Selasa, 27 Mei 2014

DENGAR [AWAL]

“Aku benci saat mataku terpejam.” Hal itu selalu berdengung dikepala Ariana.

Hari ini seperti biasa ia duduk diantara nyanyian angin yang menyerbu pepohonan. Beberapa wanita dan pria tampak lalu lalang. Sesekali tawa membuncah ketika bisik-bisik kecil dilontarkan. Ariana mengencangkan headset ke telinga, sayang headset sebagus itu hanya menggantung dilehernya. Jempolnya kini tengah memilih lagu mana yang akan ia dengar.

“Boleh aku duduk di sini?”

Ariana mengangguk singkat lalu menutuskan lagu apa yang sebaiknya ia dengar. Sebuah musik klasik dari seorang komposer ternama kini mengalun. Suara dentingan piano yang sangat anggun memanjakan telinga. Semilir angin dan aroma tanah yang basah menambah kenyamanan dihati. Ariana pun terpejam. Jiwanya seakan dibelai oleh suasana yang menyejukan itu.

“Apa yang harus aku lakukan dengan lembar jawaban ini?”

Sebuah suara menyusup ke dalam alunan nada-nada.

“Aku tidak ingin berlaku curang tapi jika aku tidak melakukannya maka . . . maka . . .”

Suara itu semakin jelas terdengar.

“Aku harus bisa mengalahkan anak-anak pindahan itu. Impianku akan hilang begitu saja jika aku tidak melakukan ini. Sudah cukup aku dipermalukan dengan hasil try out kemarin.”

Ariana menghela napas. Ia tahu kini apa yang terjadi. Harusnya ia tidak membiarkan gadis berkacamata tebal tadi duduk di sampingnya. Dan seharusnya lagi, ia tidak terbuai dengan kecup manja alunan lagu serta desah angin sehabis hujan. Entah berapa lama gadis di sebelahnya akan berhenti mengeluh. Mengeluh dalam pikirannya sendiri yang kini sangat mengganggu.

Ariana ingin sekali membuka matanya, namun ia tak kuasa. Kemampuannya membaca pikiran menahannya untuk melakukan itu. Ya, Ariana memang bisa membaca pikiran. Ia bahkan bisa mengubah jalan pikiran seseorang dengan memanipulasinya. Terdengar sangat tidak masuk akal tetapi itulah yang terjadi saat ini. Setiap kali matanya terpejam, tanpa sengaja-atau bisa saja sengaja-alam bawah sadarnya akan terhubung dengan alam bawah sadar orang lain.

“Apa aku harus membuangnya? Atau . . . .”

“Buang saja! Kau harus percaya pada kemampuanmu!” –Ariana memutuskan untuk membantu.

“Tapi . . .”

“Tidak ada kata tapi. Keputusanmu saat ini akan sangat berpengaruh untuk segala hal yang akan kamu jalani ke depannya. Apa kamu mau menodai perjuanganmu selama ini hanya karena sebuah keegoisan? Jika ya, memalukan!” –Ariana sangat berharap perang ini akan segera berakhir.

“Iya, benar juga.”

Temaran jingga mentari sore membuat pandangan sedikit memudar. Ariana menghalangi berkas cahaya itu dengan telapak tangannya.

“Akhirnya . . .” Tanpa sadar ia bergumam.

Gadis berkacamata tebal yang duduk di sebelahnya kini berdiri. Ia merobek beberapa lembar kertas lalu membuangnya ke tong sampah terdekat.

Ariana tersenyum, hari ini tidak terlalu berat tetapi ia tetap benci ketika matanya terpejam.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Minggu, 11 Mei 2014

KISAH KLASIK


Aku dibesarkan dengan dongeng-dongeng klasik yang selalu diceritakan oleh Ibuku. Tentang para leluhur penjaga semesta yang luar biasa. Mereka bagaikan elemen yang selalu ada di dalam kehidupanmu, yang menciptakan siklus siang dan malam. Adalah keturunan Raja Langit yang sekarang entah dimana keberadaannya. Raja Langit memiliki empat puteri yang masing-masing diberi anugerah kekuatan menjaga siklus di dunia. Puteri pertama adalah Puteri Matahari. Ia bertugas membawa cahaya terang yang membuat setiap penghuni bumi bergerak cepat dan tangkas. Puteri ke dua adalah Puteri Bulan, yang bertugas membawa ketenangan dan membuat setiap penghuni bumi merasa nyaman untuk beristirahat. Puteri Awan adalah Puteri ke tiga. Ia bertugas meredam keceriaan Puteri Matahari yang berlebih. Menaungi setiap makhluk bumi dengan keteduhan dan angin sepoi-sepoi. Sementara Puteri bungsu Raja Langit adalah Puteri Bintang. Puteri paling cantik yang bertugas menghiasi gelapnya malam. Membawa cahaya yang indah ketika Puteri Bulan terlalu lelah bersinar.

Di sela tugas yang padat, ketiga puteri tersebut sering mengunjungi bumi. Bahkan ada beberapa bagian dongeng yang mengatakan bahwa mereka menikah dengan ksatria tangkas dari bumi. Dongeng ini memiliki akhir yang kurang menyenangkan. Dikisahkan bahwa ke empat saudara itu bertengkar karena perbuatan Puteri Bintang. Entahlah, ketika aku bertanya hal ini pada Ibu, Ibu menolak menceritakannya lebih detail.

Ibu adalah pendongeng yang baik. Beliau dengan lihai mendeskripsikan tentang wujud setiap tokoh. Dan anehnya aku merasa mengenal setiap tokoh itu. Aku selalu merasa setiap orang yang ada di dalam hidupku adalah karakter dongeng tersebut. Seperti kakek Wisnu yang sangat mirip dengan deskripsi Raja Langit. Ibu yang sangat mirip dengan Puteri Bulan. Aku suka tersenyum sendiri ketika menyadari hal itu. Apa mungkin karena Ibuku yang sangat pandai bercerita atau dongeng tersebut adalah kisah leluhurku? Entahlah. Sejak umur lima tahun aku tidak terlalu peduli akan hal itu hingga ulang tahunku yang ke tujuh belas.

Waktu itu semua anggota keluarga berkumpul. Mulai dari tua dan muda, om, tante, hingga cicit. Ini adalah tradisi keluarga kami. Berhubung aku adalah cucu kesayangan kakek, maka setiap anggota keluarga diwajibkan berkumpul. Sejak pagi bel rumah tidak berhenti berbunyi. Setiap anggota keluarga sibuk membantu seperti akan ada pesta pernikahan.

Malam itu Ibu memakai gaun yang sangat indah. Gaun berwarna putih dengan renda-renda kuning muda. Ibu juga memakai kalung yang menarik perhatianku. Sebuah kalung berbentuk bulan sabit yang terlihat sangat outstanding. Tante Candra dan Sawitri pun menggunakan kalung senada, hanya dengan bentuk yang berbeda yaitu bentuk awan dan matahari. Sejenak aku tertegun, teringat dongeng yang selalu diceritakan Ibu.

“Kenapa perempuan ini datang?”

Bisik-bisik mulai terdengar. Khayalanku mulai terganggu dengan bisik-bisik tersebut. Mataku kemudian tertuju pada sosok seorang wanita yang tampaknya tidak jauh berbeda dari Ibu, tante Candra, dan tante Sawitri.Wanita itu mengenakan gaun putih bersih dan dilehernya tersemat sebuah kalung berbentuk bintang. Kakek Wisnu menyapa ramah wanita itu dan mengajaknya masuk. Beberapa menit kemudian kakek, ibu, tante Candra, tante Sawitri, dan wanita itu terlibat percakapan serius di ruang atas. Aku mengendap-endap, mencoba mencuri dengar karena penasaran.

“Puteri Bintangku sudah kembali.”

Suara Kakek Wisnu terdengar jelas olehku.

“Ayah yang mengundangnya? Setelah kekacauan yang dia buat di langit kita?”

Itu suara tante Candra.

“Sudahlah kak, toh kita butuh penjelasan tentang hal yang dulu terjadi . . .”

Suara Ibu menggantung begitu saja.

“Kau terlalu baik padanya. Ingat, dia mencoba mencuri semua sinarmu. Mengambil apa yang menjadi tugasmu dan merebut posisimu sebagai puteri bulan. Bahkan hampir saja merebut tunanganmu.”

Aku tertegun. Sebentar, apa yang baru saja aku dengar sama persis dengan dongeng yang dikisahkan oleh Ibu. Puteri Bintang yang selalu iri pada kakak-kakaknya mencoba melakukan kecurangan dengan menghancurkan reputasi Puteri Bulan.

Aku hampir limbung mendengar fakta yang baru saja aku dapat. Apakah dongeng itu nyata?

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..