Minggu, 29 Desember 2013

KUCING KEBERUNTUNGAN


Halo, namaku kucing keberuntungan. Aku adalah pajangan bundar gendut  yang suka menggerak-gerakkan satu tangan memanggil orang-orang untuk mampir. Menurut kepercayaan beberapa orang, memajang badan tambunku di atas etalase toko akan mendatangkan rejeki yang melimpah. Entah benar atau tidak, kenyataannya adalah sepuluh tahun yang lalu seorang pria berkulit putih dan pendek membeli dan menempatkanku di toko miliknya. Sebuah toko kue tempat berbagai macam orang datang. Mulai dari anak kecil yang iseng mencomot krim kue, remaja tanggung yang suka duduk ngerumpi di sudut-sudut meja, atau ibu-ibu arisan yang heboh memamerkan perhiasan mereka. Dunia manusia yang luar biasa.

Kring!

Nah ini dia, si gadis misterius yang sejak tiga hari lalu mencuri perhatianku. Namanya adalah Laras. Beberapa orang di tempat ini melihatnya dengan heran. Ya, itulah yang aku rasakan ketika pertama kali melihatnya. Sebuah kaos belel dipadu dengan dengan shaggy pantalon serta coat panjang yang kumal menutup tubuhnya yang kurus. Belum lagi ditambah dengan topi rap cap yang hampir menutup sebagian besar wajahnya. Sempurna sudah tampilannya sebagai manusia aneh. Gayanya seperti seseorang yang ditelan tumpukan pakaian raksasa.

Kunjungan pertamanya di toko membuat hampir sebagian besar petugas toko kue berbisik-bisik.

“Orang kayak gini pasti cuma lihat-lihat aja. Gak bakal bisa beli kue.”

“Dia gak punya baju lain apa? Seragam kita aja masih lebih bagus.”

Bla bla bla.

Terlalu membosankan untuk didengar lebih lanjut.

Dibalik itu semua, Laras si manusia dengan pakaian bertumpuk memiliki tatapan mata yang sangat indah. Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan. Melihatnya masuk ke dalam toko membuat imajinasiku berputar. Diimajiku berkelebat sosoknya dalam peran kehidupan yang berbeda-beda. Kadang Laras berubah menjadi seorang gadis bangsawan yang lari dari kehidupan nyamannya, agen rahasia, atau pemilik toko kue yang sedang menyamar. Ah, entah mana yang benar tapi aku sangat menikmatinya.

Hari ini dia datang dengan tergesa-gesa. Ada cipratan lumpur diantara ujung-ujung coat kumalnya. Padahal sejak pagi tadi kota ini tidak diguyur hujan, mana mungkin bisa ada kubangan lumpur yang tercipta? Apa mungkin dia habis menjelajah kota seberang? Aku mulai berasumsi dengan imajiku lagi. Senyumku mulai mengembang, meski mungkin tidak ada yang memperhatikan. Eh tapi tunggu dulu.

“Mama, kucingnya hidup.”

“Iya nak, iya.”

Si Ibu yang sedang sibuk dengan smartphone-nya seperti tidak terlalu peduli. Syukurlah. Sudut mataku kembali melirik Laras yang sekarang sedang duduk mencoret sketchbook polkadot miliknya. Apa yang kali ini dia gambar? Penasaran sekali rasanya. Pikiranku mulai melayangkan banyak ilusi khayalan. Saking penasarannya, tanpa sadar tubuhku bergeser begitu jauh dari atas etalase toko hingga hampir terjatuh. Tatapan Laras yang membuatku sadar akan hal itu. Manik matanya yang sejak tadi lurus ke arah sketchbook mendadak bertemu dengan mataku. Apa mungkin dia sadar kalau aku memperhatikannya? Ah, itu tidak mungkin. Lihatlah kini Laras kembali sibuk dengan coretan-coretannya. Tidak mungkin Laras memperhatikanku yang tersembunyi. Tersembunyi? Yup, sejak lima tahun lalu penerus toko kue ini memutuskan untuk tidak lagi mempercayaiku hingga menyembunyikanku di atas etalase toko yang tidak terlihat.

Tapi sudahlah sekarang kembali lagi ke Laras. Hey, kemana dia? Ah, sekarang dia berjalan ke arahku. Sebaiknya aku mematung dan berakting sebaik mungkin.

“Kamu kesepian sepertiku? Kamu penasaran sepertiku? Sama. Namaku Laras, salam kenal kucing keberuntungan.”

Aku tidak percaya apa yang baru saja aku dengar. Ingin rasanya berbalik dan menjawab pertanyaan Laras namun takdir langit tidak memperbolehkan. Aku hanya bisa mengerling dalam senang.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Sabtu, 28 Desember 2013

ILMUWAN GILA


Sepagi ini wajahku sudah muram. Bagaimana tidak, Ayah membuat seluruh rumah penuh dengan bulu-bulu coklat dari tubuhnya. Ya, Ayahku memiliki bulu coklat diseluruh tubuhnya layaknya serigala. Tidak. Tidak. Ayahku bukan manusia serigala seperti yang diceritakan buku-buku. Ayahku adalah seorang ilmuwan aneh yang suka sekali menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan percobaan. Aku tidak tahu apa yang ingin Ayah coba sehingga tubuhnya berubah menjadi aneh seperti itu. Aku sudah tidak peduli lagi.

“Tidak sarapan dulu?”

Aku hanya menggeleng. Bagaimana bisa aku sarapan dengan bulu-bulu yang berserakan di meja makan? Seringkali aku berharap Ayah akan berubah menjadi Ayah pada umumnya. Bekerja di kantor pemerintah, mengantarkanku pergi sekolah, dan bisa menemaniku libur akhir pekan. Tidak tahukah Ayah bahwa aku kesepian sejak Ibu meninggal?

“Kusut banget sih mukamu.” Cita menepuk punggungku.

“Mau bagaimana lagi . . .”

“Pasti Ayahmu.” Belum sempat aku melanjutkan Cita sudah menebaknya dengan sempurna.

Cita adalah sahabatku yang luar biasa. Dia adalah tempat curhat nomor satu. Dulu disaat sebagian besar teman kelas menjauhiku karena pekerjaan Ayah yang dijuluki ‘ilmuwan gila’, Cita memilih mendekatiku. Dia juga selalu berkata bahwa Ayahku pasti punya alasan mengapa melakukan itu semua. Tapi aku, seperti biasa tidak menaruh perhatian terhadap ceramah Cita.

“Makan siang sudah ada di meja, makan dulu. Ayah mau pergi sebentar, ada urusan.” Ayah membuyarkan lamunanku yang sudah terbang ke sana kemari. Jika Ayah berkata ada urusan maka Ayah tidak akan pulang hingga malam menjelang. Waktu yang cukup bagiku untuk membersihkan sudut rumah yang penuh dengan bulu.

Sigap, setelah makan siang beres aku mulai kegiatan bersih-bersih. Ketika jingga fajar terbenam kegiatan tersebut baru selesai. Luar biasa. Aku memilih merebahkan tubuh disofa, kemudian teringat sebuah buku yang tidak sengaja aku temukan ketika membersihkan lorong menuju laboratorium Ayah. Buku itu terlihat usang dengan ujung yang berlipat-lipat. Aku membuka lembar demi lembar. Beberapa rumus tampak berhamburan di kertas-kertas menguning. Ah, ini pasti buku yang berisi penelitian milik Ayah. Aku memilih tidak peduli sebelum akhirnya mataku melihat sesuatu yang mencuat. Itu adalah fotoku yang tersenyum ketika berada di depan petshop.

Aku ingat hari itu adalah hari dimana aku meminta dibelikan kucing berbulu coklat yang tambun. Dan di hari itu juga akhirnya aku menyerah untuk memelihara kucing. Ternyata aku alergi terhadap bulu kucing, hewan yang sangat aku sukai. Seharian itu pula aku tidak ingin beranjak dari petshop dan membuat Ayah serta Ibu pusing.

Kenapa Ayah menyimpan foto ini? Di kertas tempat buku itu tertambat ada rumus-rumus aneh yang tetap saja tidak ku mengerti. Dibagian paling bawah rumus tersebut ada sebuah tulisan yang membuatku tertegun.

Misi : menciptakan makhluk berbulu untuk Ani agar tidak bersin-bersin.

Airmataku mengalir. Jadi, ini alasan mengapa tubuh Ayah menjadi sangat berbulu? Dan hey sekarang aku sadar bulu-bulu Ayah tidak membuatku bersin.

“Ani.” Ayah sudah berdiri dihadapanku, aku tidak menyadarinya.

Ayah terkejut melihat ekspresiku dan buku yang aku pegang. Aku mengira akan dimarahi habis-habis namun ternyata Ayah hanya tersenyum.

“Ani sudah melihatnya?” Aku mengangguk.

“Banyak yang bilang itu adalah penelitian paling bodoh yang Ayah lakukan tapi menurut Ayah itu adalah penelitian paling menyenangkan. Kapan lagi penelitian Ayah bisa membuat puteri kesayangan Ayah bisa tersenyum? Ayah tahu Ani kesepian, Ayah mengerti tidak bisa menemani Ani. Jadi Ayah memilih untuk membawakanmu teman.”

Ayah mengangkat seekor kucing tambun. Refleks aku menjauh, takut bersin-bersin. Tapi Ayah berkata ‘tidak apa-apa’ sehingga aku mendekat. Dan Ayah benar, aku tidak bersin sama sekali.

“Penemuan Ayah akhirnya berhasil meskipun harus membuatmu murung beberapa bulan karena bulu-bulu itu.”

Aku tertawa dan memeluk Ayah. Cita benar Ayah pasti punya alasan melakukan itu semua. Dan sekarang aku peduli terhadap apapun yang dilakukan Ayah, sama seperti pedulinya Ayah terhadapku.

Percayalah bahwa keluarga adalah orang pertama yang selalu memikirkanmu. Oleh karena itu, jadilah orang pertama yang juga memikirkan ke dua orang tuamu.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Jumat, 27 Desember 2013

ALMIRA DAN IRENG



"Kepedulian yang tidak dilihat oleh mata"

Aku tidak mengerti apa itu waktu dan jam yang berdetak. Bagiku firasat sudah cukup. Firasat itulah yang membuatku tahu kapan Almira akan pulang dan kapan kita akan bermain bersama. Seperti hari ini ketika penghuni rumah tengah nyaman beristirahat siang, aku memilih duduk sigap di depan pintu. Tidak sabar menanti si gadis berambut emas berlari ke arahku dan menunjukkan senyum manisnya.

Saat seperti inilah yang sangat ku nanti. Bermain seharian dengannya dan mendengkur manja ketika mendengar ia bercerita. Hal ini jauh lebih membahagiakan dibanding mengejar bola bulu atau tikus-tikus nakal di atas loteng.

“Ireng!!”

Suara Almira membahana dari ujung pagar. Ia tersipu setelah berteriak begitu keras. Ada seorang laki-laki yang berdiri di sampingnya. Dari baju yang ia kenakan, laki-laki itu tampak seperti teman sekolah Almira. Mereka berjalan menghampiriku.

“Ini kucingku, namanya Ireng.”

Almira mengelus ujung kepalaku. Laki-laki itu tersenyum dan terlihat ingin ikut mengelus ujung kepalaku. Aku menggeleng lalu berjalan mengitari kaki Almira. Aku tidak ingin dielus oleh orang lain.

“Ireng, mainnya nanti saja ya. Aku mau ngerjain PR sama Brahma.”

Aku merengut dan duduk di atas bantal bulu. Mataku menatap sigap Almira dan laki-laki bernama Brahma itu. Mereka terlihat sangat akrab.

“Hey bung, harusnya aku yang saat ini bercanda akrab dengan Almira!” Ingin rasanya berteriak seperti itu.

Aku tidak suka Brahma. Lihat saja tingkahnya yang tidak sopan. Sekarang tangannya mulai genit menyentuh tangan Almira. Telingaku bergetar. Ujung-ujung kumisku mulai bergoyang ikut kesal.

RAWR!!

“IRENG!!!”

Almira menarikku kasar. Hey, aku melakukan itu demi kamu Almira.

“Aku pulang aja deh, kayaknya kucingmu gak suka aku di sini.”

Almira menatapku geram. Setelah Brahma pulang dengan tangan yang tercakar, Almira mulai memarahiku. Ia mengucapkan kalimat seperti ‘cinta pertama’ dan ‘jangan mengganggu’. Ah Almira, tindakanku tadi adalah untuk melindungimu dari kelakuan tidak sopan laki-laki bernama Brahma itu. Rasanya tidak tega melihat Almira hanya menjadi objek mainan. Aku tidak tahu darimana pemikiran itu berasal. Yang aku tahu, aku menyayangi Almira dan yang bisa aku lakukan untuknya adalah menjaganya dengan cakar-cakarku ini. Semoga suatu saat nanti Almira bisa mengerti.


- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Kamis, 26 Desember 2013

PRASANGKA ALILA




- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

PIRING ARIMBI



(Sebenarnya banyak tulisan yang mau di-post cuma lagi pengen mengubah semua tulisan itu jadi dongeng singkat)

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Sabtu, 14 Desember 2013

NADA DAN PETRICHOR DI BULAN DESEMBER




Percik hujan pada setiap sudut jalan masih membekas. Semua hal tak bisa menampik kedatangan karunia satu ini. Aku mulai belajar menyebutnya sebagai karunia sejak kau mengalunkan irama indah itu untukku. Nada-nada itu membuatku lupa akan rasa tidak suka pada hujan di bulan Desember. Alunan merdu tersebut membelai lembut seirama dengan petrichor yang berkejaran.

Kepulan asap susu hangat dari toko seberang menyahut. Aku menengadahkan pandanganku sejenak, berharap bisa mendengar kembali nada-nada yang membuatku bahagia dan merasakan kesejukan petrichor hari itu.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..