Senin, 17 Februari 2014

PERGURUAN GANESHA : SI JENIUS DARWIS



Pelajaran matematika merupakan pelajaran yang sangat disukai Darwis. Ia suka menghitung segala kemungkinan. Berkutat berjam-jam merangkai rumus-rumus dengan caranya sendiri. Hingga suatu malam, entah darimana asalnya pertanyaan itu muncul. Mata Darwis terus memperhatikan rumus perkalian plus dan minus dibuku sakunya.

“Kenapa bisa minus dikali minus hasilnya plus? Padahal dalam hidup jika keburukan dikali dengan keburukan bukankah hasilnya kan jadi buruk?” Gumam Darwis.

Malam itu ia habiskan dengan berpikir hingga akhirnya terlelap. Keesokan paginya ia bergegas menemui Pak Ganesha. Lupa mencuci muka bahkan sikat gigi. Pak Ganesha hanya menggeleng-geleng kepala melihat tingkah Darwis.

“Pertanyaan lagi Darwis?” Pak Ganesha bisa menebaknya dengan tepat.

Darwis mengangguk dan segera melontarkan pertanyaan yang ada dibenaknya. Pak Ganesha mendengarkan dengan seksama, mengelus janggut gelombangnya dan sesekali tersenyum. Hening sejenak ketika Darwis telah selesai mengungkapkan isi kepalanya.

“Bagaimana kalau kita utak-atik sedikit pendapatmu seperti ini. Menyatakan keburukan terhadap hal yang buruk, bukankah akan menghasilkan suatu kebaikan? Sama seperti minus dikali minus yang menghasilkan plus. Begitu juga dengan menyatakan kebaikan terhadap hal yang sebenarnya buruk, bukankah seharusnya tetap akan menghasilkan hal yang buruk? Seperti minus dikali plus atau sebaliknya.”
Darwis berpikir sejenak, menimbang-nimbang.

“Muridku Darwis, intinya adalah . . .”

“Menyatakan hal yang buruk terhadap hal yang memang buruk adalah suatu kebenaran yang baik. Menyatakan hal buruk terhadap sesuatu yang sebenarnya baik menghasilkan musibah begitu juga sebaliknya. Menyatakan hal yang baik terhadap hal yang benar-benar baik mendatangkan kebaikan yang berlipat.” Darwis memotong dengan cepat.

Pak Ganesha tersenyum. Seharusnya dia tahu bahwa muridnya yang satu ini adalah murid yang paling cepat paham.

“Tapi . . .”

“Sudut pandang Darwis, sudut pandang. Ubahlah cara berpikirmu. Jika tidak, tidurmu malam ini juga tidak akan tenang.”

Pak Ganesha tertawa meninggalkan Darwis yang garuk-garuk kepala.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Rabu, 12 Februari 2014

LOCK [1]


Hai, aku adalah si pembuka. Aku membawa sebuah benda berharga kemana-mana. Kunci pembuka jiwa, begitu mereka menyebutnya. Tugasku adalah mengeluarkan jiwa-jiwa kelam agar dapat kembali pada wadahnya, manusia.

Halo, aku adalah si pengunci. Aku telah mengunci banyak sekali jiwa kelam di dalam tubuhku. Tugasku adalah menjaga agar jiwa-jiwa tersebut tidak kembali pada wadahnya, manusia.

*

Ini adalah catatan perjalanan si pembuka dan pengunci melepaskan jiwa-jiwa. Ada yang berjalan mudah dan tak jarang berjalan sangat sulit. Kadang mereka berdebat dan kadang saling membantu. Mari kita mulai.

*

TERIAKAN SARI

            Alarm berbunyi nyaring di rumah si pengunci. Ada sebuah kedip jingga di salah satu kotak bernama.
“Tugas!”

Si pengunci berseru nyaring. Ia melempar serbuk berkilau ke udara dan tring . . . seketika itu juga ia menghilang.

Tiga hari yang lalu . . .

Suasana sekolah sudah mulai sunyi. Beberapa menit yang lalu, tepat ketika bel berbunyi para siswa berlarian meninggalkan ruang kelas. Menyisakan para guru di ruangan mereka. Merapikan tumpukan kertas ulangan dan sedikit berbincang mengenai kelakuan siswa masing-masing. Sementara itu dibeberapa ruang kelas tampak siswa yang sibuk memegang sapu, melaksanakan tugas piket harian. Ada yang mengangkat bangku ke atas meja, membersihkan papan tulis, serta membuang sampah ke bak pembuangan. Setiap anak memiliki tugasnya masing-masing. Namun di salah satu kelas, terlihat seorang gadis berambut ikal yang melakukan semua tugas tadi sendirian. Dua puluh bangku diangkatnya dengan sekuat tenaga. Setelah itu tangannya mulai cekatan menyapu lantai. Sesekali ia menghela napas. Kejadian ini tidak hanya terjadi sekali tetapi berkali-kali.

“Sari, hari ini aku harus menemani mama ke pasar. Gantian kamu yang piket ya.”

“Sari, aku harus buru-buru pulang. Ada hal penting yang harus aku lakukan.”

Selalu saja teman-temannya memiliki alasan untuk meninggalkan tugas piket. Sebenarnya Sari ingin sekali berkata bahwa ia keberatan jika harus melakukan semuanya sendiri. Namun pada akhirnya yang keluar dari mulutnya adalah kata yang meng-iya-kan ini semua terjadi.

“Kenapa sih susah banget bilang tidak?” Gumam Sari pada dirinya sendiri.
“Kau saja yang kurang berusaha.”Jawab si pembuka.

Sejak tadi ia duduk di atas meja, dekat dengan posisi Sari berdiri. Tentu saja Sari tidak dapat melihat bahkan mendengar perkataan si pembuka barusan.

            Sari Lulanita. Nama itu yang muncul pada kotak tugas miliki si pembuka. Kali ini ia harus melepaskan jiwa kelam gadis itu. Ya, setiap orang pasti punya satu sisi kelam di dalam dirinya. Hampir sebagian besar sisi kelam itu terkunci rapat-rapat. Tidak semua sisi kelam bersifat buruk karena ada beberapa bagian dari sisi itu yang sengaja terkunci untuk menunggu waktu yang tepat.

            Hampir sejam Sari membersihkan ruang kelas sendirian sebelum akhirnya ia bisa pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, Sari menerima sebuah pesan singkat dari sang kakak untuk membeli susu coklat di sebuah toko.

“Aku harus jalan memutar dong, kan jauh!” Gerutu Sari sambil menekan balasan yang tentu saja berbeda dari gerutuannya barusan.

“Anak ini aneh sekali.” Si pembuka memutar bola matanya bingung.
*
Sudah dua hari si pembuka mengikuti Sari. Ia mengamati segala tingkah laku Sari untuk mencari pemicu yang bisa membuatnya mendapatkan kunci pembuka jiwa. Memang hanya si pembuka yang bisa melepaskan jiwa-jiwa tersebut, tetapi ia juga membutuhkan sebuah ‘ijin’ dari si pemilik jiwa. Oleh karena itu, ia selalu memantau setiap jiwa yang ingin dilepaskannya. Biasanya di saat seperti ini, si pengunci akan muncul dan mencoba menghentikannya. Namun entah kenapa sejak hari pertama memantau, si pengunci tidak juga menampakkan dirinya.

“Sari! Sari!” Sang Kakak menepuk tangannya di depan wajah Sari.

“Eh kenapa Kak?”

“Ck! Tahun ini kan kamu sudah lulus sekolah menengah atas, Ayah nanya kamu mau lanjut kuliah di jurusan apa?”

“Eh . . . itu . . .”

“Kuliah yang sama denganku saja.” Sang Kakak memotong dengan cepat.

“Sania, biarkan adikmu yang menjawab.” Sang Ayah mencoba menengahi.

“Sari pasti mau kok. Buktinya Sari sering bantuin Sania ngajar murid-murid yang les. Itu tandanya Sari juga mau kuliah pendidikan bahasa sama kayak Sania.”

“Enak saja! Aku mau jadi penulis! Selama ini aku bantuin Kak Sania karena kasihan melihat Kak Sania repot. Tidak lebih.”

“Nanti Sari pikirkan lagi.” Akhirnya sebaris kalimat itulah yang keluar dari mulutnya.

“Tuh, apa kata Sania. Sari pasti mau kuliah di tempatnya Sania. Tenang saja, pasti Kakak bantu.”
“Gak usah. Terima kasih.”

“I-i-iya Kak.” Sekali lagi kata yang keluar berbeda dari apa yang terucap dihatinya.

            Si pembuka tersenyum puas. Kejadian di meja makan malam itu membuatnya tahu apa yang harus dilakukan.
*
Hari ke tiga. Si pembuka memutuskan untuk melepas jiwa kelam milik Sari di hari ini juga. Tidak seperti tugas yang ia dapat sebelumnya, yang butuh waktu hingga sebulan untuk memantau. Tugas kali ini termasuk mudah.

“Namamu sudah aku masukan ke daftar mahasiswa baru di kampus ku loh Sar.” Sang Kakak membuka pembicaraan.

“Nah ini dia.” Si pembuka menggerakkan ke dua kupingnya.

“Apa!”

Sari yang sejak tadi asyik menulis, berteriak kaget.

“Ih biasa aja kali. Kakak tahu kamu pasti senang. Bla bla blab la . . .”

Sari tidak sanggup lagi mendengar setiap kalimat yang diucapkan kakaknya. Selama ini dia sudah berusaha keras untuk menekan teriakan penolakan. Entah itu dari teman, kakak, atau bahkan ke dua orang tuanya.

            Sari bisa bertahan dengan berlari ke dunia menulis. Dimana ia bisa menumpahkan apa yang sebenarnya ada di kepalanya. Tapi entah kenapa, sejak dua hari yang lalu ia merasa ada sebuah hasrat untuk memberontak. Ia ingin sekali berteriak pada semua orang tentang apa yang sebenarnya ia rasa dan pikirkan. Seperti ada sebuah arwah aneh yang merasuki tubuhnya. Memaksa satu sosok lain di dalam dirinya untuk keluar.

“Satu . . .”

Si pembuka memutar badannya yang bulat di udara. Ritual membuka jiwa sudah mau ia mulai.

“Dua . . .”

Ke dua telinganya yang panjang bersinar terang. Ada siluet-siluet yang terpancar dari sana bagaikan kolase yang terbang.

PLOP!

Tepat di saat si pembuka ingin mengucapkan kata ‘tiga’, si pengunci muncul di hadapannya.

“Kenapa kau muncul disaat seperti ini?” Gerutu si pembuka.

“Hoam. Lanjutkan saja. Aku tidak peduli sama yang satu ini.” Kata si pengunci santai.

            Jangan bayangkan mereka akan bertengkar. Meskipun memiliki tugas yang berbeda dan sering berdebat, sebenarnya mereka adalah dua sahabat karib. Terkadang si pengunci membantu si pembuka untuk melepaskan beberapa jiwa. Dan kadang si pembuka mengurungkan niatnya untuk membuka jiwa. Sepertinya tugas kali ini menjadi sangat mudah karena si pengunci memutuskan untuk muncul di saat terakhir. Membantu si pembuka melancarkan ritualnya. Dengan adanya si pengunci di dekat pemilik jiwa dan si pembuka maka jiwa yang ingin dilepaskan akan cepat masuk ke wadahnya, manusia.

“Tiga . . .”

            Siluet-siluet tadi terbang dengan sangat cepat menuju Sari. Hanya butuh waktu beberapa detik hingga akhirnya Sari berteriak. Ia seakan baru saja menenggak ramuan kejujuran. Ia dengan lantang menolak mentah-mentah apa yang diucapkan kakaknya. Tegas sekali ia menjelaskan bahwa keinginannya adalah menjadi penulis dan tidak peduli dengan apapun yang berkaitan dengan mengajar. Sang kakak hanya bisa terpaku. Hari itu menjadi hari yang baru untuk Sari yang baru.




- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Selasa, 11 Februari 2014

PERGURUAN GANESHA : BUYAN SI ANAK BAMBU




Di belakang perguruan Pak Ganesha terdapat sebuah ladang bambu. Bambu tersebut tumbuh sangat subur. Buyan adalah murid yang dipercaya Pak Ganesha merawat bambu-bambu itu hingga ia dijuluki si anak bambu.

Setiap pagi Buyan akan berkunjung ke ladang bambu, memperhatikan serta menyiangi rumput yang berada disekitar bambu. Tidak jarang Buyan membawa beberapa bilah bambu untuk digunakan diperguruan atau rebung dari bambu untuk dimasak oleh Bi Lastri.

Buyan selalu sumringah ketika melihat bambu-bambu tersebut. Membuat beberapa temannya bertanya-tanya.

“Kalian tahu, banyak hal yang bisa kita pelajari dari bambu. Yang pertama dari siklus hidupnya. Empat tahun pertama ditanam, akar-akarnya akan tumbuh subur dan kokoh di bawah tanah. Pada tahun berikutnya barulah batang bambu yang akan menjulang ke langit. Intinya adalah untuk melakukan sesuatu yang luar biasa, kokohkanlah niat sebagai pondasi.” Jelas Buyan mantab mengikuti gaya Pak Ganesha.

“Pelajaran berikutnya adalah bambu merupakan tanaman yang hebat karena bisa ditemukan di daerah mana saja.”

“Nah kalau yang ini aku tahu nih. Intinya kita harus hidup dimana saja kan?”

Safar dan Indah menyoraki Abu yang memotong begitu saja penjelasan Buyan. Buyan hanya tersenyum membiarkan.

“Buyan belum selesai bercerita sudah dipotong begitu saja. Harusnya kau ingat pelajaran yang dikasih Pak Ganesha, jangan mengambil kesimpulan sebelum selesai menyimak dengan baik.” Gerutu Indah.

Buyan sekali lagi tersenyum kemudian menlanjutkan,”benar kata Indah. Yang ingin aku sampaikan adalah bambu bisa hidup dimana saja karena tergolong ke dalam jenis rumput-rumputan. Jangan dipotong dulu Abu. Kalau kau tidak percaya coba cek dibuku sainsmu.”

Safar dan Indah tertawa melihat Abu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Bambu memang unik, jenis rumput yang tidak lazim. Meskipun bisa hidup di daerah mana saja tetapi bentuk dan klasifikasinya sama. Intinya adalah tidak peduli darimanapun kita datang, asalkan kita memiliki karakter yang unik kita pasti akan menjadi orang yang mudah diingat.”

Safar, Indah, dan Abu mengangguk sepakat.

“Pelajaran yang bisa diambil dari bambu selanjutnya adalah bambu memiliki banyak kegunaan. Intinya adalah kita harus hidup sebagai manusia yang berguna.” Jelas Buyan.

“Kalau yang ini aku sangat setuju. Jadi, biarkan aku menjadi sangat berguna dengan membawa rebung ini ke Bi Lastri.”

Abu merampas rebung yang dipegang Indah dan Safar sambil berlari ke arah perguruan. Safar dan Indah yang kaget segera mengejar Abu. Buyan hanya bisa tertawa melihat tingkah ketiga temannya itu.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

PERGURUAN GANESHA : PIRING ARIMBI (VERSI CERPEN)





Gadis berkuncir dua ini bernama Arimbi. Ia tinggal di sebuah rumah mungil bersama sang Ayah. Ada satu sifat Arimbi yang tidak disukai sang Ayah. Arimbi sering mengulang kesalahan yang pernah ia perbuat. Arimbi seperti tidak benar-benar menyesal ketika menyatakan permintaan maaf.

Suatu hari, Arimbi diperkenalkan kepada seorang guru tua bernama Pak Ganesha. Sang Ayah sudah mendengar banyak hal tentang perguruan yang didirikan Pak Ganesha. Metode pembelajaran yang berbeda dari biasanya tidak hanya membuat murid lulusan perguruan ganesha menjadi pintar secara akademik, tetapi juga pintar bertingkah laku dengan baik. Sang Ayah berharap agar sifat buruk Arimbi bisa berubah dengan belajar di perguruan Pak Ganesha.

Hari pertama belajar di perguruan, Arimbi diminta memecahkan setumpuk piring. Arimbi bisa melakukannya dalam waktu yang singkat. Setelah itu, Pak Ganesha memintanya untuk memperbaiki piring-piring tersebut dengan menggunakan sebuah lem. Arimbi kembali menuruti perintah tersebut. Ternyata memperbaiki piring yang telah pecah tidak semudah ketika memecahkannya.

“Lihatlah intinya.” Kata Pak Ganesha.

Arimbi hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Berulang kali dia membolak-balik piring, mencoba mencari tahu apa yang dimaksud Pak Ganesha. Tapi tetap saja dia tidak mengerti.

Sebulan kini telah berlalu. Arimbi masih diminta melakukan hal sama yaitu memecahkan dan memperbaiki piring. Arimbi mulai bosan dengan hal tersebut. Dia selalu menghela napas. Pak Ganesha yang melihat hal tersebut bertanya pada Arimbi apa dia sudah menemukan inti melakukan hal tersebut? Arimbi kembali menggeleng.

Pak Ganesha mendekati Arimbi, memandang piring yang meninggalkan jejak retak.

“Muridku Arimbi, inti dari semua ini sama dengan perilakumu selama ini. Melakukan kesalahan tidak semudah meminta maaf. Namun, dengan meminta maaf maka kesalahan yang telah diperbuat setidaknya bisa diperbaiki. Sama halnya dengan merekatkan piring yang telah pecah. Tetapi, jika kata maaf tidak disertai dengan penyesalan yang tulus maka permintaan maaf itu tidak akan ada artinya. Seperti piring-piring yang telah diperbaiki dan kembali pecah. Tidak dapat digunakan lagi, hanya dapat melukai orang yang menyentuhnya.”

Arimbi tertunduk. Ia mengerti apa yang dikatakan Pak Ganesha.

“Muridku Arimbi. Kau bisan melakukan ini semua bukan? Sama halnya dengan mereka yang melihat perilakumu.”

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..

Sabtu, 01 Februari 2014

PANTAS


Pertemuan pertama kami bisa dibilang sangat memalukan. Aku menuduhnya sebagai penyusup di rumahnya sendiri. Saat itu umur kami sekitar 6 tahun. Ibuku bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahnya. Wajahnya yang kebingungan mendengar teriakanku masih membekas hingga saat ini. Namanya adalah Adis. Putri pengusaha ternama di kotaku. Adis adalah gadis yang mempesona. Perangainya yang berkilau tampak serasi membalut fisiknya yang indah. Tanpa sadar aku jatuh hati. Aku menghabiskan hampir sebagian besar masa kecilku dengannya. Kami selalu bersama apalagi ke dua orang tuanya dengan baik hati menyekolahkanku di tempat Adis bersekolah.

Aku selalu berusaha untuk membuat posisiku sejajar dengan Adis. Aku berusaha mendapatkan nilai yang bagus. Sembunyi-sembunyi mempelajari berbagai macam hal yang Adis pelajari. Sudah menjadi kebiasaan bahwa putri seorang pengusaha harus menghabiskan waktu untuk kursus ini dan itu. Pernah sekali Adis mengajakku mengikutinya masuk ke kelas kursus, ketika saat itu pula aku sadar perbedaan lingkungan kami. Beberapa kumpulan anak tampak sibuk dengan berbagai macam benda elektronik yang sama sekali belum pernah ku sentuh. Sejak saat itu aku berjanji pada diriku sendiri agar suatu hari kelak bisa mandiri, punya usaha sendiri dan membuat posisiku sejajar dengan mereka.

Akhirnya ketika berumur 21, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di kota lain. Ibuku yang sudah tua pun berhenti bekerja. Perpisahan pertama kami. Aku ingat sekali wajah Adis yang sendu. Jemari kecilnya mencoba menahan tanganku. Aku harus kuat. Aku ingin memantaskan diri.
Tahun pun terus berganti, komunikasi yang aku jalin dengan Adis terputus tepat disaat aku menerima beasiswa keluar negeri. Cobaan berikutnya, tetapi sekali lagi aku berusaha kuat.

Tahun pun berganti tanpa terasa.

Hari ini adalah pertemuan pertama kami setelah perpisahan yang sangat panjang. Adis tumbuh menjadi gadis yang lebih mempesona. Kami janjian bertemu di café yang tak jauh dari kantorku. Akhirnya aku bisa menunjukkan ini semua padanya. Statusku sudah sejajar dengannya. Aku bercerita panjang lebar tentang perusahaan yang aku pegang saat ini. Adis mendengarkan dengan baik.

“Mungkin . . . .” perkataanku mulai tersendat, aku sudah menantikan momen ini sejak tadi.

Adis menghentikan suapan spaghetti.

“Mungkin ini saat em . . . maksudku . . . aku sudah berusaha sebaik mungkin agar sejajar denganmu. Aku . . . mencoba memantaskan diri. Aku yang sekarang . . . apa kamu . . . apa Adis mau menerima ini?”

Tanganku gemetar mengeluarkan box berisi cincin emas putih. Aku tidak berani menatap Adis.

Satu detik

Dua detik

Adis tertawa. Aku mengangkat wajah.

“Selama ini . . . .” Adis sedikit menghela napas, “aku juga berusaha memantaskan diriku. Adis si putri istana. Kadang aku merasa benci mendengar hal itu. Kau tahu Ram, aku berusaha memasak, mencuci, bahkan melakukan semuanya agar bisa hidup bersama denganmu. Kepergianmu lah yangmembuatku sadar.”

Aku terkejut mendengar hal itu.

Adis tersenyum cantik sekali lalu berkata, “aku menerimanya.”

"Ketika proses memantapkan diri telah siap, tahap selanjutnya adalah keberanian untuk melangkah maju apa pun jawabannya."

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Read More..