Rabu, 22 Oktober 2014

TANYA


Aku mulai bertanya pada diriku sendiri tentang detik-detik yang terlewati bersamamu kini. Rasanya sangat asing. Seperti bertemu dengan seseorang yang hanya melintas sekejap di dalam hidupku. Kira-kira apa yang salah?

Terkadang aku ingin bertanya padamu, pahamkah kau apa yang aku inginkan? Sudahkah kau baca buku yang aku rekomendasikan? Mengertikah kau poin dari tiap kalimat yang aku utarakan lewat sms maupun telepon? Namun semua aku urungkan mengingat kejadian demi kejadian terdahulu.

Katamu berhenti bermain tebak-tebakan perasaan. Baiklah, aku mulai berkata jujur apa adanya. Namun tetap saja disalahkan. Sesaat saja aku minta didengarkan apa susahnya?

Aku merindukan hari-hari dimana waktu terasa berlalu sangat cepat. Masing-masing dari kita sibuk menorehkan guratan sketsa. Berdebat sangat panjang seperti sepasang musuh dan setelah itu tertawa melihat keegoisan masing-masing. Mendiskusikan masa depan yang tidak ada habisnya. Saling mencicipi pesanan yang seratus persen berbeda dari selera masing-masing. Kita tertawa bahagia. Aku merindukan jarak yang tidak menjauhkan kita, sesibuk apapun hari yang terlewati.

Aku mulai bertanya-tanya apakah sebaiknya aku mulai menapaki hidup sendiri?

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Senin, 20 Oktober 2014

MENUNGGU


Suasana ruangan ini begitu sepi. Aku merasa ada hawa dingin yang memelukku setiap angin berhembus. Udara pengap mengisi setiap sudut. Beberapa cat dinding tampak terkelupas. Waktu telah lama menelan semuanya. Di atas meja tempatku menatap dalam diam tampak dua buah pot bunga kering. Mengapa benda ini ada di sini? Dan untuk apa aku ke sini?

Tetes air jatuh tepat di atas pot bunga. Langit-langit yang penuh dengan bercak air memanggilku. Aku menengadah. Masih bertanya mengapa aku berada di tempat ini?

Pintu berderit dan terdengar langkah-langkah kaki. Ada seorang pria berdiri di bawah palang pintu. Wajahnya tampak sudah senja. Helai rambutnya memutih seutuhnya. Sama sepertiku, dia ikut menatap pot bunga dan langit-langit yang memiliki bercak. Ah, saat itu aku baru tersadar kalau langit-langit yang meneteskan air sebenarnya terbuat dari kaca. Debu yang tadi menutupinya mulai terkikis. Aku bisa melihat awan mendung bergelayut. Dadaku mulai bergemuruh. Rasanya ada yang menyergap ingatanku. Kenapa aku ada di tempat ini?

Pria itu melangkah mendekatiku. Wajahnya tepat berada di hadapanku. Jantungku berdegup semakin kencang.

“Aliana.” Ucapnya.

Apa ini hanya perasaanku? Sepertinya hawa di ruangan ini mulai berubah, semua terasa hangat. Pria itu mengulurkan tangannya. Mengambil buku lusuh yang ku pangku entah sejak kapan.

“Maaf baru sempat mengambil benda ini. Aku sudah ikhlas.”

Kabut putih mengerubungiku. Aku ingat sekarang kenapa aku berada di sini. Aku menunggunya.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Minggu, 19 Oktober 2014

PATUNG


“Aku hanya ingin didengar.”

Mungkin itu suara yang keluar dari isinya. Patung itu sudah terlalu membisu di sudut ruangan. Ke dua bola matanya bahkan sangat paham akan setiap situasi yang membingkai hari-hari di tempat itu. Ada orang yang menatapnya bingung. Ada pula yang dengan acuh mematikan puntung rokok ditubuh mulusnya.

“Ah hanya patung ini.”

Mungkin itu yang terlintas dipikiran orang-orang tersebut.

“Aku hanya ingin didengar.”

Patung itu kembali mendesah. Ah, rasanya seperti percuma dia protes pada dinding. Hanya keheningan yang kembali ia dapat. Andai saja ia bisa bergerak semaunya, ingin rasanya menendang dinding yang terdiam.

“Kau kesepian?”

Seekor kucing kecil meringkuk di samping patung. Suaranya mengagetkan sang patung.

“Kau berbicara padaku?”

Sang kucing hanya mengeong. Mungkin hanya lamunan.

“Ya aku berbicara padamu.” Ada kata-kata setelah itu.

Kucing kecil menempelkan kepalanya pada sang patung.

“Aku akan mendengar dan menemanimu. Anggap saja ini yang bisa aku lakukan sebagai balas bukti untuk majikanku yang telah tidur dipembaringan terakhirnya.”
Sang patung tersenyum. Hari ini bebannya akan berkurang. Ia berbicara banyak dan kucing kecil terdiam menatap takjub sang patung.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Sabtu, 18 Oktober 2014

GADIS BUNGA MATAHARI


Panas sangat menyengat. Suara serangga-serangga melengking memenuhi ladang bunga. Aku sudah siap dengan topi jeramiku. Mengikat rambutku yang pendek sebahu agar tidak lengket di leher dan membuat gerah.

“Liliana!”

Suara Ibu sudah membahana di belakangku. Ibu pasti ingin melarangku bermain ke ladang bunga. Tapi seperti biasa, aku tidak peduli dan terus berlari.

Hai, namaku Liliana Putri. Anak pertama dari keluarga yang mengabdikan dirinya untuk menjaga ladang bunga. Menurut cerita nenek, keluarga kami sejak jaman dahulu kala sudah menjadi penjaga ladang bunga. Jujur saja aku menyukainya. Apalagi ketika bunga-bunga mulai bermekaran. Wah, luar biasa! Matamu akan dimanjakan oleh warna-warna alam yang sangat indah.

Tahukah kau bunga apa yang aku sukai? Lili? Tebakanmu salah. Meskipun diberi nama Liliana tetapi bunga yang aku sukai adalah bunga matahari. Saking sukanya dengan bunga matahari, aku pernah merengek pada ke dua orang tuaku agar namaku diganti menjadi Matahari Putri. Dan rengekanku tersebut ditolak mentah-mentah.

Aku akan bercerita sedikit mengapa aku sangat menyukai bunga matahari. Semua ini karena dongeng yang diceritakan oleh nenek. Dongeng tentang gadis bunga matahari yang sangat mempesona. Gadis bunga matahari hidup bersama bunga-bunga matahari karena tugasnya adalah menjaga agar bunga-bunga tersebut mekar dengan baik. Tubuhnya mungil selayaknya peri. Ia memiliki sayap berwarna kuning cemerlang. Meskipun begitu, gadis bunga matahari sangat kuat. Ia kokoh seperti kelopak-kelopak bunga matahari yang mekar. Walaupun tugasnya sangat banyak, gadis bunga matahari tidak pernah mengeluh. Ia selalu menebar keceriaan oleh karena itu setiap melihat bunga matahari kau akan merasakan perasaan bahagia dan ceria. Benar-benar gadis pujaan.

Umurku sekitar lima tahun ketika mendengar dongeng tersebut. Mataku berbinar sangat cerah saat nenek menunjukkan gambar gadis bunga matahari. Pada saat itu, aku dengan polosnya mulai giat mencari sosok gadis bunga matahari. Sembunyi diantara deretan bunga matahari yang tingginya melebih tubuhku. Membuat ke dua orang tuaku kebingungan mencari sosokku.

Aku baru saja merayakan ulang tahunku yang ke dua puluh lima. Aku tahu gadis bunga matahari yang diceritakan nenek tidaklah nyata. Mana mungkin ada peri di ladang bunga. Tapi aku tetap ingin menjadi gadis bunga matahari yang selalu mempesona. Dan ritual kabur ke ladang bunga masih tetap aku lakukan. Bukan untuk mencari gadis bunga matahari tetapi untuk bersembunyi. Sejenak menghirup udara di dunia khayal milikku.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..