Kamis, 05 Juli 2012

JANJI - JANJI AYAH IV


IV



Kata orang, cinta pertama adalah cinta yang paling sulit dilupakan. Dia menelisik jauh ke dalam hati kita secara perlahan, tanpa kita sadari. Itulah yang terjadi padaku ketika bertemu dengan seorang lelaki di tempat kursusku. Nama lelaki itu adalah James Aji Wijaya. Seorang lelaki blasteran Belanda – Jawa yang terlihat begitu bersinar dimataku.

“Ganteng banget” desisku saat James melintas dan melambaikan tangannya padaku.

“Iya udah tahu. Kalau dihitung – hitung udah hampir seribu kali kamu ngomong kayak gitu Ra” Alvin menanggapi dengan sinis.

Ah aku hampir lupa, entah bagaimana caranya berminggu – minggu kemudian aku dan Alvin menjadi sangat dekat. Awalnya hal tersebut membuahkan gosip tak sedap di area sekolah. Banyak yang mengatakan jika hubunganku dengan Alvin melebihi hubungan pertemanan namun seiring berjalannya waktu, gosip tersebut hilang selayaknya debu yang terbawa oleh angin.

Lagipula sejak awal memang aku telah berjanji untuk tidak menyukai Alvin melebihi rasa sukaku terhadap seorang teman atau sahabat. Sikap Alvin yang mirip dengan Siska membuatku takut untuk menjalin hubungan lebih dengannya. Dan sekarang aku telah memilih tambatan hati sendiri, James.

“Bagaimana kabar pangeran Belandamu?”

“Makin matang Yah, ternyata dia pintar banget” jawabku bersemangat.

Mungkin ini terdengar aneh tetapi aku lebih suka membagi ceritaku dengan Ayah dibanding beberapa sahabatku. Masalah apapun pasti akan ku ceritakan kepada Ayah, termasuk masalah hati. Ayah selalu bisa memberikan tanggapan baik akan hal yang aku ceritakan. Terkadang Ayah bersikap selayaknya sahabat yang memeluk segala ceritaku dengan santai namun terkadang Ayah bersikap selayaknya seorang kepala keluarga yang ingin menjaga putri kecilnya.

“Baguslah, jadikan itu penyemangat buat belajar. Ingat, Flora sudah kelas tiga dan sebentar lagi mau UAN. Fokus sama masa depan dulu” sepertinya malam ini Ayah berperan sebagai seorang Ayah.

“Kan cinta juga ada hubungannya sama masa depan Yah” kataku sambil nyengir.

“Ya sudahlah, nanti kalau sibuk Flora juga bakal lupain masalah ini”

Sekali lagi Ayah benar. Semenjak mempersiapkan diri menghadapi UAN, aku mulai berhenti memikirkan James dan segala macam hal yang berkaitan dengannya. Aku fokus untuk meraih prestasi sekali lagi dan membuat bangga Ayah. Ayah, Ibu, Alvin, bahkan James banyak membantuku. Rasanya sangat menyenangkan memiliki orang – orang yang selalu memberikan energi positif padamu. Segala sesuatu yang terlihat menakutkan berubah menjadi mudah seketika itu juga.

Dan pada akhirnya hari – hari berat pun terlewati dan masa indah kembali menghampiriku sekali lagi. Aku diterima disebuah perguruan tinggi ternama di kotaku bersama dengan Alvin dan juga James. Aku, Alvin, dan James menjadi tiga sahabat yang tidak terpisahkan. Rasa cintaku pada James kini tumbuh semakin besar. Mungkin dulu karena kesibukan yang ada aku bisa sedikit melupakan masalah ini, namun seiring berkembangnya waktu aku menyadari satu hal bahwa rasa ini tumbuh semakin dalam dan mengakar kuat.
Awalnya aku merasa tidaklah mengapa jika rasa ini tidak tersampaikan pada James selama aku masih bisa melihatnya dari jarak dekat dan menjadi orang pertama yang mengetahui semua tentangnya. Namun, kehadiran Siska di rumahku sekali lagi membuat aku tidak bisa berdiam diri saja.

*

“Siska sering ngirim email ke Flora kok, tapi tidak pernah ada balasan. Siska pernah sesekali telpon ke rumah, cuma diangkat sekilas terus sambungannya terputus. Siska pikir Ibu sekeluarga lagi sibuk makanya Siska mutusin gak hubungi ke rumah lagi” Siska menjelaskan panjang lebar kepada Ibu yang tadi mengatakan kekecewaannya.

Aku menghela napas dari sudut ruangan, berharap kehadiran Siska hanyalah mimpi belaka. Tetapi ketika melihat tatapan tajam Ibu, aku sadar ini adalah kenyataan. Kenyataan yang teramat pahit.

“Flora, kenapa kamu tega berbohong sama Ayah dan Ibu?” Ayah mendekatiku sambil berbisik perlahan.

“Ayah tahu kan kalau Flora gak suka sama dia” aku melemparkan pandanganku pada Siska yang masih asyik bercerita.

Ayah terlihat kaget dengan penyataanku.

“Ayah kira Flora sudah berdamai dengan keadaan”

“Flora memang sudah berdamai dengan keadaan tapi Flora tidak bisa berdamai dengan rasa sakit hati”

Aku melengos begitu saja setelah mengatakan hal itu. Masa bodoh jika akhirnya Ayah atau Ibu akan memarahiku. Aku hanya ingin mereka sadar bahwa aku tidak suka Siska merebut semua yang telah aku miliki saat ini.

“Siska ada disini” aku berbisik perlahan di telepon.

Selain Ayah, aku masih memiliki Alvin yang telah tahu semua ceritaku tentang Siska dan rasa sakit yang tanpa sengaja dia ciptakan. Meskipun suka pada James, aku lebih memilih untuk bercerita kepada Alvin.

“Ya udah biarin aja. Jangan sampai rasa kesalmu bikin semuanya hancur. Kamu kan sudah berubah banyak dan jadi jauh lebih hebat dibanding Siska” suara Alvin terdengar berapi – api dari seberang.

Aku hanya bisa tersenyum simpul menanggapi komentar Alvin. Sejam kemudian terlewati dengan semua curhatan kekesalanku. Alvin yang sesekali ku ejek memiliki perangai yang mirip dengan Siska menanggapi semuanya dengan bijak dan bagiku ini sangat aneh.

“Obrolan dengan Alvin masih mau berlanjut?”

Teguran Ayahlah yang membuat sambungan itu terputus. Ayah masuk ke dalam kamarku sambil tersenyum ramah, selalu seperti itu.

“Kalau Ayah mau memarahi Flora, silahkan saja” kataku kesal.

“Ayah gak mau marah kok” tangan Ayah menarik sebuah buku tebal dari jejeran rak buku,”kamu sudah pernah baca buku ini kan?”

Ayah menunjukkan sampul buku tebal tersebut. Buku bersampul cokelat lusuh itu terlihat sedikit berdebu. Terakhir kali aku membaca buku itu adalah ketika SMP tapi aku masih mengingat dengan jelas apa isi buku tersebut. Buku itu bercerita tentang seorang pengembara yang suka sekali membohongi penduduk desa dan pada akhirnya meninggal karena kebohongannya sendiri.

“Masih ingat ceritanya?”Ayah kembali bertanya.

Sepertinya aku tahu kemana arah pembicaraan Ayah. Aku pun mengangguk pasrah, apapun yang akan Ayah katakan nanti sebaiknya aku terima.

“Untunglah Flora masih ingat. Ayah takut Flora berubah menjadi sang pengembara.”

“Maafkan Flora”

“Iya, sudah Ayah maafkan. Ayah tahu Flora masih sakit hati dengan kedekatan Ibu dan Siska, tapi coba Flora sedikit berbesar hati. Siska sudah kehilangan seluruh anggota keluarganya, dia hanya memiliki kita. Coba bayangkan kalau Flora berada diposisi Siska, apa yang Flora rasakan jika keluarga tempat bertumpu Flora bersikap seperti sikapnya Flora ke Siska?”

Bulir airmata perlahan menetes dipipiku. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padaku jika kehidupanku dan Siska ditukar. Rasanya pasti sulit dan sedih sekali. Ayah mengusap punggung kepalaku, mencoba menenangkan kesedihanku.

“Flora bakal minta maaf ke Siska, Yah. Makasih sudah mengingatkan Flora”

“Iya, itu sudah kewajiban dan janji Ayah”

*

Aku mulai berdamai sekali lagi dengan Siska. Aku mencoba bersikap sebaik mungkin dan menjaga perasaan Siska serta Ibu. Sebagai langkah awal, aku mengijinkan Siska untuk masuk ke duniaku dengan mengenalkannya pada ke dua sahabatku, Alvin dan James. Namun, sesuatu tak diduga pun terjadi dan keteguhanku buat berdamai pun goyah.

“Siska?”

“James?”

Siska dan James saling bertatap kaget saat aku coba memperkenalkan mereka. Bukan hanya mereka yang kaget, bahkan aku dan Alvin pun sempat tertegun lama menatap Siska dan James yang akhirnya berbicara sangat akrab.

“James ini teman satu sekolahku di Singapura dulu tapi dia mendadak pindah” jelas Siska.

Aku dan Alvin pun mengangguk paham. Relung rasa sakit membuncah lagi. Ya Tuhan, kenapa setiap aku ingin berdamai dengan Siska selalu saja ada hal yang mengusik semuanya?

“Makasih ya Ra” kata Siska sambil tersenyum tulus saat kami berjalan menuju rumah.

“Terimakasih untuk apa?” tanyaku heran, bukankah selama ini aku selalu bersikap sinis padanya?

“Berkat kamu, aku bisa ketemu sama James lagi. Dia cinta pertamaku”

Seperti disiram air es seember penuh tubuhku pun membeku, kaku ditempat.

*

“Jadi?” Alvin kembali bertanya setelah aku berbicara panjang lebar mengenai perasaan Siska terhadap James.

“Ya ampun Vin, masa kamu gak ngerti sih. Aku sudah bosan jadi rivalnya si Siska dan selalu saja kalah. Entah dalam urusan sekolah maupun meraih cinta Ibu. Masa sekarang . . .” kata – kataku menggantung diudara begitu saja. Kemungkinan terburuk pun meluncur dengan cepat di kepalaku.

“Jalani aja dulu Ra. Belum tentu juga kan si James suka sama Siska”

“Benar kata temanmu” Ayah muncul mendadak dari pintu.

Aku memajukan bibirku dan merengut, bukan karena Ayah yang sepertinya menguping pembicaraan kami tetapi karena Ayah selalu mendukung perkataan Alvin.



continue . . .

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -

3 komentar:

  1. Meskipun aku gak baca dari awal part nya..tapi aku suka ceritanya.. gak ngebosanin :)
    jadi kangen sosok papa, hiks :'(

    BalasHapus
  2. Di sini baru ngerti kenapa alvin sama dengan siska karena sama-sama populer toh... wah kebetulan sekali james cinta pertama siska, gw penasaran sebenarnya ada apa di balik alvin dan ayah yang memiliki sifat sama.

    BalasHapus
  3. ceritanya seru nih..
    jadi bikin penasaran terus..
    hehehehe

    mampir juga di blog ane ya
    tolong skalian di follow n dkomen juga yah
    hehehe
    :)

    BalasHapus

what do u think, say it !