Jumat, 22 Juni 2012

JANJI - JANJI AYAH I


I

Rangkaian bunga tersemat indah diantara tiang penyangga panggung yang megah. Di tiap sudut bangunan tertata lilin – lilin putih yang menyala dengan indah. Aku tersenyum menyambut tamu yang datang satu per satu, menyalami mereka, dan meng-aamiini tiap doa yang terucap. Ayah yang duduk di sampingku pun ikut tersenyum namun aku dapat melihat arti tatapan matanya, tatapan mata kekecewaan.

“Ayah masih kecewa?” gumamku ketika tidak ada tamu yang menyalami.

“Kau tahu apa yang sebenarnya Ayah inginkan”

“Tapi Ayah, Flora sudah besar dan Ayah sendiri yang berjanji untuk membiarkan Flora menentukan pilihan Flora” suaraku mulai meninggi.

“Dan itu adalah janji yang seharusnya tidak pernah Ayah ucapkan”

Aku mengepalkan tanganku menahan emosi. Ingin sekali rasanya berteriak menanggapi ucapan Ayah namun semua itu terhalang oleh tamu yang tiba – tiba datang menghampiriku. Aku mencoba tersenyum menerima uluran tangan tamu tersebut dengan ekspresi sewajar mungkin.

“Berhenti berdebat dengan Ayahmu sendiri dalam suasana seperti ini” Pria yang berdiri disebelahku berbisik tajam. Aku tahu  dengan jarak sedekat ini  dia pasti bisa mendengar perdebatan kami.

Aku pun mengangguk dan kembali menatap Ayah dari sudut mataku. Aku tidak menyangka hubunganku dengan Ayah akan seperti ini, mengingat bertahun – tahun yang lalu aku dan Ayah adalah sahabat sejati. Ayah adalah orang yang berjasa padaku setidaknya itulah anggapanku sebelum tragedi itu terjadi.

*

Sejak kecil Ayah selalu mengajarkanku banyak hal. Ayah adalah orang yang membuatku bisa tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan membanggakan. Ayah jugalah yang pertama kali mengajarkanku menulis dan membaca bahkan sebelum aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Ayah melakukannya tanpa paksaan seperti yang dilakukan oleh orang tua kebanyakan.

“Kau mau tahu cara menuliskan namamu?”

Itulah cara Ayah untuk menarik perhatianku agar mau belajar menulis dan membaca. Berkat didikan tersebut, aku menjadi terkenal dikalangan anak – anak seumuranku sehingga aku memiliki banyak pengikut. Tetapi sebagian besar pengikutku adalah anak lelaki. Entah kenapa, anak – anak gadis terlihat tidak suka dengan prestasi yang ku torehkan.

Berteman dengan anak lelaki dalam jangka waktu yang lama membuat perangaiku pun mirip dengan mereka, bisa dikatakan aku tumbuh menjadi seorang gadis yang tomboy. Hal ini tidak menjadi masalah buatku tetapi bagi Ibu, ini adalah masalah yang sangat besar.

“Flora, kamu sudah SMP. Dandanan kayak anak laki – laki, bermain sama anak laki – laki, bahkan suka sekali bersendawa kayak laki – laki” Ibu mengomeliku dari sudut meja.

Sebenarnya omelan Ibu malam ini bukanlah omelan yang pertama kali aku dengar. Setiap malam ketika kami sedang menonton tv bersama, Ibu selalu menyempatkan diri untuk mengomeliku mengenai hal ini dan aku pun merasa kebal mendengarnya.

“Flora?? Kau dengar apa kata Ibu tadi?”

Aku menanggapinya dengan sebuah anggukan singkat.

“Mulai besok kurangi bermain dengan anak – anak itu” Aku tahu siapa yang Ibu maksud “dan mulailah ikut kursus bahasa Inggris”

“Ha???” Aku mengalihkan pandanganku dari tv dan menatap Ibu dengan tatapan protes.

“Iya, Flora pasti mau kok” Ayah buru – buru menengahi.

“Baguslah” kata Ibu sambil menunjukkan wajah kemenangan dan berlalu ke dalam kamar.

Tatapan kekesalanku kini ku tujukan pada Ayah. Tidak seperti biasanya, kali ini Ayah tidak mendukungku.

“Turuti saja apa kata Ibumu daripada kamu disuruh berhenti latihan karate”

Aku mengulum bibirku gemas. Jika Ayah sudah berkata seperti itu maka tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan.

Sudah hampir sebulan aku mengikuti latihan karate. Awalnya Ibu melarangku untuk mengikuti latihan ini namun Ayah memberikan berbagai macam argumen sehingga Ibu luluh dan memberikanku ijin. Sepertinya Ayah tahu, jika kali ini aku menentang kemauan Ibu maka bisa jadi Ibu akan segera menyuruhku untuk berhenti berlatih karate.

“Bagaimana latihan kihon*mu?” tanya Ayah seketika

“Baik”

“Cuma segitu?” Ayah menatapku sambil tersenyum.

“Namanya juga masih sabuk putih Yah. Latihannya masih dasar sih”

Malam itu pun berlanjut dengan obrolan singkat seputar karate dan tanpa sadar aku mulai melupakan kekesalanku.

* kihon : teknik dasar karate seperti menendang, memukul, menangkis, dan membanting.

*

Seperti kesepakatan terpaksa semalam, hari ini aku mulai mengikuti kursus bahasa Inggris disalah satu tempat kursus ternama di kotaku. Aku memasuki kelas dengan wajah cemberut dan raut wajahku itu semakin melipat ketika aku melihat seorang gadis berkepang dua yang ada di kelas kursusku.

“Ngapain cewek jadi – jadian ada disini?” gadis itu menggerutu.

“Mau belajarlah !” bentakku sebal.

Gadis itu menatapku dan membisikkan sesuatu pada gadis lain yang berdiri di sebelahnya. Mereka maju mendekatiku dan siap menumpahkan sebotol minuman padaku. Aku dengan refleks yang cepat menangkis tangan gadis itu sehingga air di dalam botol minuman tersebut mengotori baju mereka sendiri. Tepat saat itu, seorang guru masuk ke ruang kursus kami. Guru tersebut kaget melihat apa yang terjadi hingga pada akhirnya akulah yang disalahkan dan Ibu dipanggil hari itu juga untuk menemui guru tersebut. Sejak mendengar penjelasan guru tersebut, yang menurutku tanpa pertimbangan untuk menanyakan padaku kejadian yang sebenarnya, raut wajah Ibu terlihat menakutkan. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah Ibu hanya terdiam. Aku tahu Ibu sedang menumpuk semua kekesalannya.

“Flora !! Berhentilah membuat masalah dimanapun ! Kamu itu harus seperti Siska, jangan bersikap liar seperti ini !” sudah ku duga Ibu pasti akan mengomeliku setibanya di rumah. Dan yang lebih menyebalkan adalah Ibu selalu menyebutkan nama gadis berkepang itu.

“Aku bukan Siska Bu !” omelku tidak mau kalah. Aku benci dibanding – bandingkan seperti ini.

“Iya ! Kamu memang bukan Siska tapi setidaknya belajarlah bersikap manis seperti dia !”

“Kalau Ibu maunya gitu, ya sudah kenapa gak ambil Siska aja jadi anak Ibu. Jangan Flora !”

Aku tidak kuat mendengar omongan Ibu yang menyakitkan hatiku lagi. Air mataku tanpa sadar mengalir dengan hangat membasahi sudut pipiku. Aku berlari ke dalam kamar dan mencoba mengurung diri.

“Kau . . . . Flora . . Ibu belum selesai ngomong . . .”

Samar – samar aku mendengar Ibu meneriakkan namaku dari depan pintu kamar. Aku membebatkan bantal dengan kencang ke arah telingaku. Sejak SD hingga sekarang aku merasa Ibu lebih menyukai Siska dibandingkan aku. Meskipun aku mendapatkan peringkat yang paling tinggi di sekolah pun, Ibu tetap merasa Siskalah yang paling hebat.

“Sudahlah Bu, berhenti membanding – bandingkan Flora dengan Siska.”

Suara Ayah mulai terdengar, aku mengangkat bantal yang membebat telingaku dan mencoba mendengar percakapan Ayah dan Ibu.

“Maksud Ibu baik Yah. Ibu hanya mau Flora bersikap lebih manis lagi. Masa hari pertama masuk tempat kursus sudah buat masalah” Sepertinya Ibu terisak ketika mengatakan hal itu.

“Tapi, cara Ibu salah. Ibu malah membuat Flora makin membenci Ibu dan mungkin juga Siska”

Kata – kata Ayah tersebut seperti menghujam ke hatiku. Ayah benar, selama ini aku membenci Siska karena Ibu selalu membandingkannya denganku. Awalnya aku bisa menerima hal itu sebagai hal yang biasa saja. Namun ketika Ibu mulai membandingkanku dihadapan Siska secara langsung, hatiku menjadi sakit. Sejak saat itu aku mulai melakukan perang dingin dengan Siska dan tanpa disadari Siska pun melakukan hal yang sama.

Sekelumit rasa pedih pun mencuat. Entah mengapa aku merasa tidak dianggap oleh Ibu dan malam ini semua kejadian dan kata – kata Ibu terngiang secara random ditelingaku. Aku pun terisak.

Tok . . Tok . . Tok . .

“Flora? Boleh Ayah masuk?”

“. . .”

“Ayah tahu Flora lagi sedih, cerita sama Ayah mau kan?”

Aku membuka pintu sambil menundukkan wajahku. Ayah mengusap kepalaku lama sekali lalu berkata, 
“Flora jangan benci sama Ibu ya. Ibu lebih sayang Flora kok cuma Ibu tidak tahu cara menyampaikannya ke Flora. Buat Ayah sama Ibu, Flora lebih baik dibandingkan siapapun. Ayah janji untuk selalu percaya sama kemampuan Flora asal Flora juga mau janji, jangan berkelahi lagi dan buat masalah seperti ini. Flora mau kan?”

Aku mengusap ujung mataku yang berair, mengangkat wajah, tersenyum, dan mengangguk sekilas.


Itulah janji pertama Ayah padaku.

continue . . .
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -

3 komentar:

  1. Kunjugan Perdana sobat..
    keren artikelnya.. jangan lupa kunjungan baliknya yaa :D
    kalo mau tuker link silahkan juga ya :D

    Motor matic injeksi irit harga murah

    BalasHapus
  2. Waaah emang paling ngga enak kalau di beda-bedain dengan orang lain..
    ayo lanjutin ada janji apa lagi setelahnya..

    BalasHapus
  3. penasaran :)

    ayo segera lanjutannya ya

    BalasHapus

what do u think, say it !