Rabu, 12 Februari 2014

LOCK [1]


Hai, aku adalah si pembuka. Aku membawa sebuah benda berharga kemana-mana. Kunci pembuka jiwa, begitu mereka menyebutnya. Tugasku adalah mengeluarkan jiwa-jiwa kelam agar dapat kembali pada wadahnya, manusia.

Halo, aku adalah si pengunci. Aku telah mengunci banyak sekali jiwa kelam di dalam tubuhku. Tugasku adalah menjaga agar jiwa-jiwa tersebut tidak kembali pada wadahnya, manusia.

*

Ini adalah catatan perjalanan si pembuka dan pengunci melepaskan jiwa-jiwa. Ada yang berjalan mudah dan tak jarang berjalan sangat sulit. Kadang mereka berdebat dan kadang saling membantu. Mari kita mulai.

*

TERIAKAN SARI

            Alarm berbunyi nyaring di rumah si pengunci. Ada sebuah kedip jingga di salah satu kotak bernama.
“Tugas!”

Si pengunci berseru nyaring. Ia melempar serbuk berkilau ke udara dan tring . . . seketika itu juga ia menghilang.

Tiga hari yang lalu . . .

Suasana sekolah sudah mulai sunyi. Beberapa menit yang lalu, tepat ketika bel berbunyi para siswa berlarian meninggalkan ruang kelas. Menyisakan para guru di ruangan mereka. Merapikan tumpukan kertas ulangan dan sedikit berbincang mengenai kelakuan siswa masing-masing. Sementara itu dibeberapa ruang kelas tampak siswa yang sibuk memegang sapu, melaksanakan tugas piket harian. Ada yang mengangkat bangku ke atas meja, membersihkan papan tulis, serta membuang sampah ke bak pembuangan. Setiap anak memiliki tugasnya masing-masing. Namun di salah satu kelas, terlihat seorang gadis berambut ikal yang melakukan semua tugas tadi sendirian. Dua puluh bangku diangkatnya dengan sekuat tenaga. Setelah itu tangannya mulai cekatan menyapu lantai. Sesekali ia menghela napas. Kejadian ini tidak hanya terjadi sekali tetapi berkali-kali.

“Sari, hari ini aku harus menemani mama ke pasar. Gantian kamu yang piket ya.”

“Sari, aku harus buru-buru pulang. Ada hal penting yang harus aku lakukan.”

Selalu saja teman-temannya memiliki alasan untuk meninggalkan tugas piket. Sebenarnya Sari ingin sekali berkata bahwa ia keberatan jika harus melakukan semuanya sendiri. Namun pada akhirnya yang keluar dari mulutnya adalah kata yang meng-iya-kan ini semua terjadi.

“Kenapa sih susah banget bilang tidak?” Gumam Sari pada dirinya sendiri.
“Kau saja yang kurang berusaha.”Jawab si pembuka.

Sejak tadi ia duduk di atas meja, dekat dengan posisi Sari berdiri. Tentu saja Sari tidak dapat melihat bahkan mendengar perkataan si pembuka barusan.

            Sari Lulanita. Nama itu yang muncul pada kotak tugas miliki si pembuka. Kali ini ia harus melepaskan jiwa kelam gadis itu. Ya, setiap orang pasti punya satu sisi kelam di dalam dirinya. Hampir sebagian besar sisi kelam itu terkunci rapat-rapat. Tidak semua sisi kelam bersifat buruk karena ada beberapa bagian dari sisi itu yang sengaja terkunci untuk menunggu waktu yang tepat.

            Hampir sejam Sari membersihkan ruang kelas sendirian sebelum akhirnya ia bisa pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, Sari menerima sebuah pesan singkat dari sang kakak untuk membeli susu coklat di sebuah toko.

“Aku harus jalan memutar dong, kan jauh!” Gerutu Sari sambil menekan balasan yang tentu saja berbeda dari gerutuannya barusan.

“Anak ini aneh sekali.” Si pembuka memutar bola matanya bingung.
*
Sudah dua hari si pembuka mengikuti Sari. Ia mengamati segala tingkah laku Sari untuk mencari pemicu yang bisa membuatnya mendapatkan kunci pembuka jiwa. Memang hanya si pembuka yang bisa melepaskan jiwa-jiwa tersebut, tetapi ia juga membutuhkan sebuah ‘ijin’ dari si pemilik jiwa. Oleh karena itu, ia selalu memantau setiap jiwa yang ingin dilepaskannya. Biasanya di saat seperti ini, si pengunci akan muncul dan mencoba menghentikannya. Namun entah kenapa sejak hari pertama memantau, si pengunci tidak juga menampakkan dirinya.

“Sari! Sari!” Sang Kakak menepuk tangannya di depan wajah Sari.

“Eh kenapa Kak?”

“Ck! Tahun ini kan kamu sudah lulus sekolah menengah atas, Ayah nanya kamu mau lanjut kuliah di jurusan apa?”

“Eh . . . itu . . .”

“Kuliah yang sama denganku saja.” Sang Kakak memotong dengan cepat.

“Sania, biarkan adikmu yang menjawab.” Sang Ayah mencoba menengahi.

“Sari pasti mau kok. Buktinya Sari sering bantuin Sania ngajar murid-murid yang les. Itu tandanya Sari juga mau kuliah pendidikan bahasa sama kayak Sania.”

“Enak saja! Aku mau jadi penulis! Selama ini aku bantuin Kak Sania karena kasihan melihat Kak Sania repot. Tidak lebih.”

“Nanti Sari pikirkan lagi.” Akhirnya sebaris kalimat itulah yang keluar dari mulutnya.

“Tuh, apa kata Sania. Sari pasti mau kuliah di tempatnya Sania. Tenang saja, pasti Kakak bantu.”
“Gak usah. Terima kasih.”

“I-i-iya Kak.” Sekali lagi kata yang keluar berbeda dari apa yang terucap dihatinya.

            Si pembuka tersenyum puas. Kejadian di meja makan malam itu membuatnya tahu apa yang harus dilakukan.
*
Hari ke tiga. Si pembuka memutuskan untuk melepas jiwa kelam milik Sari di hari ini juga. Tidak seperti tugas yang ia dapat sebelumnya, yang butuh waktu hingga sebulan untuk memantau. Tugas kali ini termasuk mudah.

“Namamu sudah aku masukan ke daftar mahasiswa baru di kampus ku loh Sar.” Sang Kakak membuka pembicaraan.

“Nah ini dia.” Si pembuka menggerakkan ke dua kupingnya.

“Apa!”

Sari yang sejak tadi asyik menulis, berteriak kaget.

“Ih biasa aja kali. Kakak tahu kamu pasti senang. Bla bla blab la . . .”

Sari tidak sanggup lagi mendengar setiap kalimat yang diucapkan kakaknya. Selama ini dia sudah berusaha keras untuk menekan teriakan penolakan. Entah itu dari teman, kakak, atau bahkan ke dua orang tuanya.

            Sari bisa bertahan dengan berlari ke dunia menulis. Dimana ia bisa menumpahkan apa yang sebenarnya ada di kepalanya. Tapi entah kenapa, sejak dua hari yang lalu ia merasa ada sebuah hasrat untuk memberontak. Ia ingin sekali berteriak pada semua orang tentang apa yang sebenarnya ia rasa dan pikirkan. Seperti ada sebuah arwah aneh yang merasuki tubuhnya. Memaksa satu sosok lain di dalam dirinya untuk keluar.

“Satu . . .”

Si pembuka memutar badannya yang bulat di udara. Ritual membuka jiwa sudah mau ia mulai.

“Dua . . .”

Ke dua telinganya yang panjang bersinar terang. Ada siluet-siluet yang terpancar dari sana bagaikan kolase yang terbang.

PLOP!

Tepat di saat si pembuka ingin mengucapkan kata ‘tiga’, si pengunci muncul di hadapannya.

“Kenapa kau muncul disaat seperti ini?” Gerutu si pembuka.

“Hoam. Lanjutkan saja. Aku tidak peduli sama yang satu ini.” Kata si pengunci santai.

            Jangan bayangkan mereka akan bertengkar. Meskipun memiliki tugas yang berbeda dan sering berdebat, sebenarnya mereka adalah dua sahabat karib. Terkadang si pengunci membantu si pembuka untuk melepaskan beberapa jiwa. Dan kadang si pembuka mengurungkan niatnya untuk membuka jiwa. Sepertinya tugas kali ini menjadi sangat mudah karena si pengunci memutuskan untuk muncul di saat terakhir. Membantu si pembuka melancarkan ritualnya. Dengan adanya si pengunci di dekat pemilik jiwa dan si pembuka maka jiwa yang ingin dilepaskan akan cepat masuk ke wadahnya, manusia.

“Tiga . . .”

            Siluet-siluet tadi terbang dengan sangat cepat menuju Sari. Hanya butuh waktu beberapa detik hingga akhirnya Sari berteriak. Ia seakan baru saja menenggak ramuan kejujuran. Ia dengan lantang menolak mentah-mentah apa yang diucapkan kakaknya. Tegas sekali ia menjelaskan bahwa keinginannya adalah menjadi penulis dan tidak peduli dengan apapun yang berkaitan dengan mengajar. Sang kakak hanya bisa terpaku. Hari itu menjadi hari yang baru untuk Sari yang baru.




- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do u think, say it !