Jumat, 22 Juni 2012

JANJI - JANJI AYAH II

II

Malam merajut bingkai yang kelam selaras dengan wajah Ayah yang terdiam disudut ruang tv. Aku menatap Ayah dengan perasaan pilu. Aku tahu tidak seharusnya aku melakukan ini semua setelah janji – janji yang Ayah tepati padaku. Namun keegoisanku menutup itu semua, Ayah juga telah berjanji untuk membiarkanku memilih jadi sudah seharusnya Ayah menepati janji itu sekali lagi.

“Apa yang kau lakukan disini sayang?”

Suara lembut itu menyapaku hangat. Pria yang hari ini sah menjadi suamiku itu memelukku hangat. Aku tersenyum getir menerima pelukan itu dan tetap menatap Ayah dari sudut mataku.

“Sampai kapan Ayah disini?” dia bertanya padaku lirih.

“Mungkin dua hari”

Aku tahu dia dan Ayah tidak akur karena beberapa hal. Sejak awal Ayah adalah orang yang paling menentang hubunganku dengannya namun karena aku bersikukuh untuk tetap menikah dengan pria pilihanku sendiri, Ayah pasrah menerimanya. Ini janji Ayah padaku, janji yang pada akhirnya menumbuhkan penyesalan seperti rasa sesalku karena berdamai dengan keadaan terdahulu.

*

Aku masih mengingat dengan jelas aroma tanah pemakaman yang basah oleh air hujan, suara pelayat, dan bahkan pelukan hangat saling menguatkan. Setiap kehidupan pasti memiliki akhir dan disetiap akhir selalu ada awal yang baru. Dan hari itu adalah hari bagi segala awal dan akhir yang akan menjadi penentu hidupku sekarang.

Hari itu Siska kehilangan Ibunya, satu – satunya keluarga yang dia miliki. Aku yang telah berdamai dengan keadaan karena mengingat janjiku pada Ayah selama beberapa tahun ini, datang menguatkannya. Matanya membengkak dan merah, tampak jelas dia menangis semalam suntuk.
Ibu yang berdiri di samping Ayah pun ikut menangis. Aku tahu Ibu sangat menyukai Siska dan aku sudah tidak terlalu peduli dengan hal itu lagi.

“Siska, ikut tante pulang yuk”

Siska tidak merespon apa – apa. Ibu menatap Ayah dengan segenap harapan. Ayah mengerti tatapan itu, lalu mendekati Siska.

“Om tahu kamu sedih tapi kalau kamu terus seperti ini, Ibumu pasti lebih sedih lagi”

Siska mulai mengangkat wajahnya dan menatap Ayah. Manik matanya tampak pilu dan kosong.

“Siska sudah tidak punya siapa – siapa lagi om” kata – kata itu terdengar getir melayang di udara.

“Kamu masih punya kami” tanpa sadar aku ikut berbicara. Ibu dan Ayah mengangguk ikhlas.

Siska menatap kami secara bergantian dan kemudian memutuskan untuk bangkit dari tanah yang masih basah itu. Mungkin dia merasa inilah kesempatannya untuk memulai sebuah hidup yang baru lagi. Ibu menggandeng tangan Siska dan mengajaknya pulang ke rumah kami. Melihat Ibu dan Siska seperti itu, rasa sesak didadaku muncul seketika.

“Siska tidak akan mengambil Ibu darimu” gumam Ayah.

*

Bulan menggantikan minggu yang bertumpuk dengan cepat. Siska yang hidup bersama kami pun mulai terlihat bahagia dan mendapatkan energinya kembali. Kehidupan kami juga berjalan semakin lancar. Ayah dipromosikan untuk naik jabatan sementara Ibu mulai membuka usaha butik kecil – kecilan dibantu oleh Siska. Ya, Siskalah yang dipercaya Ibu untuk mengurus butik kecil itu bukan aku, anak kandungnya sendiri.

“Lebih baik Siska saja yang bantu – bantu Ibu dibutik. Flora kan tidak punya minat ngurusin yang begituan” Itulah alasan yang diberikan Ibu ketika Ayah bertanya perihal ini.

Biarlah Siska mendapatkan posisi itu karena aku tidak peduli. Ibu memang tidak pernah bisa akur denganku dan aku rela membagi cinta Ibu pada Siska.

“Besok hasilnya tesnya keluar kan?” Ayah bertanya padaku.

“Iya Yah, tapi Flora tidak percaya diri nih. Saingannya berat sekali” jawabku merengut.

“Ayah sudah pernah bilang kan, kalau Ayah percaya sama kemampuanmu.” Ayah tersenyum dan menurunkan koran yang dibacanya.

Aku mengangguk perlahan, kata – kata Ayah kala itu tidak bisa membuatku tenang. Aku terlalu takut untuk mengecewakan Ayah. Aku tidak mau melihat Ayah kecewa dan memilih untuk lebih mempercayai Siska dibanding aku, seperti yang dilakukan Ibu.

*

Hasil tes penerimaan beasiswa pun diumumkan. Namaku sama sekali tidak tertera disana.

“Siska Amelia Winoto?” batinku membaca nama itu.

“Ah aku lolos”

Suara itu, suara yang aku kenal.

“Kamu ikut tes ini juga?” tanyaku pada Siska dengan nada menahan kekecewaan.

“Iya, maaf ya gak ngasih tahu kamu. Ibu dan Ayah yang nyuruh aku ikut”

Sejak tinggal bersama kami, Siska mulai memanggil ke dua orangtuaku sebagai Ayah dan Ibu. Tapi, tunggu apa katanya tadi? Ayah juga menyuruhnya ikut tes ini?

“Kamu gak lolos ya Ra?” tangan Siska menjelajari deretan nama penerima beasiswa perlahan –lahan, seperti mencari namaku.

“Ya” jawabku singkat.

Ayah tahu, untuk pertama kalinya aku merasa sesakit ini. Tidak masalah jika cinta Ibu berhasil direbut oleh Siska, tetapi jangan Ayah. Aku menahan airmata hingga pulang sekolah. Siska dengan wajah bahagia mengabarkan hasil tes sementara aku tertunduk lesu di sampingnya.

“Wah selamat Siska, kamu memang anak yang pintar. Bagaimana dengan Flora?” Ibu bertanya padaku.

“Gagal” jawabku datar.

Semua aura kebahagiaan yang tadi terpancar di ruang keluarga seketika lenyap. Ibu mengusap kepalaku tanpa berkata apa – apa.

“Flora mau istirahat sebentar”

Aku melangkahkan kakiku ke dalam kamar dan membenamkan wajahku diantara bantal. Apa yang harus aku katakan pada Ayah nanti? Tetesan airmata tidak dapat aku tahan. Sedih menggelayut di dadaku. Setengah jam menangis, aku pun lelah dan terlarut dalam mimpi.

*

“Flora . . Flora . . .”

Suara lembut terdengar di telingaku. Aku membuka mataku yang lelah dan menatap pemilik suara itu.

“Ayah” refleks aku terbangun dari tempat tidur.

“Sejak kapan anak Ayah jadi suka tidur sampai sore seperti ini?” Ayah tersenyum seraya mengacak rambutku.

“Aku gagal”

“Ayah tahu” Ayah masih tersenyum.

“Ayah tidak marah?” tanyaku takut – takut.

“Marah? Untuk apa?”

“Flora sudah mengecewakan Ayah”

Ayah tertawa keras, “mengecewakan bagaimana? Ayah sudah janji untuk selalu percaya sama kemampuanmu. Hari ini kamu gagal bukan karena kemampuanmu yang kurang, cuma waktunya saja yang belum tepat” Ayah mengedipkan matanya.

“Tapi . . . Siska lolos”

“Kamu harusnya bangga punya sahabat yang sukses seperti itu”

Aku menatap Ayah dengan nanar, inilah yang aku takutkan. Ayah mulai menyukai Siska.

“Ayah ngomong seperti ini bukan berarti Ayah menyuruhmu berubah seperti Siska. Tidak. Setiap orang punya jalan kehidupan masing – masing. Kalau kamu terus menyesali apa yang terjadi sekarang, kelak kamu juga akan menyesali hari – harimu yang terbuang percuma karena penyesalan. Lagipula, bukankah Siska sudah kamu anggap sebagai saudara sendiri?”

Aku mengangguk.

“Kalau begitu, beri dia selamat dan berusaha lakukan yang terbaik. Bagaimanapun juga, kamu adalah anak Ayah yang paling Ayah banggakan”

Aku mengangguk sekali lagi.

“Flora, jangan sekali – kali menangisi kesuksesan orang lain. Jadikan itu sebagai pacuan semangatmu”

“Iya Ayah” aku mencoba tersenyum.

Ayah membalas senyuman pahitku lalu bergegas menarikku keluar kamar. Di ruang makan telah terhidang dua kue tart yang dibawa oleh Ayah. Satu kue sebagai hadiah atas beasiswa yang diterima oleh Siska sedangkan kue yang satunya lagi, aku tidak mengerti untuk apa.

“Untuk Flora yang telah menepati janji. Tidak berkelahi dan membuat masalah” bisik Ayah.

“Seharusnya untuk Ayah yang menepati janji untuk selalu percaya pada kemampuanku” batinku.


continue . . .

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

JANJI - JANJI AYAH I


I

Rangkaian bunga tersemat indah diantara tiang penyangga panggung yang megah. Di tiap sudut bangunan tertata lilin – lilin putih yang menyala dengan indah. Aku tersenyum menyambut tamu yang datang satu per satu, menyalami mereka, dan meng-aamiini tiap doa yang terucap. Ayah yang duduk di sampingku pun ikut tersenyum namun aku dapat melihat arti tatapan matanya, tatapan mata kekecewaan.

“Ayah masih kecewa?” gumamku ketika tidak ada tamu yang menyalami.

“Kau tahu apa yang sebenarnya Ayah inginkan”

“Tapi Ayah, Flora sudah besar dan Ayah sendiri yang berjanji untuk membiarkan Flora menentukan pilihan Flora” suaraku mulai meninggi.

“Dan itu adalah janji yang seharusnya tidak pernah Ayah ucapkan”

Aku mengepalkan tanganku menahan emosi. Ingin sekali rasanya berteriak menanggapi ucapan Ayah namun semua itu terhalang oleh tamu yang tiba – tiba datang menghampiriku. Aku mencoba tersenyum menerima uluran tangan tamu tersebut dengan ekspresi sewajar mungkin.

“Berhenti berdebat dengan Ayahmu sendiri dalam suasana seperti ini” Pria yang berdiri disebelahku berbisik tajam. Aku tahu  dengan jarak sedekat ini  dia pasti bisa mendengar perdebatan kami.

Aku pun mengangguk dan kembali menatap Ayah dari sudut mataku. Aku tidak menyangka hubunganku dengan Ayah akan seperti ini, mengingat bertahun – tahun yang lalu aku dan Ayah adalah sahabat sejati. Ayah adalah orang yang berjasa padaku setidaknya itulah anggapanku sebelum tragedi itu terjadi.

*

Sejak kecil Ayah selalu mengajarkanku banyak hal. Ayah adalah orang yang membuatku bisa tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan membanggakan. Ayah jugalah yang pertama kali mengajarkanku menulis dan membaca bahkan sebelum aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Ayah melakukannya tanpa paksaan seperti yang dilakukan oleh orang tua kebanyakan.

“Kau mau tahu cara menuliskan namamu?”

Itulah cara Ayah untuk menarik perhatianku agar mau belajar menulis dan membaca. Berkat didikan tersebut, aku menjadi terkenal dikalangan anak – anak seumuranku sehingga aku memiliki banyak pengikut. Tetapi sebagian besar pengikutku adalah anak lelaki. Entah kenapa, anak – anak gadis terlihat tidak suka dengan prestasi yang ku torehkan.

Berteman dengan anak lelaki dalam jangka waktu yang lama membuat perangaiku pun mirip dengan mereka, bisa dikatakan aku tumbuh menjadi seorang gadis yang tomboy. Hal ini tidak menjadi masalah buatku tetapi bagi Ibu, ini adalah masalah yang sangat besar.

“Flora, kamu sudah SMP. Dandanan kayak anak laki – laki, bermain sama anak laki – laki, bahkan suka sekali bersendawa kayak laki – laki” Ibu mengomeliku dari sudut meja.

Sebenarnya omelan Ibu malam ini bukanlah omelan yang pertama kali aku dengar. Setiap malam ketika kami sedang menonton tv bersama, Ibu selalu menyempatkan diri untuk mengomeliku mengenai hal ini dan aku pun merasa kebal mendengarnya.

“Flora?? Kau dengar apa kata Ibu tadi?”

Aku menanggapinya dengan sebuah anggukan singkat.

“Mulai besok kurangi bermain dengan anak – anak itu” Aku tahu siapa yang Ibu maksud “dan mulailah ikut kursus bahasa Inggris”

“Ha???” Aku mengalihkan pandanganku dari tv dan menatap Ibu dengan tatapan protes.

“Iya, Flora pasti mau kok” Ayah buru – buru menengahi.

“Baguslah” kata Ibu sambil menunjukkan wajah kemenangan dan berlalu ke dalam kamar.

Tatapan kekesalanku kini ku tujukan pada Ayah. Tidak seperti biasanya, kali ini Ayah tidak mendukungku.

“Turuti saja apa kata Ibumu daripada kamu disuruh berhenti latihan karate”

Aku mengulum bibirku gemas. Jika Ayah sudah berkata seperti itu maka tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan.

Sudah hampir sebulan aku mengikuti latihan karate. Awalnya Ibu melarangku untuk mengikuti latihan ini namun Ayah memberikan berbagai macam argumen sehingga Ibu luluh dan memberikanku ijin. Sepertinya Ayah tahu, jika kali ini aku menentang kemauan Ibu maka bisa jadi Ibu akan segera menyuruhku untuk berhenti berlatih karate.

“Bagaimana latihan kihon*mu?” tanya Ayah seketika

“Baik”

“Cuma segitu?” Ayah menatapku sambil tersenyum.

“Namanya juga masih sabuk putih Yah. Latihannya masih dasar sih”

Malam itu pun berlanjut dengan obrolan singkat seputar karate dan tanpa sadar aku mulai melupakan kekesalanku.

* kihon : teknik dasar karate seperti menendang, memukul, menangkis, dan membanting.

*

Seperti kesepakatan terpaksa semalam, hari ini aku mulai mengikuti kursus bahasa Inggris disalah satu tempat kursus ternama di kotaku. Aku memasuki kelas dengan wajah cemberut dan raut wajahku itu semakin melipat ketika aku melihat seorang gadis berkepang dua yang ada di kelas kursusku.

“Ngapain cewek jadi – jadian ada disini?” gadis itu menggerutu.

“Mau belajarlah !” bentakku sebal.

Gadis itu menatapku dan membisikkan sesuatu pada gadis lain yang berdiri di sebelahnya. Mereka maju mendekatiku dan siap menumpahkan sebotol minuman padaku. Aku dengan refleks yang cepat menangkis tangan gadis itu sehingga air di dalam botol minuman tersebut mengotori baju mereka sendiri. Tepat saat itu, seorang guru masuk ke ruang kursus kami. Guru tersebut kaget melihat apa yang terjadi hingga pada akhirnya akulah yang disalahkan dan Ibu dipanggil hari itu juga untuk menemui guru tersebut. Sejak mendengar penjelasan guru tersebut, yang menurutku tanpa pertimbangan untuk menanyakan padaku kejadian yang sebenarnya, raut wajah Ibu terlihat menakutkan. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah Ibu hanya terdiam. Aku tahu Ibu sedang menumpuk semua kekesalannya.

“Flora !! Berhentilah membuat masalah dimanapun ! Kamu itu harus seperti Siska, jangan bersikap liar seperti ini !” sudah ku duga Ibu pasti akan mengomeliku setibanya di rumah. Dan yang lebih menyebalkan adalah Ibu selalu menyebutkan nama gadis berkepang itu.

“Aku bukan Siska Bu !” omelku tidak mau kalah. Aku benci dibanding – bandingkan seperti ini.

“Iya ! Kamu memang bukan Siska tapi setidaknya belajarlah bersikap manis seperti dia !”

“Kalau Ibu maunya gitu, ya sudah kenapa gak ambil Siska aja jadi anak Ibu. Jangan Flora !”

Aku tidak kuat mendengar omongan Ibu yang menyakitkan hatiku lagi. Air mataku tanpa sadar mengalir dengan hangat membasahi sudut pipiku. Aku berlari ke dalam kamar dan mencoba mengurung diri.

“Kau . . . . Flora . . Ibu belum selesai ngomong . . .”

Samar – samar aku mendengar Ibu meneriakkan namaku dari depan pintu kamar. Aku membebatkan bantal dengan kencang ke arah telingaku. Sejak SD hingga sekarang aku merasa Ibu lebih menyukai Siska dibandingkan aku. Meskipun aku mendapatkan peringkat yang paling tinggi di sekolah pun, Ibu tetap merasa Siskalah yang paling hebat.

“Sudahlah Bu, berhenti membanding – bandingkan Flora dengan Siska.”

Suara Ayah mulai terdengar, aku mengangkat bantal yang membebat telingaku dan mencoba mendengar percakapan Ayah dan Ibu.

“Maksud Ibu baik Yah. Ibu hanya mau Flora bersikap lebih manis lagi. Masa hari pertama masuk tempat kursus sudah buat masalah” Sepertinya Ibu terisak ketika mengatakan hal itu.

“Tapi, cara Ibu salah. Ibu malah membuat Flora makin membenci Ibu dan mungkin juga Siska”

Kata – kata Ayah tersebut seperti menghujam ke hatiku. Ayah benar, selama ini aku membenci Siska karena Ibu selalu membandingkannya denganku. Awalnya aku bisa menerima hal itu sebagai hal yang biasa saja. Namun ketika Ibu mulai membandingkanku dihadapan Siska secara langsung, hatiku menjadi sakit. Sejak saat itu aku mulai melakukan perang dingin dengan Siska dan tanpa disadari Siska pun melakukan hal yang sama.

Sekelumit rasa pedih pun mencuat. Entah mengapa aku merasa tidak dianggap oleh Ibu dan malam ini semua kejadian dan kata – kata Ibu terngiang secara random ditelingaku. Aku pun terisak.

Tok . . Tok . . Tok . .

“Flora? Boleh Ayah masuk?”

“. . .”

“Ayah tahu Flora lagi sedih, cerita sama Ayah mau kan?”

Aku membuka pintu sambil menundukkan wajahku. Ayah mengusap kepalaku lama sekali lalu berkata, 
“Flora jangan benci sama Ibu ya. Ibu lebih sayang Flora kok cuma Ibu tidak tahu cara menyampaikannya ke Flora. Buat Ayah sama Ibu, Flora lebih baik dibandingkan siapapun. Ayah janji untuk selalu percaya sama kemampuan Flora asal Flora juga mau janji, jangan berkelahi lagi dan buat masalah seperti ini. Flora mau kan?”

Aku mengusap ujung mataku yang berair, mengangkat wajah, tersenyum, dan mengangguk sekilas.


Itulah janji pertama Ayah padaku.

continue . . .
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Selasa, 19 Juni 2012

ADA SEBENTUK KASIH DI KOLONG LANGIT

Sebuah benda padat berwarna merah terjatuh dari langit. Benda itu mendarat mulus di tangan seorang pemuda manis dengan deretan gigi yang tersusun rapi. Pemuda itu berlari menghampiri seorang gadis rupawan yang duduk termenung di bawah pohon ginkgo. Benda padat yang didapatinya tadi diberikan kepada sang gadis. Sang gadis pun tersenyum dan mempersilahkan pemuda manis tersebut duduk menemaninya.
Tak jauh dari dua sejoli tersebut, tampak seorang pemuda dengan paras yang menakutkan. Matanya yang berwarna kemerahan, kulitnya yang berkelupas, serta rambutnya yang terlihat tak beraturan membuat siapapun enggan untuk mendekatinya. Pemuda itu menggenggam semua tongkat dengan ujung yang melengkung indah. Dia baru saja meraih benda padat berwarna merah yang menggantung di langit. Benda itu ingin diserahkannya kepada sang gadis rupawan. Namun, sosoknya yang jelas - jelas menakutkan membuatnya meminta bantuan seorang pemuda rupawan untuk memberikan benda padat itu kepada sang gadis. Sang pemuda dengan paras menakutkan berharap agar gadis pujaannya akan tersenyum seperti hari - hari terdahulu.
Dan kini gadis itupun tersenyum meski sembari menggenggam tangan pemuda berwajah manis.




"Ketika kasih tidak hanya sekedar aku ada untuk memilikimu melainkan aku ada karena kau membutuhkanku meskipun kau tak perlu tahu bahwa aku yang melakukan semuanya untukmu"

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Senin, 18 Juni 2012

AKAI

Terlahir ke dunia dengan wujud yang menggemaskan, berbulu lebat, dan berwarna orange kemerahan tidak membuat semua terlihat indah. Aku dan kembaranku harus berjuang keras melewati hari demi hari di dalam sebuah kardus minuman kaleng yang lembab.

Pernah suatu hari ada seorang anak kecil yang iba melihat kami berdua. Anak kecil itu mengelus tubuhku yang ringkih dan memberikan semangkuk susu. Susu yang pada akhirnya ditolak oleh perutku. Bukan salah kami jika akhirnya kami berdua muntah dan mengotori tubuh anak itu. Tapi Ibunya menganggap itu semua salah kami. Kami ditendang dan dicekik tanpa ampun.

"Apakah itu wujud asli manusia?" Kiiro bertanya padaku dalam jeritan.

Aku tak kuasa menjawab dan berlari, terus berlari  hingga aku kehilangan tenaga lalu pingsan.

Sebuah tusukan ranting membangunkanku. Seonggok daging bau busuk digoyang - goyangkan ke wajahku. Gadis tambun dengan wajah menyebalkan mulai menyerangai dan berteriak - teriak memanggil teman - temannya. Segerombolan manusia berwajah bengis menatapku. Mereka menarik bulu - bulu halus dari tubuhku sehingga aku merasakan nyeri yang tak tertahankan. Tak hanya itu, mereka memaksaku untuk memakan bangkai tikus yang bau sekali.

"Makan ini kucing jelek !!!"

Tak kuasa menerima itu semua, aku mencakar para manusia bengis tersebut satu per satu dan berlari sekali lagi. Di tengah pelarianku, aku tersadar bahwa aku terpisah oleh kembaranku. Aku hanya bisa berharap agar nasibnya lebih baik daripada aku dan kita bisa bertemu suatu saat nanti.

Krucuk krucuk . . .

Perut kecilku meronta, hidung kecilku dengan lihai mengikuti sebuah aroma menggiurkan. Seekor ikan goreng terhidang di atas meja sebuah warung. Tanpa berpikir panjang aku melompat ke meja dan menggigit ikan tersebut. Penjaga warung pun muncul dengan wajah menahan amarah. Dia meneriaki seorang karyawan kurus dan sedetik kemudian mereka menyiramiku dengan air panas.

Aku merangkak menahan sakit. Beberapa orang yang melewatiku hanya menatap sekilas tanpa mencoba menolongku. Oh manusia, kalian egois !!!

Dengan segenap hati, aku membenci semua manusia ini. Mereka menganggap merekalah makhluk paling mulia sehingga mereka bisa memperlakukan kucing kecil sepertiku dengan seenaknya. Aku benci semua manusia ini.

*

Seminggu menahan sakit, mengumpulkan kebencian di dalam hati, dan mengharapkan balas dendam, sebuah cahaya menyinariku. Aku merasakan sebentuk energi aneh mengalir ditubuhku. Semenit berlalu, wujudku berubah menjadi seorang gadis beryukata merah.

Aku telah menjadi youkai.

*

Ketika seseorang berubah menjadi pribadi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya, kita tidak dapat menyalahkan orang tersebut. Setiap orang memiliki alasannya sendiri untuk melakukan apa yang dianggapnya harus dilakukan. Dan kita tidak bisa memaksa sudut pandang kita agar sama dengan sudut pandang orang tersebut. Kebenaran hakiki bukan berasal dari kesepakatan satu pihak tetapi beberapa pihak yang terkait. Namun, setiap orang memiliki definisi mereka masing - masing. Masih pantaskah kita men-judge orang lain? Jika tanpa sadar kita turut andil mengubahnya menjadi pribadi yang jauh lebih buruk.

"humans are disgusting and red is the colour of revenge"


- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

SI KECIL LAGI GALAU

Jaman sekarang manusia macam - macam rupanya. Hal yang tabu berubah menjadi hal biasa. Entah sejak kapan munculnya, sepertinya beberapa tahun belakangan ini kata galau mendadak jadi bahan perbincangan publik.

bingung memilih antara beli novel atau komik . . .



bingung memilih antara mewarnai pake spidol atau pensil warna . . .



bingung memilih antara kuning dan pink . . .



bingung memilih antara dia atau kamu . . . *eh -_-,

Kata orang sih, bingung memilih seperti itu termasuk galau. Apapun itu bentuknya, sepertinya tidak etis rasa bimbang seperti itu terlalu dibesar - besarkan dan diolok - olok. Makanya, ada baiknya hentikan penggalauan massal. Sebagai jiwa - jiwa muda yang masih hijau *emang daun* sebaiknya kita bersikap positif dan mulai menebas akar kegalauan dimulai dari diri sendiri. Berhenti membesar - besarkan hal yang sebenarnya sepele dan membuat diri sendiri terlihat hina karena di luar sana masih banyak hal yang lebih penting dibandingkan penggalauan. Tapi, kalau penggalauannya menghasilkan karya positif sih . . . lanjutkan aja :P

Pipit - Duta Anti Galau

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Jumat, 15 Juni 2012

YOUKAI (NATSUME YUUJINCHOU)

Apa itu youkai?

Youkai/Yokai adalah makhluk supernatural dalam cerita rakyat Jepang. Kurang lebih sama seperti hantu tapi mereka bukan hanya berasal dari makhluk yang telah mati. Ada beberapa Youkai yang terbentuk karena dendam atau manusia dengan kekuatan magis. Tahu kitsune (rubah) atau kappa maupun tengu? mereka juga termasuk youkai.

Banyak anime yang telah membahas tentang youkai meski mungkin dengan penyebutan yang berbeda. Contohnya seperti gege no kitaro dan natsume yuujinchou. Untuk kali ini, aku cuma mau membahas sekilas tentang Natsume Yuujinchou soalnya mendadak suka sama anime yang satu ini :D


Ceritanya tentang seorang anak bernama Natsume yang sejak kecil bisa melihat hal yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Entah kenapa Natsume selalu dikejar - kejar oleh makhluk - makhluk yang disebut youkai. Sekian :P kalau mau tahu kelanjutannya ya nonton aja :P


(Madara/Nyanko Sensei)


(Natsume | Reiko)

Karena ngefans sama Youkai yang cimit - cimit, jadi iseng bikin youkai versi sendiri :3
Youkai yang terbentuk dari kucing yang dibuang oleh majikannya, namanya Pandora. Selama menjadi kucing, dia selalu disiksa oleh manusia (kurang beruntung aja ketemu manusia yang jahat). Karena benci sama para manusia tersebut, dia memohon pada Kamisama agar diberi kekuatan. Kekuatannya pun terbentuk dari kebencian yang besar dihatinya. Jadilah dia seorang youkai yang berwajah manis namun berhati licik. Yak sampai disini saja penjelasannya, kapan - kapan dibuat jadi cerpen atau cerbung deh :3 yawn~

Jangan lupa download dan nonton Natsume Yuujinchou ya biar nyambung kalau entar kita ngobrol *eh :D (promosi tak berbayar)



- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

MATAHARI BUMI BULAN AWAN

keisengan dijari sendiri, satu setengah tahun yang lalu
Ketika Matahari menatap jalanan sunyi, dia teringat akan Bumi yang memanggilnya. Bumi yang selalu mencintai Matahari. Bumi yang tersenyum menerima terpaan cahaya hangat dari Matahari. Bulan dalam kelam malam hanya tersenyum sinis dari sudut terdekat Bumi. Bulan jenuh melihat Matahari yang begitu polos. Menyerahkan seluruh cinta dan cahayanya hanya untuk sebuah cinta dalam angan. Bumi dan Matahari memiliki pijakan sendiri. Meskipun saling membutuhkan tetapi mereka tidak bisa bersatu. Bulan semakin tertawa melihat hal itu. Bulan bahagia menatap cinta yang menyedihkan. Namun bulan belum puas karena Bumi dan Matahari masih bisa tersenyum dengan jarak dan cinta yang menyedihkan. Bulan meminta sang Awan untuk menutup cahaya Matahari di hari ini sehingga Bumi merasa sedih dan meneteskan airmata.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

DEAR DADDY

Untuk Ayah yang jauh disana . . .

Ayah sering bilang untuk tidak takut akan apapun yang menghadang karena setiap masalah punya caranya sendiri untuk diselesaikan. Ayah selalu menanamkan kata - kata itu setiap ketakutan ini menimpa. Masih teringat jelas kejadian beberapa minggu lalu ketika seminar Proyek Akhir yang akan kutempuh tiba.

"Fitri takut"

Sms sesingkat itu ternyata menyulut amarah Ayah.

"Belum berperang sudah takut ! Anak kebanggaan Ayah mau menyerah padahal sudah sejauh ini??"

Ayah tahu, jika ada yang lebih menyakitkan dari cinta yang bertepuk sebelah tangan maka pagi itu adalah pagi yang menyakitkan. Aku merasa sakit karena salahku sendiri yang terlalu takut. Memang benar kata Oniisan, selama ini aku terlalu bahagia hidup di zona nyaman. Berada diantara pengawasan Ayah dan Ibu yang luar biasa. Yang selalu ada disaat masalah menghadangku, disaat aku takut dan ingin berlari dari kenyataan. Tapi, sekarang semuanya berbeda.

Kata - kata Ayah pagi itu membuatku bangkit namun kini entah mengapa aku membutuhkan lebih dari itu. Aku ingin bertemu Ayah dan menangis. Selama ini banyak yang bertanya apa aku tidak kangen dengan rumah setelah 3 tahun berpisah? Pertanyaan yang bodoh ! Coba tanyakan hal itu pada diri sendiri.

Aku diam dan selalu tersenyum bukan berarti aku tidak merindukan mereka. Aku juga diam dan selalu tersenyum ketika Maret - April lalu Ayah berkunjung. Aku tidak mau membuat Ayah sedih. Ayah sudah terlihat tua dan lemah tapi Ayah malah berkata semua baik - baik saja.

"Kalau Fitri sudah kerja, Ayah gak usah sibuk ngurus apa - apa lagi. Ayah sama Ibu nikmati masa tua aja di Jawa"

"Hahahaha . . . iya iya"

"Ayah gak usah capek - capek lagi kayak sekarang"

"Tri, yang namanya manusia itu . . . selama dia masih hidup pasti akan kenal namanya capek. Kalau gak mau capek mati aja. Apa mau Ayah mati aja?"

"Enggak"

Percakapan malam yang panjang, sejak dua tahun terakhir tidak ketemu. Asap rokok dari mulut Ayah tergantung di langit - langit kamarku. Aku merindukan suasana ini. Sebelum tidur Ayah mengucapkan sebuah kalimat yang membuatku tertegun.

"Kamu harapan Ayah. Dibanding adekmu, Ayah menaruh harapan besar sama kamu"

Ayah, semoga aku tidak mengecewakanmu. Ayah yang bikin aku bertahan disini. Semuak apapun aku, aku coba bertahan untuk menghadapi semuanya. Sekasar apapun perkataan orang padaku, aku coba bertahan demi Ayah.

Beberapa malam terakhir, aku semakin rindu rumah. Rindu canda Ayah dan Uji ketika menonton bola. Rindu teriakan Ibu yang kesal karena keributan diruang tv. Rindu wangi tembakau di rumah.

Fitri, ingin pulang.


Fitri sayang Ayah, dan apapun kata orang . . . Ayah selalu jadi orang terhebat dalam hidup Fitri sampai kapanpun.

Sincerely

Fitria Rahmawati

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..