Jumat, 13 Februari 2015

MENUNGGU



Gelas-gelas masih tersusun rapi seakan acara malam itu baru saja terjadi kemarin. Lampu gantung yang dulunya bercahaya terang kini redup. Ruang hampa disekelilingnya tertutup debu. Semua masih tertata sama seperti terakhir kali aku melihatmu. Kau yang sering sekali bermain piano di sudut ruangan. Kadang tertawa jumawa ketika kau bisa menemukan nada yang tepat. Kadang emosi menekan tuts piano karena tidak ada satu ide pun yang muncul. Sosok tinggimu yang kokoh selalu memunggungiku. Dulu aku benci sekali dengan hal itu. Aku selalu berharap agar sedikit saja kau menatapku yang selalu menjadi fans-mu. Namun kini, tidak mengapa jika kau memunggungiku asal kau tetap di sini.

Apa begini rasanya kehilangan? Apa begini rasanya sakit itu? Entahlah. Yang jelas sekarang aku merasa sepi di ruangan ini. Tidak ada suara dentingan piano. Siluetmu yang sibuk dengan kertas not balok atau dia yang tiba-tiba muncul menemanimu beberapa bulan terakhir.


Hari kesekian. Bulan kesekian. Tahun kesekian. Aku masih menunggu.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Kamis, 12 Februari 2015

SIMFONI




"Siapa di ruangan ini yang pernah merasa ikut tertarik ke dalam sebuah alunan lagu? Tiba-tiba menangis atau tersenyum mendengar sebuah lagu?"

Beberapa jari teracung.

"Rupanya banyak yang memiliki pengalaman seperti ini." Wanita jangkung itu mengetuk meja.

"Baiklah sekarang saya ingin bertanya kepada," matanya menatap sekeliling,"kamu! Ya, kamu. Apa yang membuatmu merasa tertarik ke dalam sebuah lagu?"

Anak perempuan yang ditanya tampak bingung karena ia sama sekali tidak mengangkat tangan ketika pertanyaan pertama dilontarkan.

"Lirik lagu mungkin?" Akhirnya ia berkata, meskipun tidak yakin.

"Bagaimana jika kasusnya lagu yang kau dengar sama sekali tidak memiliki lirik?"

Terdengar suara berbisik yang jika digabungkan menjadi sebuah riuh rendah di dalam aula. Mahasiswa yang berkumpul bergumam begitu saja. Ada yang mengerutkan dahinya mencoba membayangkan apa yang terjadi. Ada yang bertanya pada teman sebelahnya bahkan ada pula yang menutup mata seakan-akan bisa segera mengetahui jawabannya.

Ting . . .

Profesor Aluna, si wanita jangkung menekan tuts piano. Ia mengembang senyum ketika semua perhatian tertuju padanya.

"Saya bisa membuktikan langsung teori bahwa tanpa mengetahui makna sebuah lagu pun, musik yang luar biasa dapat menembus dinding hati seoarang anak manusia." Ia mengedipkan mata.

Inilah saat yang ditunggu-tunggu. Para peserta di ruangan tersebut berani membayar mahal hanya untuk membuktikan sendiri keajaiban suara piano Profesor Aluna yang konon katanya memiliki magis.

Profesor Aluna adalah seorang dosen fakultas seni di salah satu universitas swasta. Ia mengajar kelas musik tetapi ia jarang sekali menampilkan secara langsung keahliannya. Kabarnya musik yang ia mainkan sangatlah istimewa dan dapat menghipnotis siapa pun yang mendengarnya, sehingga ia tidak berani memainkannya secara sembarangan.

Setahun sekali ia secara rutin mengadakan workshop tentang musikalisasi. Pada saat itulah ia akan menunjukkan keajaiban permainan musiknya. Setiap tahun peserta workshop terus bertambah. 

Peserta yang telah datang ke workshop tersebut mengatakan bahwa desas-desus yang selama ini beredar adalah benar adanya. Alunan musik yang dimainkan Profesor Aluna memang memiliki kekuatan tersembunyi. Mereka yang mengalami stress ketika mendengarnya mendadak menjadi tenang. Yang ragu-ragu dapat berubah menjadi percaya diri. Orang yang suka marah-marah berubah menjadi orang yang paling ramah. Ajaib. Entah lagu apa yang dimainkan Profesor Aluna.

Hari ini ia kembali mengulang ritual tiap tahun. Melontarkan pertanyaan dan menarik perhatian para peserta. Ada beberapa peserta yang selalu mengikuti workshop ini namun mereka seakan tidak menyadari bahwa Profesor Aluna hanya mengulangi apa yang sudah dilakukannya setahun yang lalu.

"Profesor telah mulai." Bisik-bisik terdengar dari balik tirai.

Dua orang makhluk bertubuh gempal meraih kantong seukuran kepalan tangan. Ketika kantong dibuka serbuk-serbuk kuning bertebaran mengikuti alunan lagu. Jatuh tepat disetiap peserta yang hadir. Profesor Aluna tersenyum, ia mengangkat jempolnya. Ruangan dipenuhi serbuk hingga alunan musik berakhir. Para peserta bertepuk tangan antusias. Sekali lagi puas dengan acara tersebut.

"Profesor, apa gunanya melakukan ini semua? Persediaan bubuk ajaib kita bisa cepat habis kalau tiap tahun pesertanya bertambah." Kata seorang makhluk gempal, ia memperhatikan sekelilingnya.

"Serbuk itu tidak akan habis selama manusia-manusia itu percaya pada simfoni yang aku mainkan." Profesor menepuk-nepuk kantong.

"Itulah mengapa aku melakukan hal ini hanya sekali dalam setahun. Aku tidak ingin manusia-manusia itu menggantungkan ketenangan mereka pada musikku."

"Tapi dengan begini pun Profesor telah membuat mereka tergantung dengan simfoni rahasia ini."
Profesor menatap gerombolan manusia yang keluar dari aula. Wajah-wajah yang ditekuk kini berubah menjadi cerah.


"Yah, anggap saja aku lagi berbaik hati." Ia menghela napas.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Rabu, 11 Februari 2015

GAGAK PENJAGA GUNUNG EMAS




Akan datang hari dimana langit menghitam tertutupi oleh kabut pegunungan. Para gagak yang tertidur di puncak bukit terbang menutupi sebagian lingkaran desa. Pemilik tambang emas telah kembali dan dia akan menuntut balas. Kutukan disebar ketika bongkah besar pertama ditemukan.

Lantunan paragraf terkenal itu terus terucap secara turun temurun di lembah ini. Para penduduk yang sebagian besar bekerja sebagai petani sayuran mengingatnya dengan baik. Mereka menjadikan paragraf tersebut untuk berhati-hati dan menjauh dari gunung tempat burung gagak kembali pulang.

“Memangnya kenapa kalau kita mencoba membuka tambang di gunung itu? Kata Pak Guru di sana banyak sekali mineral yang mahal. Desa ini bisa berkembang sangat cepat dan sekolah kita akan lebih maju dari desa-desa lain bahkan mungkin jauh lebih baik dari kota seberang.”

Pak Guru yang sedang menjelaskan sejarah desa tersenyum. Keriput diwajah rentanya meregang oleh simpulan senyum. Selama beberapa tahun mengajar, ia selalu menemui pertanyaan yang sama. Anak-anak yang penasaran dan berlogika hebat. Sebagian besar dari mereka tidak percaya dengan dongeng seperti itu.

“Jika yang dikejar hanya kebanggaan maka akan segera habis masanya. Kau tahu nak kenapa Ayahmu dan beberapa lelaki di desa ini tidak melakukan penambangan yang jelas-jelas bisa mendatangkan keuntungan seperti yang kau katakan?”

Anak itu menggeleng.

“Karena mereka percaya inilah cara terbaik untuk bersyukur terhadap apa yang alam beri pada mereka. Tanaman tumbuh begitu subur di desa ini bahkan saat cuaca memburuk sekali pun. Bukankah itu lebih dari cukup?”

Anak tersebut memicingkan mata. Ia tidak puas dengan jawaban Pak Guru.

“Aku tahu kau tidak puas. Akan tiba masanya dimana kau akan mengerti.”

Tahun berganti, sang anak yang tidak puas kini telah tumbuh dewasa. Ia melanjutkan sekolah di kota seberang, bekerja selama beberapa tahun hingga kemudian ia teringat akan mineral  berharga di desa kecilnya.

“Kalau aku jadi kau, aku lebih memilih kembali ke desa dan memanfaatkan gunung itu. Aneh sekali warga di desamu.” Ceracau teman anak tersebut.

Anak itu mengangguk-angguk. Itulah yang selama ini ia pikirkan. Malam itu berkemaslah ia menuju desa. Ia membawa setumpuk peralatan untuk menambang. Tak lupa mengajak beberapa kenalan yang sudah bosan bekerja dengan upah minim. Mereka membayangkan kehidupan yang lebih baik dengan menjual hasil perut gunung yang konon katanya berlimpah.

“Kalian tidak boleh melakukannya!!”

Para sesepuh berteriak menghalangi. Sang anak tidak peduli, didorongnya begitu saja orang-orang yang menghalangi. Beberapa pemuda yang menyaksikan kejadian itu hanya terdiam, pikiran mereka mulai goyah ketika mendengar penjelasan sang anak.

“Kita hanya akan terkurung begini saja jika terus menanam sayuran! Pikirkan! Di gunung itu ada hal yang sangat berharga. Jangan hanya karena beberapa bait kata membuat kita takut!”

Para sesepuh menggelengkan kepala. Anak itu masih tidak mengerti.

Berjalanlah rombongan penambang menuju gunung. Mereka mulai mengeruk isi gunung untuk mencari mineral berharga yang disebutkan. Butuh waktu sekitar tiga minggu hingga akhirnya sebuah bongkahan kuning berkilau muncul. Salah seorang penambang berteriak kegirangan. Sang anak tersenyum puas, hal ini dapat membantunya untuk mempengaruhi warga. Benar saja beberapa pemuda akhirnya memilih bergabung menjadi penambang. Mereka meninggalkan cangkul dan ladang untuk para orang tua.

Hari berganti hari, sudah ratusan gerobak dengan bongkahan berkilau keluar dari perut gunung. Gagak-gagak yang hidup di daerah gunung mulai menyingkir dan pindah ke desa, menghabiskan tanaman di ladang sebelum berhasil dipetik.

“Kutukan itu sudah mulai berjalan.” Salah satu sesepuh menatap langit. Awan hitam menggelayut di sana. Gagak melintas dengan ganas menyambar bongkahan jagung di hadapannya.

“Tidak ada kutukan apa pun Pak Tua. Hanya ini . .”sang anak mengangkat emas yang berkilau,”harusnya sejak dulu hal ini kalian lakukan. Lihatlah desa ini.  Lampu-lampu berkelip seperti di kota, kalian bisa melihat apa yang terjadi di tempat lain hanya melalui sebuah kotak layar. Bukankah hal itu luar biasa?”

“Aku akui semua ini sangat luar biasa tetapi sadarkah kau anak muda, bahwa kau baru saja merusak keseimbangan? Berhentilah sekarang sebelum kutukan itu berjalan.”

“Dasar Pak Tua, kutukan terus yang keluar dari mulutmu. Tidak ada hal seperti dongeng omong kosong itu.” Sang anak tertawa jumawa.

Tepat disaat itu, rintik hujan mulai menetes. Seharian penuh desa dibasahi oleh air langit. Musim hujan telah tiba. Para pekerja tambang mengencangkan mantel mereka dan terus bekerja. Mereka seakan tidak puas untuk mengeruk seluruh emas di dalam sana.

WUSSSSH!

Angin kencang mulai menyapa. Satu dua pekerja memutuskan untuk berhenti, sementara sang anak dan beberapa pekerja lain masih tetap melanjutkan pekerjaan mereka.

“Tinggal sedikit lagi. Tanggung jika kita menghentikannya sekarang.” Sang anak tersenyum serakah menatap gerobak-gerobak yang berisikan kemilau emas.

BRAK GLUDUK . . .

Tanah berjatuhan dari atas gunung disertai dengan pohon-pohon yang akarnya sudah tidak mendapat pijakan lagi karena terkeruk oleh para pekerja.

“ADA APA INI!”

Sang anak mencoba berlari keluar dari terowongan. Larinya tersendat karena ia sambil mendorong gerobak yang terisi penuh dengan emas.

“Tinggalkan saja Pak! Longsor akan menutup pintu masuk kita.” Seorang pekerja mencoba menarik tangan sang anak agar berlari lebih kencang.

“TIDAK!” Sang anak menepis genggaman tangan tersebut.

“Kita terkena kutukan penjaga gunung! Ia menuntut balas!” Pekerja lain berlari ketakutan, tangannya dilipat seakan memohon ampun entah pada siapa.

“TIDAK ADA YANG NAMANYA KUTUKAN INI HANYA . . .”
BRUK!

Sederetan tanah bercampur bebatuan jatuh begitu saja tepat di atas kepala anak itu. Gundukan tanah menutupi hampir sebagian besar tubuhnya, yang tampak hanyalah tangan putih yang menggenggam bongkahan emas.

“Aku menuntut balas akan keserakahanmu ini.”

Sebuah suara terdengar menakutkan. Gagak-gagak berkumpul mengitari desa dan pegunungan. Para pekerja menatap ngeri terhadap itu semua.

“Kalian pergilah dari tempatku!”

Pekerja berlarian dengan wajah pucat. Suara yang menggelegar itu menghasilkan longsoran tanah yang lebih dahsyat. Lorong terowongan yang telah dibuat tertutup seketika.


“Gadis itu telah kembali dan ia marah. Sebaiknya kita pergi dari desa ini sebelum terkena imbas seperti beberapa abad yang lalu.” Kata Pak Guru, keriputnya masih sama seperti dulu hanya saja tatapan matanya berubah menjadi lebih menakutkan.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Selasa, 10 Februari 2015

BUKU LUI





Halo, namaku Lui. Aku peri yang hidup di dalam sebuah buku cerita. Buku kosong yang berisi pikiran-pikiran pembaca. Siapa pun yang memegang buku itu akan membaca hasrat terdalam yang ada dihatinya. Orang tersebut tidak akan bisa membedakan kehidupan nyata dan mimpi. Semakin lama membaca, orang tersebut akan semakin betah berdiam diri dan mengkhayal. Berbahaya? Tidak juga. Ada beberapa kasus dimana buku yang aku jaga akan sangat membantu.

Seperti kisah seorang gadis yang beberapa hari lalu ku temui. Si gadis pemalu yang sering kali menemui kesulitan akibat sifatnya itu. Seperti menghabiskan waktu berjam-jam di jalan karena tersesat ketika mencari sebuah alamat. Ia terlalu malu untuk bertanya pada orang sekitar. Hingga pada suatu hari tanpa sengaja ia menemukan buku yang aku jaga . Hasrat tersebesar di dalam dirinya mencuat. Seorang gadis ingin sekali mengutarakan isi hatinya.

Kisah lain datang dari seorang gadis yang berpenampilan sangat 'mengerikan' menurut beberapa orang. Anggap saja seleranya berbeda dengan manusia kebanyakan hingga tak jarang ia menyendiri dibeberapa sudut. Beruntunglah ia bertemu denganku. Aku membuka kunci hasrat di hatinya, memberi keberanian yang selama ini masih terkunci.

Dan hari ini, aku baru saja membantu seseorang membuka mata hatinya. Ah aku tahu banyak orang yang mengatakan bahwa gadis ini adalah gadis yang baik, terpelajar, dan dari keluarga terpandang. Tapi ketika aku menengok ke dalam isi hatinya, wah ternyata dia adalah seorang gadis yang hidup dengan skenario sebagai gadis sempurna meskipun jiwanya meronta.

Yah, itulah tadi beberapa orang yang telah ku temui. Sebagian dari mereka tidak mengetahui keberadaanku. Sebagiannya lagi dengan sengaja mencariku untuk membuktikan kebenaran desas-desus yang ada. Kau juga ingin? Baiklah, ini rahasia. Kau bisa menemukan buku ajaib yang ku jaga di rak no 3 perpustakaan sekolah. Buku bersampul cokelat polos yang bersandar pasrah di baris paling bawah rak. Jika kau tidak bisa menemukannya, mungkin saja buku itu sedang dipinjam oleh seseorang. Tunggu hingga giliranmu tiba.


Apa yang terjadi setelah kau membacanya? Ah, tergantung. Jika kau membaca hingga selesai, maka hasratmu yang ada di dalam buku akan mengambil alih jiwamu dan mengunci dirimu yang lain di dalam buku. Dan jika kau berhenti membaca dipertengahan halaman, maka aku akan membiarkanmu pergi dengan ingatan yang terhapus tentang buku ini. Mungkin saja suatu hari kita akan bertemu lagi. Disaat itu aku akan membuat salah satu jiwamu terkurung.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..