Selasa, 11 Desember 2012

PENGHUNI RUMAH

Ibu mendadak sms, dilihat dari cara sms sih ada yang gawat. Yo wess, sebagai anak yang baik saya langsung telpon ke rumah.

tut tut . . .
sambungan terputus

Sinyal di kamar memang rada menyebalkan. Pindahlah saya ke teras depan. 

tut tut . . .

"Assalamualaikum . . . lama sekali gak ada kabar nih anak . . ."

Ibu mulai petuah panjang sebagai prolog telpon hari ini. Saya cuma bisa bilang ya, tidak, kenapa, terus? selalu seperti itu.

"Dari kemarin Fitri telpon tapi dimatiin mulu, kirain pada sibuk"

"Ibu salah mencet tombol reject"

Ibu tertawa renyah diseberang sana. Ada-ada saja. Tapi terdengar dari suara tertawa tadi sepertinya Ibu mulai sehat dan bersemangat. Perasaan lega menghampiri. Dulu sewaktu Ibu kesini untuk menghadiri wisuda, Ibu sakit-sakitan. Lebih tepatnya sih banyak pikiran. Ibu paling sayang sama makhluk kecil di rumah, Fahruji Dwi Nugroho, satu-satunya adik lelaki saya. Pisah dari anak itu dan tidak ada kerjaan di sini ternyata membebani pikiran Ibu.

Memang sudah terbagi-bagi kali ya, saya paling dekat dengan Ayah sementara si adik lebih dekat dengan Ibu. Tapi masalah kejahilan, keluarga ini kompak sekali.

Masih teringat jelas ketika saya masih tinggal di rumah bersama mereka. Selepas magrib, kami  hampir selalu menghabiskan waktu untuk menonton televisi. Saya dan si Uji (adik saya) suka mengganggu Ibu, saling memberikan kode dengan kerlingan mata. Mendekati Ibu dan memencet hidung. Tertawa keras-keras hingga tersedak. Kadang Ayah juga ikut-ikutan mengganggu dengan memanggil Ibu "Nyonya".

Tak jarang pula saya dan Uji bertengkar. Saling piting. Cubit. Tapi bisa dipastikan sayalah yang menang.

"Kakak Fit curang, mukulnya pake jurus karate."

Uji cuma bisa bersungut-sungut di bawah pitingan saya. Salah sendiri terlalu nakal. Uji tipikal adik yang manja dan saya selalu jadi pembelanya hingga dijuluki nenek sihir oleh beberapa anak kompleks. Gimana tidak, wajah sangar, omongan tajam, jarang sekali tersenyum. Itu dulu, ketika saya benci sekali dengan anak-anak nakal.

"Nih si prosefor kabilator kotor mau bicara"

Telpon genggam beralih ke tangan Ayah. Orang rumah selalu menggunakan sebutan aneh untuk memanggil satu sama lain. Saya terkadang memanggil Ayah dengan sebutan Bapak, Pak Lurah, Om, Pace, Kumis, Pace Ambai, Kakek, dan lain-lain. Bukannya tidak hormat, tapi beginilah cara keluarga kami dekat satu sama lain. Saya juga sering dipanggil Nenek, Indo', Pitte, Tri, Kurus oleh Ayah, Ibu, atau si botak Uji.

"Assalamualaikum, selamat malam, selamat sore, selamat berbahagia . . ."

Saya cuma bisa tersenyum kecil. Ayah memang selalu lucu.

"Waalaikumsalam, Hallo ada apa Yah minta Tri telpon ke rumah?"

"Besok tanggal 12 kan?"

"Iya, kenapa" saya mulai curiga

"Buruan nikah, mau kiamat loh"

Segera Ibu dan adik yang mendengar percakapan itu tertawa. Iseng sekali mereka hari ini. Percakapan pun mulai merambah kemana-mana dan saya cuma bisa nyengir sambil berpikir sudah setua inikah saya?

*


Hallo, saya kangen suasana rumah. Saya kangen bangun pagi menatap Ayah yang merebus air panas sementara Ibu menggoreng pesanan kue dan Uji sibuk menata buku pelajaran. Saya kangen suasana  heboh rumah kecil kita. Rumah persegi yang hanya berisi empat orang dengan berbagai macam hewan, mulai dari kucing, hamster, ikan, merpati, perkutut, ayam berbagai jenis, kalkun, entok, bebek, dan sebagainya.

Saya kangen kalian.


- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

what do u think, say it !