Jumat, 22 Juni 2012

JANJI - JANJI AYAH II

II

Malam merajut bingkai yang kelam selaras dengan wajah Ayah yang terdiam disudut ruang tv. Aku menatap Ayah dengan perasaan pilu. Aku tahu tidak seharusnya aku melakukan ini semua setelah janji – janji yang Ayah tepati padaku. Namun keegoisanku menutup itu semua, Ayah juga telah berjanji untuk membiarkanku memilih jadi sudah seharusnya Ayah menepati janji itu sekali lagi.

“Apa yang kau lakukan disini sayang?”

Suara lembut itu menyapaku hangat. Pria yang hari ini sah menjadi suamiku itu memelukku hangat. Aku tersenyum getir menerima pelukan itu dan tetap menatap Ayah dari sudut mataku.

“Sampai kapan Ayah disini?” dia bertanya padaku lirih.

“Mungkin dua hari”

Aku tahu dia dan Ayah tidak akur karena beberapa hal. Sejak awal Ayah adalah orang yang paling menentang hubunganku dengannya namun karena aku bersikukuh untuk tetap menikah dengan pria pilihanku sendiri, Ayah pasrah menerimanya. Ini janji Ayah padaku, janji yang pada akhirnya menumbuhkan penyesalan seperti rasa sesalku karena berdamai dengan keadaan terdahulu.

*

Aku masih mengingat dengan jelas aroma tanah pemakaman yang basah oleh air hujan, suara pelayat, dan bahkan pelukan hangat saling menguatkan. Setiap kehidupan pasti memiliki akhir dan disetiap akhir selalu ada awal yang baru. Dan hari itu adalah hari bagi segala awal dan akhir yang akan menjadi penentu hidupku sekarang.

Hari itu Siska kehilangan Ibunya, satu – satunya keluarga yang dia miliki. Aku yang telah berdamai dengan keadaan karena mengingat janjiku pada Ayah selama beberapa tahun ini, datang menguatkannya. Matanya membengkak dan merah, tampak jelas dia menangis semalam suntuk.
Ibu yang berdiri di samping Ayah pun ikut menangis. Aku tahu Ibu sangat menyukai Siska dan aku sudah tidak terlalu peduli dengan hal itu lagi.

“Siska, ikut tante pulang yuk”

Siska tidak merespon apa – apa. Ibu menatap Ayah dengan segenap harapan. Ayah mengerti tatapan itu, lalu mendekati Siska.

“Om tahu kamu sedih tapi kalau kamu terus seperti ini, Ibumu pasti lebih sedih lagi”

Siska mulai mengangkat wajahnya dan menatap Ayah. Manik matanya tampak pilu dan kosong.

“Siska sudah tidak punya siapa – siapa lagi om” kata – kata itu terdengar getir melayang di udara.

“Kamu masih punya kami” tanpa sadar aku ikut berbicara. Ibu dan Ayah mengangguk ikhlas.

Siska menatap kami secara bergantian dan kemudian memutuskan untuk bangkit dari tanah yang masih basah itu. Mungkin dia merasa inilah kesempatannya untuk memulai sebuah hidup yang baru lagi. Ibu menggandeng tangan Siska dan mengajaknya pulang ke rumah kami. Melihat Ibu dan Siska seperti itu, rasa sesak didadaku muncul seketika.

“Siska tidak akan mengambil Ibu darimu” gumam Ayah.

*

Bulan menggantikan minggu yang bertumpuk dengan cepat. Siska yang hidup bersama kami pun mulai terlihat bahagia dan mendapatkan energinya kembali. Kehidupan kami juga berjalan semakin lancar. Ayah dipromosikan untuk naik jabatan sementara Ibu mulai membuka usaha butik kecil – kecilan dibantu oleh Siska. Ya, Siskalah yang dipercaya Ibu untuk mengurus butik kecil itu bukan aku, anak kandungnya sendiri.

“Lebih baik Siska saja yang bantu – bantu Ibu dibutik. Flora kan tidak punya minat ngurusin yang begituan” Itulah alasan yang diberikan Ibu ketika Ayah bertanya perihal ini.

Biarlah Siska mendapatkan posisi itu karena aku tidak peduli. Ibu memang tidak pernah bisa akur denganku dan aku rela membagi cinta Ibu pada Siska.

“Besok hasilnya tesnya keluar kan?” Ayah bertanya padaku.

“Iya Yah, tapi Flora tidak percaya diri nih. Saingannya berat sekali” jawabku merengut.

“Ayah sudah pernah bilang kan, kalau Ayah percaya sama kemampuanmu.” Ayah tersenyum dan menurunkan koran yang dibacanya.

Aku mengangguk perlahan, kata – kata Ayah kala itu tidak bisa membuatku tenang. Aku terlalu takut untuk mengecewakan Ayah. Aku tidak mau melihat Ayah kecewa dan memilih untuk lebih mempercayai Siska dibanding aku, seperti yang dilakukan Ibu.

*

Hasil tes penerimaan beasiswa pun diumumkan. Namaku sama sekali tidak tertera disana.

“Siska Amelia Winoto?” batinku membaca nama itu.

“Ah aku lolos”

Suara itu, suara yang aku kenal.

“Kamu ikut tes ini juga?” tanyaku pada Siska dengan nada menahan kekecewaan.

“Iya, maaf ya gak ngasih tahu kamu. Ibu dan Ayah yang nyuruh aku ikut”

Sejak tinggal bersama kami, Siska mulai memanggil ke dua orangtuaku sebagai Ayah dan Ibu. Tapi, tunggu apa katanya tadi? Ayah juga menyuruhnya ikut tes ini?

“Kamu gak lolos ya Ra?” tangan Siska menjelajari deretan nama penerima beasiswa perlahan –lahan, seperti mencari namaku.

“Ya” jawabku singkat.

Ayah tahu, untuk pertama kalinya aku merasa sesakit ini. Tidak masalah jika cinta Ibu berhasil direbut oleh Siska, tetapi jangan Ayah. Aku menahan airmata hingga pulang sekolah. Siska dengan wajah bahagia mengabarkan hasil tes sementara aku tertunduk lesu di sampingnya.

“Wah selamat Siska, kamu memang anak yang pintar. Bagaimana dengan Flora?” Ibu bertanya padaku.

“Gagal” jawabku datar.

Semua aura kebahagiaan yang tadi terpancar di ruang keluarga seketika lenyap. Ibu mengusap kepalaku tanpa berkata apa – apa.

“Flora mau istirahat sebentar”

Aku melangkahkan kakiku ke dalam kamar dan membenamkan wajahku diantara bantal. Apa yang harus aku katakan pada Ayah nanti? Tetesan airmata tidak dapat aku tahan. Sedih menggelayut di dadaku. Setengah jam menangis, aku pun lelah dan terlarut dalam mimpi.

*

“Flora . . Flora . . .”

Suara lembut terdengar di telingaku. Aku membuka mataku yang lelah dan menatap pemilik suara itu.

“Ayah” refleks aku terbangun dari tempat tidur.

“Sejak kapan anak Ayah jadi suka tidur sampai sore seperti ini?” Ayah tersenyum seraya mengacak rambutku.

“Aku gagal”

“Ayah tahu” Ayah masih tersenyum.

“Ayah tidak marah?” tanyaku takut – takut.

“Marah? Untuk apa?”

“Flora sudah mengecewakan Ayah”

Ayah tertawa keras, “mengecewakan bagaimana? Ayah sudah janji untuk selalu percaya sama kemampuanmu. Hari ini kamu gagal bukan karena kemampuanmu yang kurang, cuma waktunya saja yang belum tepat” Ayah mengedipkan matanya.

“Tapi . . . Siska lolos”

“Kamu harusnya bangga punya sahabat yang sukses seperti itu”

Aku menatap Ayah dengan nanar, inilah yang aku takutkan. Ayah mulai menyukai Siska.

“Ayah ngomong seperti ini bukan berarti Ayah menyuruhmu berubah seperti Siska. Tidak. Setiap orang punya jalan kehidupan masing – masing. Kalau kamu terus menyesali apa yang terjadi sekarang, kelak kamu juga akan menyesali hari – harimu yang terbuang percuma karena penyesalan. Lagipula, bukankah Siska sudah kamu anggap sebagai saudara sendiri?”

Aku mengangguk.

“Kalau begitu, beri dia selamat dan berusaha lakukan yang terbaik. Bagaimanapun juga, kamu adalah anak Ayah yang paling Ayah banggakan”

Aku mengangguk sekali lagi.

“Flora, jangan sekali – kali menangisi kesuksesan orang lain. Jadikan itu sebagai pacuan semangatmu”

“Iya Ayah” aku mencoba tersenyum.

Ayah membalas senyuman pahitku lalu bergegas menarikku keluar kamar. Di ruang makan telah terhidang dua kue tart yang dibawa oleh Ayah. Satu kue sebagai hadiah atas beasiswa yang diterima oleh Siska sedangkan kue yang satunya lagi, aku tidak mengerti untuk apa.

“Untuk Flora yang telah menepati janji. Tidak berkelahi dan membuat masalah” bisik Ayah.

“Seharusnya untuk Ayah yang menepati janji untuk selalu percaya pada kemampuanku” batinku.


continue . . .

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -

1 komentar:

  1. ada beberapa kata yang kurang spasi tapi lupa tadi dimana waktu baca lewat hape..

    kasian flora nggak lulus...
    siska juga kasian ibunya meninggal..

    oke di tunggu lanjutanhya ada janji apa lagi kah..

    BalasHapus

what do u think, say it !