terlukis. Tangannya kemudian beralih pada kotak coklat tua yang tadi sempat dibukanya. Kotak tersebut tampak polos dan berpelitur rapi. Di dalamnya tersematkan 8 tangkai mawar dan sebuah kertas yang bertuliskan :

1st rose, Yi Tsubaki, saudara kembarku.
2nd rose, Chie Minami, pengasuhku.
3rd rose, Kikuchi, anak lelaki yang ku sayangi.
4th rose, Akemi, sahabatku.
5th rose, Nina, sahabatku.
6th rose, Loli, sahabatku.
7th rose, Ari, sahabatku.

Kalian akan selalu bersamaku sampai kapan pun karena kalian telah memilih menyayangiku. Hiduplah abadi sebagai mawar merah

8th rose, Doni, orang sok tahu yang ingin membocorkan segalanya.
Mawar merah palsu yang seharusnya tidak ada.

***

Epilog

Mei duduk sendirian sekali lagi di taman sekolah barunya sambil menikmati sandwich tuna.
Seorang pria dengan badan gempal menyapanya. Pria itu tampak berseri saat pertama kali melihat Mei dan kini pria itu telah mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara dengan Mei.

“Mau jadi temanku?” tanya pria itu sambil menjulurkan tangannya.

Mei menatap pria itu sekilas. Ada sebuah tawa aneh yang terdengar di hatinya dan dengan sekuat tenaga coba ditepisnya. Akal sehatnya melarang balasan jabat tangan yang akan mendatangkan petaka, karena sadar hal itu benar, Mei lalu berkata “Jangan dekati aku kalau masih ingin hidup !”



THE END
- Regrads Pipit -
Read More..