Minggu, 29 September 2013

TOPENG : RAHMA



Ada kalanya aku ingin berteriak ketika jiwa-jiwa di luar sana mulai mengatur tentang bagaimana semestinya bahagia itu. Uang yang melimpah serta kemilau wajah yang bersinar. Aku muak mendengar itu semua. Bukan berarti aku tidak membutuhkan uang atau tidak ingin memiliki kilau tetapi aku jengah diatur dengan peraturan yang bahkan tidak tahu bahwa aku memiliki standar tersendiri.

Hari ini tepat ketika reuni berlangsung, semua raut wajah tampak berseri membagi pengalaman mereka. Ada yang berkata bisa membeli sebuah ferrari dalam seminggu kerja. Ada yang bangga mendapatkan pasangan yang paling keren-well, itu persepsi pribadi yang berbicara. Kepalaku berdenyut cepat, seperti ada yang menusuk isinya dengan sebilah pisau. Dunia apa ini?

Aku memilih duduk menatap fenomena ini. Apa ada yang salah denganku ataukah hanya aku saja yang belum berubah menjadi lebih baik? Ah, oke. Apa itu standar lebih baik?

“Ku lihat kau sudah bisa membeli sebuah rumah baru.”

“. . . .”

“Rahma?”

“Ah ya, hanya sebuah rumah kecil untuk menampung semua ide gilaku.”

“Kau sudah jadi ‘orang’ rupanya.”

Dia membuat tanda kutip pada kata orang. Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Hey, apa aku sudah menjadi lebih baik? Entahlah. Aku memutuskan untuk berdiri dan mencari tahu. Bertukar cerita dengan mereka yang aku temui. Sebagian menggeleng dan menatapku heran.

“Kau memilih tempat itu? Rahma, kau bisa mencari tempat yang lebih baik.”

Aku meringis mendengar semua komentar yang mereka ucapkan. Aturan dan standar meluncur bagaikan sebuah pasal-pasal dari tiap mulut mereka. Demi sopan santun, aku memaksakan diri untuk mendengarkan dan sesekali mengangguk. Bukan karena setuju melainkan menunjukkan pada mereka bahwa jiwaku ada bersama mereka, mendengarkan. Dan sepertinya hal itu berhasil karena mereka terus mengoceh tanpa henti. Namun yang tidak mereka sadari adalah kini sebagian dari hatiku mulai berputar di dalam ruangan ini mengumpulkan berbagai macam ide gila.

“Rahma?”

“Ya??”

“Entahlah. Tapi sepertinya kau berubah. Tidak terlalu ceria dan tampak banyak berpikir.”

Aku hanya tersenyum.

Apakah aku berubah? Jika itu standar yang mereka berikan, maka jawabnya adalah iya. Namun jika mengikuti standarku, maka jawabannya tidak. Hari ini aku memutuskan untuk melepaskan topeng itu. Melangkah dengan salah satu kepribadianku. Aku, Rahma.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Jumat, 27 September 2013

NECROMANCER



Jejak derasnya hujan semalam masih tampak jelas disepanjang jalan. Bau lembab menguap diudara. Hawa dingin yang berhembus sejak semalam membuat para penghuni kota enggan melangkahkan kaki mereka keluar rumah. Lebih nyaman berselimut tebal di dalam rumah sambil menikmati secangkir teh atau susu hangat. Namun hal itu tampak tidak berlaku bagi Levi. Tubuhnya yang ringkih terlihat terseok-seok menarik sebuah bungkusan besar. Ke dua telapak tangannya yang telah kapalan mulai membiru. Sesekali dia meniup ke dua telapak tangan tersebut, mencoba memberikan kehangatan. Ujung atap sebuah rumah tua mencuri perhatiannya. Langkah kakinya semakin dipercepat.

Rumah tua di pinggiran sungai tersebut tampak tidak terawat. Berbagai ilalang menutupi pagar karat yang berderit-derit ketika ditiup angin. Pintu kayu mahoninya terlihat rapuh dimakan oleh rayap. Wangi lembab dan bangkai tercium sangat kental dari dalam rumah.

“Kau datang juga.”

Seorang wanita seksi menepuk kepala Levi. Levi tersenyum – yang sebenarnya lebih tampak sebagai sebuah seringai.

“Aku membawakan sesuatu untuk Leona.”

Wanita seksi dihadapan Levi tersenyum melihat bungkusan. Dia memberi isyarat agar Levi mengikutinya ke ruang bawah tanah. Mereka berjalan beriringan, melewati sekat demi sekat ruangan yang meninggalkan cicitan tikus. Sungguh tempat yang sangat menjijikkan. Levi sempat pingsan ketika pertama kali berkunjung ke tempat ini. Penciumannya tidak kuat menghirup aroma campur aduk yang mengelilingi rumah ini.

Hari ini adalah kali ke sepuluh dia berkunjung. Penciumannya sudah mulai terlatih. Dia kini tidak peduli bau busuk yang masih menyengat dari dalam rumah atau hawa dingin yang menusuk kulit. Demi Leona.

Mereka mulai memasuki sebuah lorong yang lebih bersih. Pipa-pipa baja terlihat membeku di bawah lantai. Marmer putih berkilauan di kaki dan dinding. Lorong ini terlihat lebih modern dan bersih. Siapapun tidak akan yakin jika rumah bobrok tadi menyimpan sebuah lorong yang begitu mewah sebagai jalan menuju ruang bawah tanah.

Pintu besar dengan garis-garis lengkung aneh menyambut mereka. Sebuah symbol mencuat di tengah-tengah lengkungan tadi. Simbol yang membawa Levi ke tempat ini. Simbol yang menjadi pesan terakhir Leona.

“Kau harus bertemu Nadine ketika waktuku habis dan bawa aku menuju simbol abadi sehingga tidak akan ada yang dapat memisahkan kita.”

Setahun kata-kata itu bergema di dalam pikiran Levi. Kalimat tersebut dan sebuah coretan tangan Leona menjadi petunjuk bagi Levi untuk menemukan Nadine.

“Leona.”

Levi tak kuasa berlari memeluk sebuah tubuh membusuk di atas meja. Kerinduannya akan sosok manis itu menghalangi logikanya.

“Berhentilah menyentuhnya! Kau hanya akan merusak organnya!”

Nadine menarik kasar Levi. Levi berdiam diri menatap pantulan dirinya pada tetesan air di lantai. Wajahnya tampak sangat kusut. Ke dua matanya terlihat memiliki cekungan yang sangat dalam. Dia lelah.

“Kapan hal ini akan berakhir? Berapa lama lagi aku bisa melihat Leona?”

“Ambillah bungkusan tadi. Lakukan ritual secepat mungkin dan berhenti bertanya.”

Nadine bosan mendengar ocehan Levi yang sama sejak mereka pertama kali bertemu. Dia selalu berharap seandainya Leona menceritakan lebih detail bahwa hal yang mereka lakukan ini butuh waktu yang sangat lama.

Nadine mengenal Leona ketika perkumpulan mereka melakukan ritual pertama, memanggil jiwa ketua yang telah pergi. Mereka berdua menjadi sangat akrab dalam segi apapun, termasuk pemikiran yang bertentangan dengan perkumpulan.

“Kau! Masukan potongan itu ke dalam kuali! Berhentilah meratapi Leona!” teriak Nadine.

Levi tersentak kemudian memasukan potongan yang diminta Nadine. Isi kuali meletup-letup mengeluarkan asap dengan bau yang memusingkan kepala. Nadine mendekati Levi, tangan mereka bertaut satu sama lain. Nadine mulai mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa yang tidak dapat di mengerti. Setelah dia selesai mengucapkan kalimat-kalimat tadi, Levi mulai menuangkan ramuan busuk ke tubuh Leona. Cairan kental berwarna hijau lumut mulai menutupi jasad Leona yang hampir membusuk.

“Apakah ini akan berhasil?” Levi kembali bertanya.

Nadine mengarahkan pandangannya pada Levi, kemudian mengarahkan telunjuknya pada kaki Leona yang kini tampak segar kembali.

“Ya. Ini baru permulaan.”

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..