Selasa, 03 Juli 2012

JANJI - JANJI AYAH III


III

“Sudah malam, sebaiknya kita tidur biar kau juga bisa tenang sayang”

Pria yang di sampingku kini menarikku perlahan, menjauhkanku dari bayangan kesedihan yang mulai menggerogoti hatiku. Dan dia memang benar, saat ini aku sangat membutuhkan ketenangan seperti yang dulu pernah ku rasakan. Sejak Ayah kembali memutuskan untuk memantau kehidupanku lagi, semua ketenangan rasanya sirna. Ayah memang masih tidak berkomentar banyak atas apa yang terjadi kini namun tatapan mata serta sikapnya telah menjabarkan semuanya.
*
Setelah dikabarkan mendapatkan beasiswa, sebulan kemudian Siska meninggalkan rumah kami dan melanjutkan sekolahnya di Singapura. Seluruh biaya hidupnya kini ditanggung oleh sebuah lembaga. Ini adalah kabar gembira bagiku karena aku tidak perlu berbagi kehidupan bahagiaku dengannya. Aku memang kejam tetapi ini kehidupanku dan aku merasa cukup membaginya untuk Siska.

“Mau melihat – lihat sekolah barumu?” Ayah tersenyum sambil menyeruput kopi hitam.

“Iya Yah, jam empat Flora mau kesana”

Ayah menangguk dan kembali menatap siaran televisi. Jika sudah begini Ayah tidak boleh diganggu. Jam dinding dirumah menunjukkan pukul satu, masih ada beberapa jam ke depan untuk menengok sekolahku yang baru. Hampir setahun menjalani hari – hari yang cukup melelahkan di SMA terdekat, aku dengan susah payah membujuk ke dua orangtuaku untuk memindahkanku ke sekolah yang sekarang. Aku ingin menghilangkan semua bekas kenangan bersama Siska. Mungkin aku telah berdamai dengan keadaan namun rasa sakit di dalam dadaku tetap ada.

“Flora, bisa bantu Ibu sebentar?” tanya Ibu yang tampak sibuk membungkus pesanan.

“ya Bu”

Secepat kilat aku berlari membantu Ibu. Kehidupan yang dulu telah kembali bahkan jauh lebih baik. Hubunganku dengan Ibu semakin dekat dan Ibu tidak pernah meremehkan aku lagi. Sebagai anak, aku juga ingin terlihat membanggakan dimata Ibu. Aku mulai memperbaiki diriku menjadi gadis yang lebih patuh dan santun seperti yang selama ini Ibu inginkan.

“Siska sudah membalas emailmu?” Ibu membuka pertanyaan yang sama seperti kemarin.

“belum Bu” aku mencoba menjawabnya dengan nada yakin.

“Aneh sekali, apa mungkin dia sibuk sekali disana ya?”

“Mungkin saja Bu”

Kenyataannya malah aku yang tidak pernah membalas email yang Siska kirimkan selama ini. Jika dia mengirimkan email berkali – kali baru aku membalasnya, itupun dengan kalimat seperlunya saja. Entah beruntung atau tidak,  Ayah dan Ibu sama seperti orang tua lain di kompleks perumahan ini tidak mahir memanfaatkan fasilitas internet yang ada. Hal ini memudahkanku untuk menjauhkan Ibu dari Siska.

*

Pohon cemara berjejer rapi diseputaran lapangan parkir. Suasana sore yang tenang tergambar jelas di sekolah ini. Tampak beberapa murid berlari menuju pelataran parkir yang terlihat agak legang. Pak satpam yang siap siaga menjaga pintu gerbang tersenyum ramah. Satpam itu bernama Sudino, orang jawa yang aksen ngapak yang sangat kental. Dia mempersilahkan aku masuk kesini tanpa bertanya banyak hal. Sepertinya dia mempercayai penampilanku yang tampak seperti anak gadis baik – baik.

“Awas !!”

Buk . . .

Sebuah bola basket mendarat mulus dikeningku. Hawa segar dan ketenangan yang tadi coba kubayangkan menghilang begitu saja dari kepalaku, digantikan oleh rasa sakit yang berdenyut cepat.

“Kamu tidak apa – apa?”

“Mana ada orang yang dicium bola basket baik – baik saja” teriakku.

“Maaf”

Seorang lelaki bertubuh tinggi menampakkan wajah penyesalannya. Jika ini drama televisi, aku yakin akan ada scene dimana pemeran utama wanita yang kepalanya terkena hantaman bola mendadak jatuh cinta pada pemain basket yang tidak sengaja melemparkan bola tersebut dan sebuah backsound selama beberapa menit akan menghiasi tatapan love at the first sight diantara ke duanya. Tetapi hal itu tidak terjadi padaku, lelaki yang ada dihadapanku kini malah terlihat menyebalkan, alih – alih terkesima.
Aku berdiri sambil memegang keningku yang sepertinya memerah dan meninggalkan lelaki itu yang mematung karena mendapatkan penolakan.

“Aku bilang maaf”

Lelaki itu menarik tanganku.

“Iya, udah aku maafin”

Lelaki itu tersenyum lalu berkata, “ Aku Alvin, murid di sekolah ini. Kamu siapa?”

“Flora, murid baru”

Sebelum Alvin atau siapalah itu namanya mau membuka mulutnya lagi, teman setimnya memanggilnya dari arah lapangan.

“Aku, mau lanjut latihan dulu ya” dia mengarahkan telunjuk ke lapangan basket.

“Oke”

Sore hari tanpa Siska ternyata tetap menyebalkan.

*

Alvin Kuntoro, sang ketua tim basket sekolah ternyata anak yang populer. Baru tiga hari masuk sekolah, rasa bosan mendengar namanya sudah mengalun. Tak heran sebagian besar murid perempuan di sekolahku menganguminya, tidak terkecuali teman sebangkuku, Andin.

“Alvin itu ganteng, pintar, lucu, baik hati lagi”

Kata – kata Andin itu membuatku merasa seperti berada di dalam sebuah drama televisi. Aku tidak mau terjebak dalam sebuah kisah drama televisi yang terlihat menyebalkan ini. Jika di dalam drama televisi sang pemeran utama wanita yang awalnya benci menjadi cinta, aku bersumpah dan yakin tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi padaku. Lagipula aku tidak sebenci itu pada Alvin karena sampai saat ini aku tidak menabuh genderang perang padanya. Aku mencoba bersikap selayaknya teman biasa.

“Hey Flora, bagaimana kepalamu?” Alvin duduk di sampingku dengan santai.

“Masih nyambung sama badan, tenang aja”

Alvin tertanya renyah mendengar jawabanku. Sikapnya ini mengingatkanku pada Siska.

“Bisa aja sih. Eh rumahmu itu di kompleks melati bukan? Kemarin aku gak sengaja lihat kamu disekitar sana”

“Apa dia ngikutin aku ya? Bukannya rumah nih cowok beda jalur sama rumahku?” batinku.

“Begitulah” jawabku pada akhirnya.

“Nanti pulangnya bareng ya, sekalian kita ngerjain tugas fisika di rumahmu” kata Alvin santai dan lagi – lagi terdengar seperti omongan Siska.

“Kenapa mesti di rumahku?”

“Kita kan sekelompok, sekalian aku pengen tahu dimana rumahmu”

Aku mengangguk tanpa berkomentar lebih jauh.

Tiga hari belakangan ini takdir selalu mempertemukanku dengan Alvin. Ah lebih tepatnya disebut kenyataan tak terduga. Alvin ternyata sekelas denganku entah itu di sekolah maupun tempat kursus, satu kelompok dalam berbagai tugas – parahnya satu kelompok terdiri dari dua orang, dan sekarang . .

“Loh, Alvin? Kamu teman sekelasnya Flora?”

Dia kenal Ibuku dengan baik.

*

“Sekolah baru menyenangkan bukan?” Ayah mendadak muncul dibalik pintu kamarku.

Aku mengangguk dan tetap mengerjakan tugas bahasa Inggris yang diberikan tadi siang. Ayah mendekati rak buku dan membolak – balik beberapa buku yang dipilihnya. Sudah lama aku tidak menghabiskan waktu sunyi seperti ini dengan Ayah. Terakhir kali berbicara dengan Ayah adalah ketika kunjungan perdana Alvin ke rumah.

Sikap Alvin yang baik terhadap Ayah serta candaan bahagianya dengan Ibu, sekali lagi mengingatkanku akan sosok Siska. Bedanya Alvin adalah seorang lelaki dan keluarganya masih utuh serta bahagia. Alvin mengenal Ibuku karenya Ibunya adalah salah satu langganan dibutik milik Ibu.

“Koleksi buku Flora belum bertambah ya?” Ayah mulai bertanya sambil kembali meneliti rak buku.

“Iya nih Yah, duit jajannya kepake mulu buat tugas” aku berhenti menulis.

“Tunggu sebentar . .” Ayah keluar kamar dan kembali sambil membawa sebuah bungkusan berlogo salah satu toko buku, “jadi gak ada salahnya Ayah ngasih ini ke kamu kan?”

Aku menerima bungkusan itu dengan binar bahagia. Ada tiga novel bersampul plastik disana. Sepertinya ini hadiah dari Ayah karena tidak bisa menemaniku bercerita selama beberapa minggu ini. Karir Ayah semakin menanjak dan kehidupan kami semakin membaik dalam hal finansial namun kebersamaan seperti dulu mulai terkikis. Dan hey, ternyata novel yang diberikan Ayah adalah novel yang selama ini aku incar.

“Wah ini kan novel yang Flora mau”

“Syukurlah kalau begitu, Ayah sempat ragu mau beliin apa gak soalnya Ayah takut Flora sudah beli duluan”

“Oh pantes Ayah meriksa rak buku Flora, sama seperti dulu” aku tersenyum sambil menerawang jauh.

“Ayah berusaha memberikan yang terbaik buat Flora. Maafin Ayah yang terlalu sibuk. Ayah janji akan selalu ngasih yang terbaik buat Flora. Ayah senang akhirnya Flora sama Ibu bisa sahabatan. Ayah gak perlu khawatir lagi karena Flora gak punya sandaran buat nangis kayak dulu”

Aku tertawa mendengar perkataan Ayah. Sewaktu Siska masih disini, aku sering menghabiskan malamku bersama Ayah. Curhat mengenai segala hal termasuk tentang Siska dan Ibu, dan disetiap cerita aku tidak pernah bisa menahan bulir airmataku untuk berhenti mengalir. Disaat seperti itu Ayah selalu menjadi sandaranku. Ayah menepati janjinya untuk ada disaat aku sedih dan menjadi sandaran utamaku.

“Tapi kalau Flora ada masalah sama cowok, Flora butuh Ayah kan ya?” Ayah melirik jam tangan yang diberikan Alvin saat aku berulang tahun.

Aku melotot seakan berkata, “itu hanya jam tangan biasa dari seorang sahabat”
Ayah tersenyum simpul lalu melanjutkan, “Cepat atau lambat Flora pasti mau cerita tentang masalah hati sama Ayah. Kalau udah kayak gitu Ayah mesti kurangi kesibukan nih. Apa ayah resign aja ya dari kantor?”

“Eh jangan Yah” aku merengut sambil menatap Ayah yang tertawa bahagia keluar dari kamar.

Perkataan Ayah malam itu pun menjadi kenyataan seiring dengan berjalannya waktu. Dan janji – janji Ayah yang lainnya pun mulai menunjukkan kegoyahan karena takdir.


continue . . .
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -

2 komentar:

  1. sbelum komentar, ini kenapa tulisannya makin kaya cabe rawit yak? kecil-kecil bikin pedes mata -_-

    beberapa paragraf belum di justify,

    janji ayah selanjutnya menemani flora untuk mendengarkan cerita masalah hati setelah alvin hadir dan memberikan jam tangan.

    rada lost di bagian alvin mirip siska, ngga nangkep maksudnya miripnya di mana. oke lanjut..

    BalasHapus
  2. oh iya, aku post gak ngelihat lagi di blog makanya gak tau, thanks :-)

    :-)

    BalasHapus

what do u think, say it !