Minggu, 11 Mei 2014

KISAH KLASIK


Aku dibesarkan dengan dongeng-dongeng klasik yang selalu diceritakan oleh Ibuku. Tentang para leluhur penjaga semesta yang luar biasa. Mereka bagaikan elemen yang selalu ada di dalam kehidupanmu, yang menciptakan siklus siang dan malam. Adalah keturunan Raja Langit yang sekarang entah dimana keberadaannya. Raja Langit memiliki empat puteri yang masing-masing diberi anugerah kekuatan menjaga siklus di dunia. Puteri pertama adalah Puteri Matahari. Ia bertugas membawa cahaya terang yang membuat setiap penghuni bumi bergerak cepat dan tangkas. Puteri ke dua adalah Puteri Bulan, yang bertugas membawa ketenangan dan membuat setiap penghuni bumi merasa nyaman untuk beristirahat. Puteri Awan adalah Puteri ke tiga. Ia bertugas meredam keceriaan Puteri Matahari yang berlebih. Menaungi setiap makhluk bumi dengan keteduhan dan angin sepoi-sepoi. Sementara Puteri bungsu Raja Langit adalah Puteri Bintang. Puteri paling cantik yang bertugas menghiasi gelapnya malam. Membawa cahaya yang indah ketika Puteri Bulan terlalu lelah bersinar.

Di sela tugas yang padat, ketiga puteri tersebut sering mengunjungi bumi. Bahkan ada beberapa bagian dongeng yang mengatakan bahwa mereka menikah dengan ksatria tangkas dari bumi. Dongeng ini memiliki akhir yang kurang menyenangkan. Dikisahkan bahwa ke empat saudara itu bertengkar karena perbuatan Puteri Bintang. Entahlah, ketika aku bertanya hal ini pada Ibu, Ibu menolak menceritakannya lebih detail.

Ibu adalah pendongeng yang baik. Beliau dengan lihai mendeskripsikan tentang wujud setiap tokoh. Dan anehnya aku merasa mengenal setiap tokoh itu. Aku selalu merasa setiap orang yang ada di dalam hidupku adalah karakter dongeng tersebut. Seperti kakek Wisnu yang sangat mirip dengan deskripsi Raja Langit. Ibu yang sangat mirip dengan Puteri Bulan. Aku suka tersenyum sendiri ketika menyadari hal itu. Apa mungkin karena Ibuku yang sangat pandai bercerita atau dongeng tersebut adalah kisah leluhurku? Entahlah. Sejak umur lima tahun aku tidak terlalu peduli akan hal itu hingga ulang tahunku yang ke tujuh belas.

Waktu itu semua anggota keluarga berkumpul. Mulai dari tua dan muda, om, tante, hingga cicit. Ini adalah tradisi keluarga kami. Berhubung aku adalah cucu kesayangan kakek, maka setiap anggota keluarga diwajibkan berkumpul. Sejak pagi bel rumah tidak berhenti berbunyi. Setiap anggota keluarga sibuk membantu seperti akan ada pesta pernikahan.

Malam itu Ibu memakai gaun yang sangat indah. Gaun berwarna putih dengan renda-renda kuning muda. Ibu juga memakai kalung yang menarik perhatianku. Sebuah kalung berbentuk bulan sabit yang terlihat sangat outstanding. Tante Candra dan Sawitri pun menggunakan kalung senada, hanya dengan bentuk yang berbeda yaitu bentuk awan dan matahari. Sejenak aku tertegun, teringat dongeng yang selalu diceritakan Ibu.

“Kenapa perempuan ini datang?”

Bisik-bisik mulai terdengar. Khayalanku mulai terganggu dengan bisik-bisik tersebut. Mataku kemudian tertuju pada sosok seorang wanita yang tampaknya tidak jauh berbeda dari Ibu, tante Candra, dan tante Sawitri.Wanita itu mengenakan gaun putih bersih dan dilehernya tersemat sebuah kalung berbentuk bintang. Kakek Wisnu menyapa ramah wanita itu dan mengajaknya masuk. Beberapa menit kemudian kakek, ibu, tante Candra, tante Sawitri, dan wanita itu terlibat percakapan serius di ruang atas. Aku mengendap-endap, mencoba mencuri dengar karena penasaran.

“Puteri Bintangku sudah kembali.”

Suara Kakek Wisnu terdengar jelas olehku.

“Ayah yang mengundangnya? Setelah kekacauan yang dia buat di langit kita?”

Itu suara tante Candra.

“Sudahlah kak, toh kita butuh penjelasan tentang hal yang dulu terjadi . . .”

Suara Ibu menggantung begitu saja.

“Kau terlalu baik padanya. Ingat, dia mencoba mencuri semua sinarmu. Mengambil apa yang menjadi tugasmu dan merebut posisimu sebagai puteri bulan. Bahkan hampir saja merebut tunanganmu.”

Aku tertegun. Sebentar, apa yang baru saja aku dengar sama persis dengan dongeng yang dikisahkan oleh Ibu. Puteri Bintang yang selalu iri pada kakak-kakaknya mencoba melakukan kecurangan dengan menghancurkan reputasi Puteri Bulan.

Aku hampir limbung mendengar fakta yang baru saja aku dapat. Apakah dongeng itu nyata?

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do u think, say it !