Rabu, 11 Februari 2015

GAGAK PENJAGA GUNUNG EMAS




Akan datang hari dimana langit menghitam tertutupi oleh kabut pegunungan. Para gagak yang tertidur di puncak bukit terbang menutupi sebagian lingkaran desa. Pemilik tambang emas telah kembali dan dia akan menuntut balas. Kutukan disebar ketika bongkah besar pertama ditemukan.

Lantunan paragraf terkenal itu terus terucap secara turun temurun di lembah ini. Para penduduk yang sebagian besar bekerja sebagai petani sayuran mengingatnya dengan baik. Mereka menjadikan paragraf tersebut untuk berhati-hati dan menjauh dari gunung tempat burung gagak kembali pulang.

“Memangnya kenapa kalau kita mencoba membuka tambang di gunung itu? Kata Pak Guru di sana banyak sekali mineral yang mahal. Desa ini bisa berkembang sangat cepat dan sekolah kita akan lebih maju dari desa-desa lain bahkan mungkin jauh lebih baik dari kota seberang.”

Pak Guru yang sedang menjelaskan sejarah desa tersenyum. Keriput diwajah rentanya meregang oleh simpulan senyum. Selama beberapa tahun mengajar, ia selalu menemui pertanyaan yang sama. Anak-anak yang penasaran dan berlogika hebat. Sebagian besar dari mereka tidak percaya dengan dongeng seperti itu.

“Jika yang dikejar hanya kebanggaan maka akan segera habis masanya. Kau tahu nak kenapa Ayahmu dan beberapa lelaki di desa ini tidak melakukan penambangan yang jelas-jelas bisa mendatangkan keuntungan seperti yang kau katakan?”

Anak itu menggeleng.

“Karena mereka percaya inilah cara terbaik untuk bersyukur terhadap apa yang alam beri pada mereka. Tanaman tumbuh begitu subur di desa ini bahkan saat cuaca memburuk sekali pun. Bukankah itu lebih dari cukup?”

Anak tersebut memicingkan mata. Ia tidak puas dengan jawaban Pak Guru.

“Aku tahu kau tidak puas. Akan tiba masanya dimana kau akan mengerti.”

Tahun berganti, sang anak yang tidak puas kini telah tumbuh dewasa. Ia melanjutkan sekolah di kota seberang, bekerja selama beberapa tahun hingga kemudian ia teringat akan mineral  berharga di desa kecilnya.

“Kalau aku jadi kau, aku lebih memilih kembali ke desa dan memanfaatkan gunung itu. Aneh sekali warga di desamu.” Ceracau teman anak tersebut.

Anak itu mengangguk-angguk. Itulah yang selama ini ia pikirkan. Malam itu berkemaslah ia menuju desa. Ia membawa setumpuk peralatan untuk menambang. Tak lupa mengajak beberapa kenalan yang sudah bosan bekerja dengan upah minim. Mereka membayangkan kehidupan yang lebih baik dengan menjual hasil perut gunung yang konon katanya berlimpah.

“Kalian tidak boleh melakukannya!!”

Para sesepuh berteriak menghalangi. Sang anak tidak peduli, didorongnya begitu saja orang-orang yang menghalangi. Beberapa pemuda yang menyaksikan kejadian itu hanya terdiam, pikiran mereka mulai goyah ketika mendengar penjelasan sang anak.

“Kita hanya akan terkurung begini saja jika terus menanam sayuran! Pikirkan! Di gunung itu ada hal yang sangat berharga. Jangan hanya karena beberapa bait kata membuat kita takut!”

Para sesepuh menggelengkan kepala. Anak itu masih tidak mengerti.

Berjalanlah rombongan penambang menuju gunung. Mereka mulai mengeruk isi gunung untuk mencari mineral berharga yang disebutkan. Butuh waktu sekitar tiga minggu hingga akhirnya sebuah bongkahan kuning berkilau muncul. Salah seorang penambang berteriak kegirangan. Sang anak tersenyum puas, hal ini dapat membantunya untuk mempengaruhi warga. Benar saja beberapa pemuda akhirnya memilih bergabung menjadi penambang. Mereka meninggalkan cangkul dan ladang untuk para orang tua.

Hari berganti hari, sudah ratusan gerobak dengan bongkahan berkilau keluar dari perut gunung. Gagak-gagak yang hidup di daerah gunung mulai menyingkir dan pindah ke desa, menghabiskan tanaman di ladang sebelum berhasil dipetik.

“Kutukan itu sudah mulai berjalan.” Salah satu sesepuh menatap langit. Awan hitam menggelayut di sana. Gagak melintas dengan ganas menyambar bongkahan jagung di hadapannya.

“Tidak ada kutukan apa pun Pak Tua. Hanya ini . .”sang anak mengangkat emas yang berkilau,”harusnya sejak dulu hal ini kalian lakukan. Lihatlah desa ini.  Lampu-lampu berkelip seperti di kota, kalian bisa melihat apa yang terjadi di tempat lain hanya melalui sebuah kotak layar. Bukankah hal itu luar biasa?”

“Aku akui semua ini sangat luar biasa tetapi sadarkah kau anak muda, bahwa kau baru saja merusak keseimbangan? Berhentilah sekarang sebelum kutukan itu berjalan.”

“Dasar Pak Tua, kutukan terus yang keluar dari mulutmu. Tidak ada hal seperti dongeng omong kosong itu.” Sang anak tertawa jumawa.

Tepat disaat itu, rintik hujan mulai menetes. Seharian penuh desa dibasahi oleh air langit. Musim hujan telah tiba. Para pekerja tambang mengencangkan mantel mereka dan terus bekerja. Mereka seakan tidak puas untuk mengeruk seluruh emas di dalam sana.

WUSSSSH!

Angin kencang mulai menyapa. Satu dua pekerja memutuskan untuk berhenti, sementara sang anak dan beberapa pekerja lain masih tetap melanjutkan pekerjaan mereka.

“Tinggal sedikit lagi. Tanggung jika kita menghentikannya sekarang.” Sang anak tersenyum serakah menatap gerobak-gerobak yang berisikan kemilau emas.

BRAK GLUDUK . . .

Tanah berjatuhan dari atas gunung disertai dengan pohon-pohon yang akarnya sudah tidak mendapat pijakan lagi karena terkeruk oleh para pekerja.

“ADA APA INI!”

Sang anak mencoba berlari keluar dari terowongan. Larinya tersendat karena ia sambil mendorong gerobak yang terisi penuh dengan emas.

“Tinggalkan saja Pak! Longsor akan menutup pintu masuk kita.” Seorang pekerja mencoba menarik tangan sang anak agar berlari lebih kencang.

“TIDAK!” Sang anak menepis genggaman tangan tersebut.

“Kita terkena kutukan penjaga gunung! Ia menuntut balas!” Pekerja lain berlari ketakutan, tangannya dilipat seakan memohon ampun entah pada siapa.

“TIDAK ADA YANG NAMANYA KUTUKAN INI HANYA . . .”
BRUK!

Sederetan tanah bercampur bebatuan jatuh begitu saja tepat di atas kepala anak itu. Gundukan tanah menutupi hampir sebagian besar tubuhnya, yang tampak hanyalah tangan putih yang menggenggam bongkahan emas.

“Aku menuntut balas akan keserakahanmu ini.”

Sebuah suara terdengar menakutkan. Gagak-gagak berkumpul mengitari desa dan pegunungan. Para pekerja menatap ngeri terhadap itu semua.

“Kalian pergilah dari tempatku!”

Pekerja berlarian dengan wajah pucat. Suara yang menggelegar itu menghasilkan longsoran tanah yang lebih dahsyat. Lorong terowongan yang telah dibuat tertutup seketika.


“Gadis itu telah kembali dan ia marah. Sebaiknya kita pergi dari desa ini sebelum terkena imbas seperti beberapa abad yang lalu.” Kata Pak Guru, keriputnya masih sama seperti dulu hanya saja tatapan matanya berubah menjadi lebih menakutkan.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do u think, say it !