Senin, 08 Juni 2015

GARIS IBU


Garis Ibu

Apa kamu pernah mendengar tentang garis Ibu? Konon katanya garis itu terletak dipergelangan tangan. Terbentuk dari persilangan urat nadi yang mencari jalan sendiri seperti memberitahu “hey di sini ada harta karun”. Entah bagaimana ceritanya persilangan seperti itu disebut sebagai garis ibu. Kabarnya jika seseorang memiliki garis tersebut maka nasibnya bergantung pada ibunya. Ketika sang Ibu marah, maka hidupnya akan kacau begitupun sebaliknya. Sang anak lebih baik segera melupakan kata-kata bahwa nasib seseorang bergantung pada orang itu sendiri dan ingat dengan baik bahwa keputusan terbesar ada pada sang ibu.

Tetapi, bagaimana jika garis seperti itu dibuat oleh sang ibu sendiri agar sang anak bisa diaturnya dengan seenak hati? Pernahkah terpikirkan olehmu kemungkinan seperti itu? Apa yang harus dilakukan sang anak kemudian?

Atau apa yang akan terjadi ketika sang ibu telah tiada? Apakah sang anak ikut menghilang? Apakah nasib sang anak akhirnya bisa ditentukan oleh dirinya sendiri?

Entah.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Senin, 13 April 2015

ASTRAL : PHOSPORA


Apa kau yakin hanya kita yang tinggal di dunia ini?
Apa kau percaya dengan lapisan partikel dunia lain?

A1 : DUNIA PHOSPORA

Aku akan bercerita padamu tentang sebuah perjalanan yang mungkin belum pernah kau dengar. Kisah ini dimulai dari sebuah tempat bernama Phospora, dunia teratas tempat banyak makhluk bermukim. Kali ini kita akan pergi ke sebuah pelosok yang jauh dari jangkauan manusia pada umumnya, yaitu kota Sical. Di kota tersebut terdapat seorang anak spesial bernama Lila. Apa yang spesial dari dirinya? Ia tidak bisa berbicara, hanya berekspresi. Ketika semua anak di kota sibuk dengan bermain game online dan mulai menyombongkan mainan mahal mereka, Lila memilih berlari ke hutan. Ia telaten mengumpulkan biji-bijian dan ranting pohon. Di dinding rumahnya berjejer rapi botol berisi biji pohon kastanye, bodhi, dan jarak. Sedangkan di langit-langit rumahnya bergantung silih berganti biji pohon mahoni, pinus,dan ek. Ia sangat spesial.

Lila tidak bersekolah seperti anak-anak pada umumnya. Sang nenek yang tinggal bersamanya yang mengajarkannya banyak hal. Mulai dari berhitung hingga membaca. Oleh karena itu meskipun tidak bersekolah, Lila tetap tumbuh menjadi anak yang pintar. Lila bisa membaca dengan baik serta memahami apa pun dengan cepat. Ia bahkan bisa membaca pertanda sekitarnya. Ia dengan mudah mengetahui kapan hujan akan turun atau hewan buas apa yang akan menyerang kebun kecil mereka. Ia memang spesial.

Suatu malam yang cerah, bulan purnama sempurna membingkai langit. Lila duduk di beranda rumah. Ia menatap langit dan kebun sayur yang membentang luas di seberang. Malam ini seperti ada sesuatu yang beda, namun ia tidak tahu apa itu.

“Kau belum tidur?” Nenek ikut duduk di samping Lila.

Lila menggeleng. Telunjuknya terarah pada bulan dan kebun.

“Pemandangan yang indah bukan?”

Lila mengangguk. Sunyi setelah itu, Lila dan sang nenek menikmati suasana tersebut dengan cara masing-masing.

Tiba-tiba penglihatan Lila berubah. Ia seakan melihat berbondong-bondong orang berjalan menuju hutan. Mereka membawa umbul-umbul berwarna warni. Lila mengedipkan mata serta menggeleng kepalanya, ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia menoleh pada sang nenek yang tampaknya tidak merasa curiga atau bahkan tidak melihat apa yang dilihatnya.

“Kau kenapa?” Akhirnya nenek bertanya.

Lila hanya menggeleng. Ia tidak mau membuat sang nenek curiga atau khawatir dengan apa yang dilihatnya. Mungkin saja pemandangan tadi hanya ilusinya yang muncul karena beberapa hari ini ia susah tertidur.

Di malam berikutnya hal tersebut terjadi lagi. Tidak hanya itu, Lila pun melihat seorang anak kecil diantara pembawa umbul-umbul yang melambaikan tangan padanya seakan mengajaknya untuk ikut serta. Lia menggeleng, ia merasa was-was.

Pagi berikutnya Lila ikut serta dengan sang nenek ke hutan. Mereka akan mengumpulkan jamur untuk dijual ke pasar. Selain itu Lila juga ingin menambahkan koleksi biji-bijian yang ia miliki. Setelah hampir setengah jam mengumpulkan jamur dan beristirahat, Lila memutuskan untuk mengambil kumpulan biji kastanye yang ia lihat di pinggiran hutan.

Banyak sekali biji kastanye yang berserakan di bawah pohon. Lila mengumpulkannya dengan hati-hati. Membungkus biji-biji tersebut ke dalam plastik bening.

KRASH

Sebuah suara daun bergesek terdengar. Lila menyebar pandangannya ke sekeliling. Ada seorang anak kecil dengan tudung gelap yang bersembunyi di balik pohon. Lila tersenyum lalu memanggil anak tersebut. Anak dengan tudung gelap perlahan keluar dari persembunyiannya. Tepat disaat itu, Lila merasakan tubuhnya menjadi sangat lemah. Kesadarannya seakan akan segera menghilang. Dan benar saja, seiring dengan langkah sang anak yang kian dekat, kesadaran Lila pun menghilang hingga akhirnya ia pingsan.

“Kakak”
“Kakak”

Ada suara nyaring yang memanggil-manggil. Lila membuka matanya. Anak yang ia lihat dibalik pohon duduk tepat di hadapannya.

“Kamu siapa?”

Anak itu hanya tersenyum.

“Aku . .” Seketika Lila melotot dan menutup mulutnya. Ia bisa berbicara.

“Kakak tidak usah kaget. Aku Vrana. Selamat datang di Vragel.”

Vrana membentangkan tangannya. Hutan yang sama sekali berbeda terbentang di sana. Pohon-pohon yang seperti gulali dan permen cokelat menghiasi hutan aneh tersebut. Lila tertegun, ia menepuk pipinya sendiri berharap hal ini hanyalah mimpi dan ia akan segera bangun. Namun, ini bukanlah mimpi.

Di sisi lain, tepatnya di dunia Phospora, nenek terlihat pucat. Ia menatap cucu semata wayangnya dengan perasaan khawatir. Ia tahu hari seperti ini akan tiba tetapi ia tidak menyangka akan secepat ini.

“Cepat selesaikan tugasmu dan kembalilah cucuku.”

Lila dan Vrana


- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Jumat, 10 April 2015

RAHASIA DI DALAM BOTOL


Minggu malam dengan rintik hujan yang malu-malu aku menepikan sepeda motor tua ini di sebuah rumah. Tetesan air dari genteng kelabu membasahi garasi dengan sempurna. Aku rasa tidak ada salahnya jika menghempaskan jas hujan di lantai garasi, toh sudah basah juga. Pintu berdecit membuat ngilu pendengaran, seseorang dengan tongkat jati keluar dari dalam rumah.

“Kan sudah Oma bilang kamu di rumah saja.” Suara renta yang khas, jujur aku merindukannya.

“Tidak apa-apa Oma. Kan Nila sudah janji sama Oma mau nginap di sini semalam.” Aku merapikan anak rambut yang mencuat.

Oma menepuk kepalaku. Kerutan diwajahnya ketika tersenyum tampak cerah sekali. Ia memberikan handuk kecil untuknya, menyuguhkan teh hangat, dan menata kue-kue yang baru ia buat. Cekatan sekali untuk seorang wanita yang berumur hampir satu abad.

“Coba cicipi resep baru buatan Oma.”

Kue-kue kecil itu terlihat menggiurkan. Ada beberapa warna yang berpadu di atas piring. Aku mencoba mencicipi kue berwarna hijau. Tercium wangi pandan yang lembut.

“Ah ini rasa pandan.” Batinku.

Oma mengangguk seakan bisa membaca pikiranku. Aku melanjutkan gigitan berikutnya dengan jenis kue yang berbeda. Tepat saat itu, mataku tertuju pada sebuah botol bening di sudut ruangan. Seakan ada yang memanggilku dari botol tersebut. Mulutku tidak berhenti mengunyah tetap mataku seakan tidak bisa berhenti untuk menatap botol.

“Nila?” Oma melambaikan tangannya di hadapan wajahku. Pandangannya mencoba mengikuti ke arah apa yang sedang ku lihat.

“Itu botol turun temurun dari keluarga Oma.”

Aku baru berbalik menatap Oma.

“Ketika Oma sudah meninggal nanti, botol itu akan diserahkan kepada mamamu.” Oma membicarakan kematian dengan santainya.

“Isi botol itu apa Oma? Sepertinya penting sekali hingga harus dijaga turun temurun.” Aku mengunyah kue yang lain.

“Botol itu . .” jeda sebentar, Oma menatap keluar jendela,”milik seseorang yang penting dikeluarga ini. Harusnya Oma menceritakan hal ini sejak lama.”

Aku sempurna berhenti mengunyah. Kami duduk berhimpitan. Tangan lembut Oma menepuk-nepuk pergelangan kecilku.

“Sebenarnya Oma juga tidak mengerti apa yang ada di dalam botol itu. Hanya saja, entah mengapa Oma merasa harus menjaganya. Yang Oma tahu hanya cerita kecil ini.” Oma menyodorkan album usang.

Lembar demi lembar dibuka, aku melihat beberapa wajah yang ku kenal. Ada siluet Mama, Om Wiryo, dan Opa di sana. Selebihnya adalah wajah-wajah asing yang belum pernah ku temui. Tangan Oma berhenti membuka album.

“Perjalanan menjaga botol diawali oleh para buyut. Bermula ketika dua sahabat lama berjanji untuk menyimpan rahasia terbesar mereka di dalam sebuah botol. Terdengar seperti dicerita dongeng bukan?”

Aku tertawa.

“Entah siapa yang memulai,  pada akhirnya persahabatan itu hancur karena memperebutkan cinta seseorang.  Dua sahabat itu berpisah sekian tahun, mengikuti ego masing-masing.  Setelah berpuluh tahun terlewati, dua sahabat itu baru menyadari kebodohan masa muda mereka. Mereka berjanji bertemu di tempat perkelahian terakhir. Namun sayang, salah satu dari mereka harus pergi meninggalkan dunia ini terlebih dahulu. Sahabat yang lain akhirnya memutuskan untuk menjaga botol itu hingga sekarang.”

“Botol tanpa isi? Bukannya tadi . . .”

Oma tersenyum.

“Mungkin rahasia sudah seharusnya tidak terlihat.”

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.

“Nanti ada saatnya kamu mengerti.”


Aku hanya mengangkat bahu. Aku memang tidak mengerti apa yang dikatakan Oma, yang aku tahu adalah aku siap menjaga rahasia apapun yang ada dibotol itu.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Jumat, 27 Maret 2015

LAPISAN TOPENG : TIDAK SEMUDAH ITU


Pernahkah kau mencoba menelisik topeng seseorang? Melihat berapa lapis wajah yang ia miliki. Merasakan dengan pasti apakah senyuman yang ia beri selama ini palsu atau bukan.

Aku bisa melakukannya. Entah ini bisa disebut sebagai sesuatu yang spesial atau bahkan sebuah kutukan.  Ketika aku bertemu dengan seseorang, aku bisa tahu berapa lapis topeng yang ia miliki dan topeng mana yang akan ia tunjukan pada diriku.

Manusia itu unik. Kau pasti pernah bertemu dengan orang yang tersenyum lebar padamu tetapi di belakang itu ia akan menertawakanmu atau bahkan menusukmu tanpa ampun. Itu lah manusia. Aku bisa melihat pertanda tersebut secara langsung.

Kadang aku berpikir mengapa manusia senang sekali menggunakan berlapis-lapis topeng? Bukankah mereka selalu meneriakkan kata-kata untuk menjadi diri sendiri?

Entahlah.

Tidak semua hal yang mudah terlihat begitu mudah.

Aku belajar tentang hal tersebut ketika suatu hari ada seseorang yang berkata padaku bahwa ia tidak akan segan menegurku jika ada tindakanku yang salah. Namun, ia tidak melakukannya. Ia tetap menyembunyikan hal yang tidak ia suka dariku dan mengeluhkan hal tersebut pada orang lain. Mungkin ia tidak tahu bahwa aku bisa membaca topeng yang ia sembunyikan. Kecewa? Entahlah. 
Tidak semudah itu.


- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Jumat, 13 Februari 2015

MENUNGGU



Gelas-gelas masih tersusun rapi seakan acara malam itu baru saja terjadi kemarin. Lampu gantung yang dulunya bercahaya terang kini redup. Ruang hampa disekelilingnya tertutup debu. Semua masih tertata sama seperti terakhir kali aku melihatmu. Kau yang sering sekali bermain piano di sudut ruangan. Kadang tertawa jumawa ketika kau bisa menemukan nada yang tepat. Kadang emosi menekan tuts piano karena tidak ada satu ide pun yang muncul. Sosok tinggimu yang kokoh selalu memunggungiku. Dulu aku benci sekali dengan hal itu. Aku selalu berharap agar sedikit saja kau menatapku yang selalu menjadi fans-mu. Namun kini, tidak mengapa jika kau memunggungiku asal kau tetap di sini.

Apa begini rasanya kehilangan? Apa begini rasanya sakit itu? Entahlah. Yang jelas sekarang aku merasa sepi di ruangan ini. Tidak ada suara dentingan piano. Siluetmu yang sibuk dengan kertas not balok atau dia yang tiba-tiba muncul menemanimu beberapa bulan terakhir.


Hari kesekian. Bulan kesekian. Tahun kesekian. Aku masih menunggu.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Kamis, 12 Februari 2015

SIMFONI




"Siapa di ruangan ini yang pernah merasa ikut tertarik ke dalam sebuah alunan lagu? Tiba-tiba menangis atau tersenyum mendengar sebuah lagu?"

Beberapa jari teracung.

"Rupanya banyak yang memiliki pengalaman seperti ini." Wanita jangkung itu mengetuk meja.

"Baiklah sekarang saya ingin bertanya kepada," matanya menatap sekeliling,"kamu! Ya, kamu. Apa yang membuatmu merasa tertarik ke dalam sebuah lagu?"

Anak perempuan yang ditanya tampak bingung karena ia sama sekali tidak mengangkat tangan ketika pertanyaan pertama dilontarkan.

"Lirik lagu mungkin?" Akhirnya ia berkata, meskipun tidak yakin.

"Bagaimana jika kasusnya lagu yang kau dengar sama sekali tidak memiliki lirik?"

Terdengar suara berbisik yang jika digabungkan menjadi sebuah riuh rendah di dalam aula. Mahasiswa yang berkumpul bergumam begitu saja. Ada yang mengerutkan dahinya mencoba membayangkan apa yang terjadi. Ada yang bertanya pada teman sebelahnya bahkan ada pula yang menutup mata seakan-akan bisa segera mengetahui jawabannya.

Ting . . .

Profesor Aluna, si wanita jangkung menekan tuts piano. Ia mengembang senyum ketika semua perhatian tertuju padanya.

"Saya bisa membuktikan langsung teori bahwa tanpa mengetahui makna sebuah lagu pun, musik yang luar biasa dapat menembus dinding hati seoarang anak manusia." Ia mengedipkan mata.

Inilah saat yang ditunggu-tunggu. Para peserta di ruangan tersebut berani membayar mahal hanya untuk membuktikan sendiri keajaiban suara piano Profesor Aluna yang konon katanya memiliki magis.

Profesor Aluna adalah seorang dosen fakultas seni di salah satu universitas swasta. Ia mengajar kelas musik tetapi ia jarang sekali menampilkan secara langsung keahliannya. Kabarnya musik yang ia mainkan sangatlah istimewa dan dapat menghipnotis siapa pun yang mendengarnya, sehingga ia tidak berani memainkannya secara sembarangan.

Setahun sekali ia secara rutin mengadakan workshop tentang musikalisasi. Pada saat itulah ia akan menunjukkan keajaiban permainan musiknya. Setiap tahun peserta workshop terus bertambah. 

Peserta yang telah datang ke workshop tersebut mengatakan bahwa desas-desus yang selama ini beredar adalah benar adanya. Alunan musik yang dimainkan Profesor Aluna memang memiliki kekuatan tersembunyi. Mereka yang mengalami stress ketika mendengarnya mendadak menjadi tenang. Yang ragu-ragu dapat berubah menjadi percaya diri. Orang yang suka marah-marah berubah menjadi orang yang paling ramah. Ajaib. Entah lagu apa yang dimainkan Profesor Aluna.

Hari ini ia kembali mengulang ritual tiap tahun. Melontarkan pertanyaan dan menarik perhatian para peserta. Ada beberapa peserta yang selalu mengikuti workshop ini namun mereka seakan tidak menyadari bahwa Profesor Aluna hanya mengulangi apa yang sudah dilakukannya setahun yang lalu.

"Profesor telah mulai." Bisik-bisik terdengar dari balik tirai.

Dua orang makhluk bertubuh gempal meraih kantong seukuran kepalan tangan. Ketika kantong dibuka serbuk-serbuk kuning bertebaran mengikuti alunan lagu. Jatuh tepat disetiap peserta yang hadir. Profesor Aluna tersenyum, ia mengangkat jempolnya. Ruangan dipenuhi serbuk hingga alunan musik berakhir. Para peserta bertepuk tangan antusias. Sekali lagi puas dengan acara tersebut.

"Profesor, apa gunanya melakukan ini semua? Persediaan bubuk ajaib kita bisa cepat habis kalau tiap tahun pesertanya bertambah." Kata seorang makhluk gempal, ia memperhatikan sekelilingnya.

"Serbuk itu tidak akan habis selama manusia-manusia itu percaya pada simfoni yang aku mainkan." Profesor menepuk-nepuk kantong.

"Itulah mengapa aku melakukan hal ini hanya sekali dalam setahun. Aku tidak ingin manusia-manusia itu menggantungkan ketenangan mereka pada musikku."

"Tapi dengan begini pun Profesor telah membuat mereka tergantung dengan simfoni rahasia ini."
Profesor menatap gerombolan manusia yang keluar dari aula. Wajah-wajah yang ditekuk kini berubah menjadi cerah.


"Yah, anggap saja aku lagi berbaik hati." Ia menghela napas.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Rabu, 11 Februari 2015

GAGAK PENJAGA GUNUNG EMAS




Akan datang hari dimana langit menghitam tertutupi oleh kabut pegunungan. Para gagak yang tertidur di puncak bukit terbang menutupi sebagian lingkaran desa. Pemilik tambang emas telah kembali dan dia akan menuntut balas. Kutukan disebar ketika bongkah besar pertama ditemukan.

Lantunan paragraf terkenal itu terus terucap secara turun temurun di lembah ini. Para penduduk yang sebagian besar bekerja sebagai petani sayuran mengingatnya dengan baik. Mereka menjadikan paragraf tersebut untuk berhati-hati dan menjauh dari gunung tempat burung gagak kembali pulang.

“Memangnya kenapa kalau kita mencoba membuka tambang di gunung itu? Kata Pak Guru di sana banyak sekali mineral yang mahal. Desa ini bisa berkembang sangat cepat dan sekolah kita akan lebih maju dari desa-desa lain bahkan mungkin jauh lebih baik dari kota seberang.”

Pak Guru yang sedang menjelaskan sejarah desa tersenyum. Keriput diwajah rentanya meregang oleh simpulan senyum. Selama beberapa tahun mengajar, ia selalu menemui pertanyaan yang sama. Anak-anak yang penasaran dan berlogika hebat. Sebagian besar dari mereka tidak percaya dengan dongeng seperti itu.

“Jika yang dikejar hanya kebanggaan maka akan segera habis masanya. Kau tahu nak kenapa Ayahmu dan beberapa lelaki di desa ini tidak melakukan penambangan yang jelas-jelas bisa mendatangkan keuntungan seperti yang kau katakan?”

Anak itu menggeleng.

“Karena mereka percaya inilah cara terbaik untuk bersyukur terhadap apa yang alam beri pada mereka. Tanaman tumbuh begitu subur di desa ini bahkan saat cuaca memburuk sekali pun. Bukankah itu lebih dari cukup?”

Anak tersebut memicingkan mata. Ia tidak puas dengan jawaban Pak Guru.

“Aku tahu kau tidak puas. Akan tiba masanya dimana kau akan mengerti.”

Tahun berganti, sang anak yang tidak puas kini telah tumbuh dewasa. Ia melanjutkan sekolah di kota seberang, bekerja selama beberapa tahun hingga kemudian ia teringat akan mineral  berharga di desa kecilnya.

“Kalau aku jadi kau, aku lebih memilih kembali ke desa dan memanfaatkan gunung itu. Aneh sekali warga di desamu.” Ceracau teman anak tersebut.

Anak itu mengangguk-angguk. Itulah yang selama ini ia pikirkan. Malam itu berkemaslah ia menuju desa. Ia membawa setumpuk peralatan untuk menambang. Tak lupa mengajak beberapa kenalan yang sudah bosan bekerja dengan upah minim. Mereka membayangkan kehidupan yang lebih baik dengan menjual hasil perut gunung yang konon katanya berlimpah.

“Kalian tidak boleh melakukannya!!”

Para sesepuh berteriak menghalangi. Sang anak tidak peduli, didorongnya begitu saja orang-orang yang menghalangi. Beberapa pemuda yang menyaksikan kejadian itu hanya terdiam, pikiran mereka mulai goyah ketika mendengar penjelasan sang anak.

“Kita hanya akan terkurung begini saja jika terus menanam sayuran! Pikirkan! Di gunung itu ada hal yang sangat berharga. Jangan hanya karena beberapa bait kata membuat kita takut!”

Para sesepuh menggelengkan kepala. Anak itu masih tidak mengerti.

Berjalanlah rombongan penambang menuju gunung. Mereka mulai mengeruk isi gunung untuk mencari mineral berharga yang disebutkan. Butuh waktu sekitar tiga minggu hingga akhirnya sebuah bongkahan kuning berkilau muncul. Salah seorang penambang berteriak kegirangan. Sang anak tersenyum puas, hal ini dapat membantunya untuk mempengaruhi warga. Benar saja beberapa pemuda akhirnya memilih bergabung menjadi penambang. Mereka meninggalkan cangkul dan ladang untuk para orang tua.

Hari berganti hari, sudah ratusan gerobak dengan bongkahan berkilau keluar dari perut gunung. Gagak-gagak yang hidup di daerah gunung mulai menyingkir dan pindah ke desa, menghabiskan tanaman di ladang sebelum berhasil dipetik.

“Kutukan itu sudah mulai berjalan.” Salah satu sesepuh menatap langit. Awan hitam menggelayut di sana. Gagak melintas dengan ganas menyambar bongkahan jagung di hadapannya.

“Tidak ada kutukan apa pun Pak Tua. Hanya ini . .”sang anak mengangkat emas yang berkilau,”harusnya sejak dulu hal ini kalian lakukan. Lihatlah desa ini.  Lampu-lampu berkelip seperti di kota, kalian bisa melihat apa yang terjadi di tempat lain hanya melalui sebuah kotak layar. Bukankah hal itu luar biasa?”

“Aku akui semua ini sangat luar biasa tetapi sadarkah kau anak muda, bahwa kau baru saja merusak keseimbangan? Berhentilah sekarang sebelum kutukan itu berjalan.”

“Dasar Pak Tua, kutukan terus yang keluar dari mulutmu. Tidak ada hal seperti dongeng omong kosong itu.” Sang anak tertawa jumawa.

Tepat disaat itu, rintik hujan mulai menetes. Seharian penuh desa dibasahi oleh air langit. Musim hujan telah tiba. Para pekerja tambang mengencangkan mantel mereka dan terus bekerja. Mereka seakan tidak puas untuk mengeruk seluruh emas di dalam sana.

WUSSSSH!

Angin kencang mulai menyapa. Satu dua pekerja memutuskan untuk berhenti, sementara sang anak dan beberapa pekerja lain masih tetap melanjutkan pekerjaan mereka.

“Tinggal sedikit lagi. Tanggung jika kita menghentikannya sekarang.” Sang anak tersenyum serakah menatap gerobak-gerobak yang berisikan kemilau emas.

BRAK GLUDUK . . .

Tanah berjatuhan dari atas gunung disertai dengan pohon-pohon yang akarnya sudah tidak mendapat pijakan lagi karena terkeruk oleh para pekerja.

“ADA APA INI!”

Sang anak mencoba berlari keluar dari terowongan. Larinya tersendat karena ia sambil mendorong gerobak yang terisi penuh dengan emas.

“Tinggalkan saja Pak! Longsor akan menutup pintu masuk kita.” Seorang pekerja mencoba menarik tangan sang anak agar berlari lebih kencang.

“TIDAK!” Sang anak menepis genggaman tangan tersebut.

“Kita terkena kutukan penjaga gunung! Ia menuntut balas!” Pekerja lain berlari ketakutan, tangannya dilipat seakan memohon ampun entah pada siapa.

“TIDAK ADA YANG NAMANYA KUTUKAN INI HANYA . . .”
BRUK!

Sederetan tanah bercampur bebatuan jatuh begitu saja tepat di atas kepala anak itu. Gundukan tanah menutupi hampir sebagian besar tubuhnya, yang tampak hanyalah tangan putih yang menggenggam bongkahan emas.

“Aku menuntut balas akan keserakahanmu ini.”

Sebuah suara terdengar menakutkan. Gagak-gagak berkumpul mengitari desa dan pegunungan. Para pekerja menatap ngeri terhadap itu semua.

“Kalian pergilah dari tempatku!”

Pekerja berlarian dengan wajah pucat. Suara yang menggelegar itu menghasilkan longsoran tanah yang lebih dahsyat. Lorong terowongan yang telah dibuat tertutup seketika.


“Gadis itu telah kembali dan ia marah. Sebaiknya kita pergi dari desa ini sebelum terkena imbas seperti beberapa abad yang lalu.” Kata Pak Guru, keriputnya masih sama seperti dulu hanya saja tatapan matanya berubah menjadi lebih menakutkan.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Selasa, 10 Februari 2015

BUKU LUI





Halo, namaku Lui. Aku peri yang hidup di dalam sebuah buku cerita. Buku kosong yang berisi pikiran-pikiran pembaca. Siapa pun yang memegang buku itu akan membaca hasrat terdalam yang ada dihatinya. Orang tersebut tidak akan bisa membedakan kehidupan nyata dan mimpi. Semakin lama membaca, orang tersebut akan semakin betah berdiam diri dan mengkhayal. Berbahaya? Tidak juga. Ada beberapa kasus dimana buku yang aku jaga akan sangat membantu.

Seperti kisah seorang gadis yang beberapa hari lalu ku temui. Si gadis pemalu yang sering kali menemui kesulitan akibat sifatnya itu. Seperti menghabiskan waktu berjam-jam di jalan karena tersesat ketika mencari sebuah alamat. Ia terlalu malu untuk bertanya pada orang sekitar. Hingga pada suatu hari tanpa sengaja ia menemukan buku yang aku jaga . Hasrat tersebesar di dalam dirinya mencuat. Seorang gadis ingin sekali mengutarakan isi hatinya.

Kisah lain datang dari seorang gadis yang berpenampilan sangat 'mengerikan' menurut beberapa orang. Anggap saja seleranya berbeda dengan manusia kebanyakan hingga tak jarang ia menyendiri dibeberapa sudut. Beruntunglah ia bertemu denganku. Aku membuka kunci hasrat di hatinya, memberi keberanian yang selama ini masih terkunci.

Dan hari ini, aku baru saja membantu seseorang membuka mata hatinya. Ah aku tahu banyak orang yang mengatakan bahwa gadis ini adalah gadis yang baik, terpelajar, dan dari keluarga terpandang. Tapi ketika aku menengok ke dalam isi hatinya, wah ternyata dia adalah seorang gadis yang hidup dengan skenario sebagai gadis sempurna meskipun jiwanya meronta.

Yah, itulah tadi beberapa orang yang telah ku temui. Sebagian dari mereka tidak mengetahui keberadaanku. Sebagiannya lagi dengan sengaja mencariku untuk membuktikan kebenaran desas-desus yang ada. Kau juga ingin? Baiklah, ini rahasia. Kau bisa menemukan buku ajaib yang ku jaga di rak no 3 perpustakaan sekolah. Buku bersampul cokelat polos yang bersandar pasrah di baris paling bawah rak. Jika kau tidak bisa menemukannya, mungkin saja buku itu sedang dipinjam oleh seseorang. Tunggu hingga giliranmu tiba.


Apa yang terjadi setelah kau membacanya? Ah, tergantung. Jika kau membaca hingga selesai, maka hasratmu yang ada di dalam buku akan mengambil alih jiwamu dan mengunci dirimu yang lain di dalam buku. Dan jika kau berhenti membaca dipertengahan halaman, maka aku akan membiarkanmu pergi dengan ingatan yang terhapus tentang buku ini. Mungkin saja suatu hari kita akan bertemu lagi. Disaat itu aku akan membuat salah satu jiwamu terkurung.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..