Senin, 09 Juli 2012

JANJI - JANJI AYAH V


V

Ayah sedang asyik membaca koran hari ini sambil menikmati secangkir kopi hitam di taman depan rumah. Dari dapur aku bisa melihat wajah Ayah yang semakin menua. Tak jauh dari Ayahku duduk, pria lain yang kusayangi pun sedang menikmati secangkir kopi sambil membaca koran. Mereka berdua tampak menikmati dunia sendiri.

“Aku mau masuk dulu” suara kaku pria yang kusayangi terdengar jelas.

Pria itu berjalan ke arahku sambil tersenyum masam. Aku tahu dia tidak nyaman dengan kehadiran Ayah di rumah kami tapi aku tidak bisa berbuat banyak. Sejak Ibu dirawat di rumah sakit, Ayah tidak bisa ditinggal sendiri. Di usianya yang semakin senja Ayah juga memerlukan perhatian khusus dan sebagai anak semata wayangnya, aku harus melakukan hal tersebut meskipun rasa engganku telah menggerogoti hatiku.

“Katamu hanya dua hari” pria yang kusayangi menarikku ke dalam kamar dan mulai marah.

“Mau bagaimana lagi, aku kira Ayah bakal pergi dengan sendirinya tapi ternyata Ayah masih betah disini. Lagipula kita gak bisa biarin Ayah tinggal sendirian, bagaimanapun juga dia masih Ayahku dan mertuamu”

“Alasan ! Kamu kan bisa bilang sama Ayah kalau kamu gak betah Ayah disini. Kita pengantin baru, sudah seharusnya Ayahmu itu mengerti !!” suaranya mulai meninggi.

“Pelankan sedikit suaramu”

“Biarkan saja !! Supaya Ayahmu bisa dengar semuanya. Sudah sejak awal dia tidak setuju hubungan kita !! Aku yakin sekarang Ayahmu disini karena ingin memisahkan kita !” dia mulai berteriak.

“Tolong jangan bicara seperti itu tentang Ayah” airmataku mulai menetes.

“Kenapa? Bukannya kamu juga bosan dengan tingkah Ayahmu itu? Bosan dengan semua janji – janjinya?”

Aku terdiam. Memang benar aku bosan dengan semua janji Ayah dan merasa kecewa dengan janji – janji itu tetapi Ayah tetaplah Ayah.

“Sudah berhenti menangis” dia menarik tanganku dengan kasar.

Tok tok tok . . .

“Flora?” suara Ayah terdengar lembut menyapa dari depan pintu.

Aku berlari dengan cepat ke arah pintu sambil menghapus jejak airmata yang tadi sempat mengalir.

“Ada apa Yah?” aku mencoba berbicara dengan intonasi yang tenang.

“Ayah mau pulang ke rumah. Kata dokter Ibumu sudah bisa dirawat di rumah. Maaf Ayah telah merepotkan kamu”

Sebuah tas besar telah tersampir dibahu Ayah. Sepertinya Ayah mendengar pertengkaran kami tadi.

“A-Ayah”

“Sudah tenang saja, Ayah bisa pulang sendiri kok”

Sepi. Siluet Ayahpun menghilang dengan cepat. Rasa hampa menyergap ke dalam ragaku. Kenangan dan rasa seperti ini pernah ku alami dulu.

*

Membiarkan semuanya berjalan dengan semestinya malah membuat hidupku terasa semakin suram. Bayangan Siska di dalam hidupku semakin terasa. Di rumah, Ibu selalu mengutamakan Siska sedangkan didalam lingkaran persahabatan kami James lebih memilih Siska dibanding aku. Dan hanya menunggu waktu yang tepat hingga akhirnya James benar – benar memilih Siska sebagai pendamping hidupnya.

“Ini akibatnya berdamai dengan keadaan !!” aku mulai membenci perkataan Ayah.

“Semua pasti ada hikmahnya Ra” Alvin selalu mencoba menenangkanku.

“Iya memang ada ! Aku tidak boleh berhenti membenci Siska. Dia sudah merebut semuanya dariku” aku berteriak marah dan meninggalkan Alvin terpaku sendirian di taman.

Hari berganti hari, masa kuliahku terlewati dengan berkonsentrasi mengalahkan Siska serta merebut semua hakku yang diambilnya. Aku mulai berhenti berbicara kepada Ayah dan Alvin mengenai semua rencanaku. Menurutku itu percuma karena mereka akan selalu memintaku untuk berdamai dengan keadaan, bersikap bijak, atau apapun itu. Omong kosong.

Sekarang yang aku yakini adalah aku harus merebut kebahagiaanku sendiri. Cara apapun akan ku tempuh. Pertama, aku harus merebut kasih sayang Ibu dari Siska. Untuk mewujudkan hal tersebut aku selalu mencoba bersikap semanis mungkin terhadap Siska agar Ibu bisa sedikit bersimpati padaku. Prestasiku di kampus juga harus aku tingkatkan agar Ibu semakin senang dan bangga padaku melebihi Siska.

Bersikap baik pada Siska membuahkan hasil yang sangat bagus. Siska sangat mempercayai aku sehingga aku dengan mudah bisa menghancurkan semua rencananya. Menghancurkannya dari dalam jauh lebih gampang dan menyakitkan. Lagipula, dia tidak akan pernah menyangka aku yang kemudian akan menghancurkan hidupnya.

Rencana pertamaku untuk meraih cinta Ibu telah berjalan sukses, dan rencanaku untuk merebut James pun telah berjalan dengan mulus bahkan sebelum aku menjalankan rencana tersebut. Belakangan ini Siska dan James sering sekali bertengkar entah apa alasannya. Yang jelas James selalu mencariku untuk berbagi keluh kesah. Tidak ada yang lebih indah dibandingkan hal ini.

“Sudah ada waktu untuk Ayah?” Ayah menerobos begitu saja ke dalam kamar.

Sudah hampir empat tahun aku tidak berbincang banyak dengan Ayah. Aku selalu berlari dan mencari alasan untuk tidak berbicara berdua saja dengan Ayah. Entah sejak kapan cara Ayah berbicara padaku pun berubah. Dulu Ayah selalu menyebut namaku seolah aku masih gadis kecilnya namun sekarang Ayah memperlakukanku selayaknya anak gadisnya yang telah dewasa.

“Eh ada apa Yah?”

“Pola hidupmu semakin berubah sejak kamu dewasa. Alvin sering menanyakan kabarmu. Sekarang dia sudah bekerja di perusahaan ternama di Amerika”

“Baguslah” kataku singkat.

“Kenapa kamu tidak pernah menghubunginya lagi?” Ayah mencoba bertanya sambil meneliti koleksi bukuku, seperti kebiasaan Ayah selama ini.

“Aku sibuk Yah”

“Sibuk apa menghindar?”Ayah menatapku sekilas lalu beralih ke jejeran buku,” Ayah tahu kamu menghindari Ayah dan Alvin karena kita selalu menasehatimu untuk tidak melakukan hal yang aneh – aneh terhadap Siska”

“. . . .”

“Apa yang selama ini Ayah katakan padamu hanya angin lalu?”

“Aku . . . aku tidak mengerti apa kata Ayah” jawabku gugup.

“Kamu mengerti, sangat mengerti. Ayah sudah berjanji untuk mengembalikan langkahmu yang berbelok ke jalan yang salah. Sejauh ini Ayah lihat, kamu telah berjalan ke arah yang salah. Siska tidak seburuk apa yang bergejolak dipikiranmu.”

Sekarang Ayah membela Siska? Aku tersentak dengan pernyataan Ayah itu.

“Ayah juga berjanji untuk membiarkan aku meraih kebahagiaanku” desisku menahan marah.

“Tapi ini bukan kebahagiaan yang sebenarnya. Flora, coba gunakan hatimu untuk melihat ini semua”

“Ayah sudah janji !! Ayah sudah janji untuk membiarkan aku meraih kebahagiaanku dan inilah caraku” amarahku mulai tersulut.

Ayah menghela napas dan memandangiku dengan tatapan sedih. Aku tidak tahan melihat tatapan mata itu. Aku memilih menundukkan pandanganku.

“Baiklah. Tapi kamu harus ingat, kebahagiaan yang terbentuk dengan merebut kebahagiaan orang lain bukanlah kebahagiaan sejati. Itu hanyalah napsu belaka. Dan Ayah minta, jauhi James. Kamu tidak tahu seberapa busuknya dia. Siska sudah menceritakan semuanya pada Ayah”

Aku mengepalkan tanganku. Tahu apa Ayah tentang kebahagiaanku? Bukankah selama ini justru Siska yang telah merebut semuanya dariku? Kenapa Ayah melarangku mendekati James? Entah apa yang telah Siska katakan hingga sekarang Ayah berpihak padanya.



continue . . .

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -

2 komentar:

  1. ini flashback ya? oh jadinya flora nikah dengan james. tapi kayaknya bagian ini terlalu cepat alurnya.

    BalasHapus
  2. setuju sama bang uz-ay. tapi tetep keren. gue aja belum tentu bisa nulis kayak gini.hehehe

    BalasHapus

what do u think, say it !