Sabtu, 14 Juni 2014

LARI


Angin memainkan dedaunan kering yang berserakan di taman. Sehelai daun dengan lihai melesat masuk ke dalam kamar dan berhenti pada buku catatanku. Suara tawa anak-anak pecah di bawah sana. Orang tua tampak sibuk berteriak tentang jangan begini dan begitu. Tapi, namanya juga anak kecil mereka hanya terdiam beberapa detik dan kembali lagi tertawa-tawa. Tanpa sadar senyumku pun mengembang. Aku juga ingin bermain seperti itu. Berlari menyusuri taman, melempar ranting, daun, atau apa saja yang bisa ku raih.

“Tentu saja masa itu sudah lewat”

Aku hanya bisa menatap ke dua kakiku yang hilang entah kemana. Tiga bulan yang lalu dokter memutuskan untuk mengamputasinya. Menurut pemeriksaan hal itu merupakan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diriku. Oh tentu saja. Kaki yang membusuk selama hampir setahun. Aku tahu cepat atau lambat hal itu akan terjadi.

Suara langkah kaki menaiki tangga membuatku siaga. Segera ku arahkan kursi roda menuju tempat tidur, mendorong diriku sendiri hingga terhempas di atas kasur, menarik selimut, dan berpura-pura tidur.

“Kau masih tidur atau hanya berpura-pura?”

Itu suara Ayah, orang yang pada akhirnya menjadi tempatku berbagi cerita.

“Sudahlah Talia, Ayah tahu kau hanya berpura-pura tidur.”

Ayah mendekatiku dan mulai mengeluarkan ‘jurus pamungkasnya’. Aku tidak dapat menahan tawa. Langsung bangkit dan kembali menyerang. Kami tertawa bahagia, saling melempar bantal.
Inilah keadaan rumahku sekarang, berbanding terbalik dengan yang dulu. Dulu penghuni rumah kami berjumlah lima orang. Ayah, Ibu, aku, dan dua kakakku. Cukup ramai jika dihitung, tetapi sepi jika dirasakan. Tidak pernah ada obrolan dan berkumpul bersama di ruang keluarga. Hanya tegur sapa biasa. Kami sekeluarga tetapi seperti orang yang tak saling kenal. Mengapa? Entahlah, yang aku tahu sejak aku dilahirkan hal ini sudah terjadi.

Menurut kakak pertamaku, ini semua karena posisi Ayah dan Ibu di kantor yang telah meningkat. Promosi yang luar biasa, ekonomi keluarga terangkat. Sudah pasti membuat sibuk Ayah dan Ibu. Jarang bertemu keluarga sendiri. Cuma member uang dan mengecek nilai kami setiap minggu. Ketika nilai kami bagus, maka tidak ada peringatan apapun. Tetapi ketika nilai kami menurun, maka les tambahan akan siap menanti. Menolak? Ah itu hal yang membuang tenaga. Pada akhirnya ke dua kakakku bertingkah selayaknya anak baik di rumah. Dan ketika berada di luar jangkauan keluarga, mereka akan bertindak semaunya. Aku tahu hal itu namun aku terlalu malas untuk mencampurinya. Yah, aturan lain keluarga kami-secara tidak tertulis. Jangan mengganggu urusan keluargamu ketika berada di lingkungan luar.

Itulah mengapa aku selalu iri dengan teman sebayaku yang diperhatikan sangat ketat oleh ke dua orang tuanya. Saling mengejek dan bertengkar, namun kemudian tertawa lagi. Aku juga ingin merasakannya. Aku selalu berharap akan ada kejadian besar yang membuat harapanku itu terkabul. Beberapa bulan kemudian, tragedi itu terjadi.

Ayah bekerja sebagai hakim dan Ibu sebagai pengacara publik. Waktu itu mereka sedang menangani sebuah kasus yang sangat berat. Kasus seseorang yang berkuasa di negeri ini. Suatu malam aku sempat mendengar Ibu menangis. Entah apa yang terjadi, yang jelas aku menangkap sekilas bahwa nyawa keluarga kami terancam.

“Andai saja kita masih hidup sebagai warga negara biasa, bukan penegak hukum atau semacamnya. Aku menyayangi anak-anakku meskipun . . .”

Ayah menutup pintu sebelum Ibu menyelesaikan kalimatnya.

Ke esokan harinya kakak pertamaku ditemukan tertembak. Ibu sangat histeris. Kakakku kabur dari rumah pada malam hari. Itu adalah kebiasaannya, bertemu teman-temannya di klub. Ibu dan Ayah tidak mengetahui hal tersebut dan menganggap anak-anaknya sudah terlelap di kamar.

“Tama,anakku!!!” Ibu kembali berteriak.

“INI SEMUA SALAH AYAH DAN IBU!”

Kakak ke duaku meledakkan amarahnya. Ia sangat dekat dengan kakak pertamaku, mereka selalu merencanakan hal-hal aneh bersama.

“Kalau saja Ayah dan Ibu lebih memperhatikan kami dan berhenti . . .”

“Tara . .” Ibu mencoba memeluk kakakku, “maafkan Ibu.”

Kakak keduaku menghempaskan pelukan Ibu dan berkata, “andai saja kata maaf itu bisa menghidupkan kak Tama.”

Suasana rumah menjadi semakin sepi, kali ini ditambah dengan duka yang mendalam. Entah kutukan apa yang terjadi. Siang harinya kami menemukan mayat kakak ke duaku di dalam kamar. Ia menggantung dirinya. Ibu semakin histeris dan merasa bersalah. Ibu berteriak tanpa henti dan melarang siapapun bahkan tim forensik serta dokter menyentuh mayat anaknya. Ibu kehilangan akal sehatnya.

Ayah mencoba menjauhkanku dari Ibu. Tidak ingin aku terluka oleh tingkah Ibu yang semakin aneh. Rasa bersalah dan kesedihan yang mendalam membuat Ibu sering berhalusinasi. Kadang Ibu memelukku erat dan memanggil namaku dengan penuh kasih sayang. Kemudian mendadak Ibu menjadi histeris dan mencoba mencekik leherku.

Puncaknya, Ibu membawaku kabur dari rumah. Saat itu, Ayah lalai memperhatikanku karena panggilan dari kantor. Ibu tertawa-tawa sambil menginjak gas sekuat tenaga. Aku yang masih berumur tujuh tahun hanya bisa menangis. Ibu menabrak apa saja yang menghalangi jalannya hingga pada akhirnya Ibu mencoba menabrak sebuah beton yang menjulang tinggi. Kami kecelakaan. Ibu pingsan namun tidak terluka parah. Sementara aku mendapati luka yang cukup serius. Ke dua kakiku kemudian mulai membusuk karena infeksi yang disebabkan kecelakaan itu.

“Talia? Anakku yang cantik masih di sana?” Ayah membuyarkan lamunanku.

“Eh, iya.” Jawabku sambil tersenyum.

Aku menatap garis wajah Ayah. Kerutan mulai tampak diwajahnya yang bersih. Aku tahu jauh di dalam hatinya, Ayah juga ingin berteriak seperti Ibu. Ayah juga pasti merasa bersalah bahkan mungkin lebih. Tetapi Ayah memutuskan untuk kuat dan mengubah semuanya dengan menjagaku dan Ibu. Dua permatanya yang berharga. Itulah kata Ayah ketika bertemu denganku di rumah sakit. Untuk pertama kalinya aku melihat Ayah menangis seraya memanggil namaku.

Kau tahu teman, dulu ketika keluargaku masih lengkap aku ingin sekali lari dari kenyataan. Aku ingin lari mencari keluarga yang lain, yang lebih hangat dan saling memperhatikan. Namun aku sadar aku tidak bisa melakukan hal itu.

Ketika keluargaku mulai hancur dengan kepergian kakak-kakakku. Aku juga ingin berlari. Sudah cukup rasa sepi yang selama ini aku rasakan, sesak dada ini mengetahui harus memikul beban kesedihan juga. Namun sekali lagi aku sadar bahwa aku tidak bisa melakukannya.

Sekarang, aku masih tetap ingin berlari. Tetapi berlari untuk meraih cahaya kebahagiaan. Membuat Ayahku tetap hidup dengan memiliki permatanya yang berharga. Dan berlari meraih jiwa Ibuku, mengembalikannya seperti sedia kala.

“Ayo kita tengok Ibu, Yah.”

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..