Senin, 19 Agustus 2013

[POISON SERIES] ROSARY PEA


Kisah ini sangat panjang untuk dituturkan karena begitu banyak pelaku di dalamnya. Kisah ini mungkin akan menjadi kisah tanpa akhir. Bersambung hingga bumi berhenti berputar. Mari kita mulai.

Alkisah di sebuah sudut bumi terdapat satu cekungan besar yang ditutupi berjuta-juta pohon. Kanopi-kanopinya lebat selayaknya janggut seorang pria yang tak pernah bercukur. Debur ombak di bawah cekungan itu tampak mengikis karang besar secara perlahan namun pasti. Karang-karang tersebut menjulang kokoh tanpa adanya camar atau pun hewan lain yang bercengkerama. Sepi, seakan tidak ada satu pun makhluk hidup yang berani mendekati.

Angin utara bertiup kencang, membuat berjuta-juta pohon bergoyang indah. Kabut mulai melingkupi tempat tak terjamah itu. Siluet pohon kurus tinggi menari seperti manusia. Satu dua bayangan hitam mulai melompat kearah laut sementara yang lainnya berdiri di atas pohon, memantau sekitar. Mereka adalah penghuni hutan di cekungan tersebut.

Beribu-ribu tahun yang lalu para makhluk ini dikenal sebagai penjaga hutan. Mereka hidup berdampingan dengan manusia dalam damai. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi, keberadaan mereka mulai tersingkirkan – tidak dipercaya.

ROSARY PEA



Tetes embun berkilau diterpa sinar matahari pagi. Badai semalam seakan tidak ada artinya ketika keindahan ini terlihat. Rosary Pea, gadis manis berambut putih mulai memainkan jemarinya menyerap embun-embun didedaunan. Gaun pink keunguannya menyapu tanah basah, meninggalkan bercak coklat.

“Segar”

Rosary Pea meneguk kumpulan embun yang dibawanya. Raut wajahnya terlihat bahagia menatap hutan. Inilah tempat yang paling menyenangkan untuknya, hutan di sebuah cekungan yang sepi. Matanya menatap nanar mangkuk putih yang tergeletak diantara sulur pohon. Beberapa biji kacang polong berhamburan. Rosary Pea teringat kejadian beberapa tahun lalu.

Musim panas setahun yang lalu, Rosary Pea melakukan tugas pertamanya. Dia mengunjungi sebuah perkampungan disudut hutan subtropis. Tugasnya adalah melindungi biota hutan yang indah itu. Rosary Pea akhirnya hidup di tengah-tengah penduduk desa. Semua berjalan sangat indah hingga beberapa orang – yang mengaku – datang dari kota  berkunjung.

Mereka menawarkan sejumlah uang untuk beberapa gelondongan kayu.

“Hanya satu dua pohon, tidak masalah. Bisa ditanam lagi”. Kata-kata dari mulut manis mereka berucap.

Para penduduk yang terbuai akan hal itu meng-iya-kan semuanya. Rosary Pea berusaha memperingatkan mereka namun ucapannya dianggap angin lalu bahkan ia diledek karena ucapannya sendiri.

“Kau masih percaya penjaga hutan? Sudah bukan jamannya lagi, gadis muda!”

Rosary Pea menggeram, dia harus melakukan ‘hal itu’. Akhirnya Rosary Pea menghilang dari perkampungan dan masa paceklik pun dimulai. Para penduduk kelimpungan mencari bahan pangan untuk penghidupan. Hutan tempat mereka bernaung telah habis tak bersisa sedangkan orang-orang kota telah kabur entah kemana. Para penduduk berusaha mempertahankan diri dengan melakukan apa saja. Kekacauan pun terjadi. Saling bantai, tangisan, dan amarah mewarnai perkampungan tersebut. Para penduduk tidak punya kekuatan untuk pergi dari tempat tersebut entah kenapa.

Di tengah kekacauan, Rosary Pea muncul kembali membawa semangkuk kacang polong putih. Para penduduk mendekatinya dengan cepat, merebut mangkuk tersebut.

“Tidak usah terburu-buru, aku punya banyak di sini”

Rosary Pea memunculkan mangkuk-mangkuk yang lainnya. Para penduduk yang kelaparan melahap habis kacang polong tersebut tanpa pikir panjang.

“Satu dua tiga”. Hitung Rosary Pea.

Pada hitungan terakhirnya para penduduk mulai tumbang. Mulut mereka mengeluarkan busa putih yang sangat banyak yang disertai dengan kejang-kejang hebat. Dalam waktu beberapa menit para penduduk serempak kehilangan nyawa mereka. Rosary Pea tersenyum dan mengumpulkan kembali mangkuk-mangkuknya.

“Anggap saja aku melakukan ini untuk kalian semua. Meringankan kesulitan hidup kalian karena cepat atau lambat kalian pasti mati. Dan apa yang kulakukan ini juga merupakan balasan dari hutan atas keserakahan kalian”.


***

Penjelasan :

Rosary Pea atau Abrus Precatorius adalah salah satu jenis tanaman kacang polong yang tumbuh di daerah subtropis. Biji tanaman Rosary Pea mengandung suatu senyawa yang dapat membunuh seorang manusia. Senyawa tersebut dinamai abrin yang mengakibatkan kejang, mual, demam, dan disfungsi gula darah. Obat penawar untuk racun tersebut belum ditemukan.

keterangan lebih lanjut : wikipedia

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

WEEKLY ARTWORK #4 #5


#WeeklyArtwork4 art blogger Indonesia dengan tema film favorit. Saya suka sama salah satu kalimat -yang kalau tidak salah- diucapkan Alice oleh karena itu saya memilih membuat fan art film ini.

 "I wonder if I've been changed in the night. Was I the same when I got up this morning? I almost think I can remember feeling a little different, but if I'm not the same, the next question is who in the world I am?"



#WeeklyArtwork5 dengan tema Indonesia banget. Saya memilih cendrawasih karena kebetulan lahir di Papua dan hewan ini termasuk hewan yang sangat indah namun sudah langka.

Klasifikasi Ilmiah Cendrawasih :

Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Passeriformes
Famili : Paradisaeidae



- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Sabtu, 17 Agustus 2013

SACRAMENTO


Gemericik air sungai terdengar jelas dari sini. Kemilau cahaya bulan terpantul di atasnya. Bulatan putih itu tampak rapuh bergoyang menampilkan siluet aneh. Malam ini memang sangat cocok untuk melepas jiwa-jiwa keruh. Malam dimana cahaya bulan tepat berada di atas kepala.

Derak-derak kayu yang terbakar membawa hawa panas. Api jingga kebiruan silih berganti menari bagaikan pasangan di lantai dansa yang menjilat sebuah tali tambang yang terjulur begitu saja. Mencuat dari seorang tubuh gadis yang terikat.

“Amelie, si darah pasir ini harus kita bakar sekarang?!”

Seorang gadis bertudung coklat lusuh berbicara.

“Tidak Anelise.”

Jawaban tegas menghentikan semangat Anelise. Fokusnya kembali tertuju pada ritual. Mantra-mantra masih mengalun. Para tudung coklat lusuh tampak mulai mengelilingi api unggun. Tangan mereka kontan terangkat sekali diikuti teriakan rapalan yang kuat. Kemudian disusul rapalan yang lemah ketika mereka bersimpuh di tanah.

Dyin bisa merasakan bahwa ritual tersebut mulai bekerja pada dirinya. Tubuhnya mulai lemas dan semakin lama indera perasanya kelu. Tiga jam digantung dan seminggu disekap sudah cukup membuatnya merasa tersiksa dan kini ditambah dengan sebuah ritual aneh.

“Ini ganjaran yang setimpal untukmu!”

Entah mengapa suara Amelie kembali berdenging ditelinganya ibarat sebuah kaset yang diputar ulang. Imaji Dyin kembali pada waktu dimana Amelie mendobrak paksa pintu rumahnya dan mengganggu waktu liburnya. Amelie muncul begitu saja dengan segerombolan orang-orang bertudung coklat lusuh, mengganggu keasyikan Dyin menonton dorama. Amelie dan kelompoknya melontarkan kata-kata dalam bahasa yang tidak dia kenali seperti darah pasir atau ‘gedwee’. Disusul dengan membungkus Dyin begitu saja dan melemparnya ke sebuah tempat yang – bagi Dyin – terasa seperti bagasi.

“Buat dirimu nyaman di sini!” Kata Amelie dengan nada sarkasme yang dalam.

Dyin menjamah sekelilingnya, matanya dengan cepat mencoba menyesuaikan. Kini dia berada di dalam sebuah penjara bawah tanah. Jeruji-jeruji besih penjara tersebut terlihat kokoh namun basah karena terkena rembesan air yang jatuh dari tumpukan bata. Bau lembab begitu menyengat hidung, membuat napas seolah tertahan.

“Kastil Bayangan.” Batin Dyin.

“Tentu saja Dyin.”

Amelie seolah bisa membaca pikiran Dyin dan dia menyebut nama Dyin seperti melafalkan kata “dying” yang bagi telinga Dyin terdengar sangat mengganggu. Amelie hanya tertawa melihat ekspresi mual Dyin, dia menembus begitu saja jeruji besi yang menghadang. Membuat tubuhnya tampak seperti asap yang menyembul. Tudung coklat lusuhnya tersingkap dan menampakkan rambut pirang sebahu.

“Amnesiamu sudah sembuh? Berhentilah meniru Puteri kami, gedwee! Itu sangat tidak sopan!”

“Cukup!”

Seorang pria kekar masuk dengan cekatan ke dalam penjara. Pria itu menarik tangan Amelie yang siap menampar Dyin. Matanya menatap tajam Amelie sambil menggeleng.

“Biar upacara malam purnama yang akan melakukannya. Tidak seharusnya tangan kita dikotori oleh seorang gedwee”

“Kau benar Ralie.” Jawab Amelie sambil tersenyum licik.

Upacara yang mereka bicarakan adalah Sacramento, sebuah upacara penyucian dan pemberian maaf bagi mereka yang telah lancang mengusik keluarga tingkat atas Kastil Bayangan. Dyin telah melakukan kesalahan dengan meniru secara habis-habisan Puteri Kastil yang menyamar dan bersekolah di tempatnya. Dyin memang haus ketenaran, dia ingin dianggap dan dipandang namun dia salah memilih target untuk ditiru karena Puteri Kastil Bayangan sangat tidak suka akan sikap lancang Dyin ini. Kini Dyin harus membayar semua perbuatannya. Penghuni Kastil Bayangan – mulai dari pelayan hingga prajurit – membenci  seorang gedwee, orang yang selalu meniru.

“Sacramento dimulai!”

Ralie berteriak memandang bulan, membuyarkan kilas balik yang ada dalam angan Dyin. Rapalan mantra semakin tajam terdengar membuat api berkobar menjadi sangat besar, Dyin hanya bisa pasrah. Tubuhnya terbakar perlahan namun pasti. Upacara sudah dimulai dan tidak ada yang bisa menghentikannya.

Aku duduk di atas kursi hitam berkilauan, tak jauh dari tempat itu. Tersenyum bahagia.


- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..