Sabtu, 01 Februari 2014

PANTAS


Pertemuan pertama kami bisa dibilang sangat memalukan. Aku menuduhnya sebagai penyusup di rumahnya sendiri. Saat itu umur kami sekitar 6 tahun. Ibuku bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahnya. Wajahnya yang kebingungan mendengar teriakanku masih membekas hingga saat ini. Namanya adalah Adis. Putri pengusaha ternama di kotaku. Adis adalah gadis yang mempesona. Perangainya yang berkilau tampak serasi membalut fisiknya yang indah. Tanpa sadar aku jatuh hati. Aku menghabiskan hampir sebagian besar masa kecilku dengannya. Kami selalu bersama apalagi ke dua orang tuanya dengan baik hati menyekolahkanku di tempat Adis bersekolah.

Aku selalu berusaha untuk membuat posisiku sejajar dengan Adis. Aku berusaha mendapatkan nilai yang bagus. Sembunyi-sembunyi mempelajari berbagai macam hal yang Adis pelajari. Sudah menjadi kebiasaan bahwa putri seorang pengusaha harus menghabiskan waktu untuk kursus ini dan itu. Pernah sekali Adis mengajakku mengikutinya masuk ke kelas kursus, ketika saat itu pula aku sadar perbedaan lingkungan kami. Beberapa kumpulan anak tampak sibuk dengan berbagai macam benda elektronik yang sama sekali belum pernah ku sentuh. Sejak saat itu aku berjanji pada diriku sendiri agar suatu hari kelak bisa mandiri, punya usaha sendiri dan membuat posisiku sejajar dengan mereka.

Akhirnya ketika berumur 21, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah di kota lain. Ibuku yang sudah tua pun berhenti bekerja. Perpisahan pertama kami. Aku ingat sekali wajah Adis yang sendu. Jemari kecilnya mencoba menahan tanganku. Aku harus kuat. Aku ingin memantaskan diri.
Tahun pun terus berganti, komunikasi yang aku jalin dengan Adis terputus tepat disaat aku menerima beasiswa keluar negeri. Cobaan berikutnya, tetapi sekali lagi aku berusaha kuat.

Tahun pun berganti tanpa terasa.

Hari ini adalah pertemuan pertama kami setelah perpisahan yang sangat panjang. Adis tumbuh menjadi gadis yang lebih mempesona. Kami janjian bertemu di café yang tak jauh dari kantorku. Akhirnya aku bisa menunjukkan ini semua padanya. Statusku sudah sejajar dengannya. Aku bercerita panjang lebar tentang perusahaan yang aku pegang saat ini. Adis mendengarkan dengan baik.

“Mungkin . . . .” perkataanku mulai tersendat, aku sudah menantikan momen ini sejak tadi.

Adis menghentikan suapan spaghetti.

“Mungkin ini saat em . . . maksudku . . . aku sudah berusaha sebaik mungkin agar sejajar denganmu. Aku . . . mencoba memantaskan diri. Aku yang sekarang . . . apa kamu . . . apa Adis mau menerima ini?”

Tanganku gemetar mengeluarkan box berisi cincin emas putih. Aku tidak berani menatap Adis.

Satu detik

Dua detik

Adis tertawa. Aku mengangkat wajah.

“Selama ini . . . .” Adis sedikit menghela napas, “aku juga berusaha memantaskan diriku. Adis si putri istana. Kadang aku merasa benci mendengar hal itu. Kau tahu Ram, aku berusaha memasak, mencuci, bahkan melakukan semuanya agar bisa hidup bersama denganmu. Kepergianmu lah yangmembuatku sadar.”

Aku terkejut mendengar hal itu.

Adis tersenyum cantik sekali lalu berkata, “aku menerimanya.”

"Ketika proses memantapkan diri telah siap, tahap selanjutnya adalah keberanian untuk melangkah maju apa pun jawabannya."

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do u think, say it !