Kamis, 19 Mei 2011

THE ROSE


Disaat kecantikan dan keindahan menutupi duri yang mematikan – The Rose




Prolog

Seorang gadis kecil tersenyum ceria memandangi taman bunga dihadapannya. Matanya yang bulat dan bening memancarkan aura kebahagiaan.

“Bunganya bagus” kata gadis itu sambil berlari ke arah taman bunga.

“Nona hati – hati !!”teriak seorang wanita muda yang mengenakan seragam berwarna biru tua.

Gadis kecil tersebut berhenti di depan kumpulan bunga mawar merah. Dia memandang bunga itu dengan seksama.

“Chie, bunga apa ini?”tanya gadis tersebut kepada gadis berseragam biru tua.

Gadis berseragam yang dipanggil Chie itu lalu tersenyum dan menyentuh kepala sang gadis kecil dengan lembut dan berkata “bunga mawar, nona”

Gadis kecil itu pun mengalihkan pandangannya dari Chie ke jejeran bunga mawar yang ada dihadapannya. Dia terpesona dengan kecantikan mawar yang ada dihadapannya. Dan tanpa disadari tangannya telah terluka oleh bunga mawar yang coba dipetiknya.

“Nona , tidak apa – apa?”

Gadis kecil tersebut hanya menggelengkan kepalanya dan terus menatap luka gores ditangannya.

Tak jauh dari tempat gadis kecil itu berdiri, di bawah sebuah pohon maple, seseorang tersenyum sinis.

***

10 tahun kemudian . . .

“Indonesia” lirih seorang gadis berwajah oriental sambil membetulkan kacamata perseginya.

“Nona, mobil jemputannya sudah datang” kata seorang pria tua pada gadis tersebut.

Mei Tsubaki adalah nama gadis berwajah oriental itu. Dia adalah anak pertama dari keluarga Tsubaki. Ayahnya, Tuan Shinya Tsubaki adalah seorang pengusaha yang memiliki sebuah perusahaan besar yang tersebar dihampir seluruh wilayah Asia. Ibunya, Nyonya Xiao Ling adalah anak bangsawan Cina yang sangat anggun. Adiknya, Yi Tsubaki dikabarkan telah meninggal dengan cara yang mengenaskan.

Mei Tsubaki berbeda dengan beberapa anak konglomerat lainnya. Dia lebih suka menghabiskan sebagaian besar waktunya dengan berdiam diri di dalam kamar daripada berpesta. Tidak banyak bicara dan jarang menunjukkan ekspresi manusia, bisa dikatakan ekspresi yang selalu terlukis di wajahnya adalah datar. Dia tidak pernah tersenyum atau pun menangis. Setidaknya itulah yang selama ini dikatakan oleh setiap orang yang mengenalnya, bahkan ke dua orang tuanya pun mengatakan Mei adalah anak tanpa ekspresi.

Mei sangat menyukai bunga mawar, terutama yang berwarna merah. Di rumah, kamar, bahkan di dalam tasnya sekali pun, bisa ditemukan sekuntum mawar merah.

“Kita sudah sampai , Nona” kata supir sambil membuka pintu mobil dengan perlahan.

Mei keluar dengan anggun dan melihat bangunan tua yang menjulang megah dihadapannya.

“Tidak terlalu besar...”katanya pelan dengan tatapan kosong.

“Maaf Nona, tapi inilah rumah yang bisa kami dipersiapkan untuk kedatangan Nona” kata seorang pelayan wanita yang berwajah kaku.

“Its better than another one” kata Mei penuh teka – teki sambil melangkahkan kakinya ke dalam bangunan tua tersebut.

Bangunan tua yang berarsitektur jengki tersebut memiliki aura yang agak menyeramkan. Atap pelananya terlihat kokoh meskipun sedikit kusam. Beton yang kuat menjadi salah satu elemen dari rumah dengan fasad bangunan yang tampak variatif dan komposisi tidak simetris ini. Salah satu jendela terlihat lebih tinggi dan tidak sejajar dengan jendela yang lain. Pola permukaan dindingnya yang berwarna krem dipenuhi dengan berbagai macam bentuk ekspresif.

Masuk ke rumah tua ini mengingatkan kita akan arsitektur rumah di Indonesia pada tahun 1960-an. Bentuk dan komposisi rumah tua ini menjelaskan eksistensi kebebasan yang diinginkan sang arsitek.
Mei mengelilingi rumah tersebut sambil membawa tas ranselnya yang berwarna merah marun. Dia melihat semua perabotan yang ada disekitar ruang tamu, menyentuhnya satu per satu dengan ekspresi datar. Langkahnya kini tertuju pada sebuah ruangan aneh yang jendelanya terlihat lebih tinggi tadi. Sebuah piano tampak kokoh di ruangan tersebut. Mei melihat piano yang berwarna hitam kelam tersebut dan mulai menekan tutsnya.
Sebuah alunan lagu terbias indah dan memenuhi sela – sela rumah jengki itu.

***

Mei terduduk diam di ruang kepala sekolah. Matanya yang sendu mengamati setiap sudut benda yang ada di ruangan tersebut. Di depannya duduk seorang wanita paruh baya dengan kacamata bulat dan tebal yang tengah sibuk membaca berkas yang kini ada ditangannya.

“Oke, semua berkasnya sudah lengkap. Silahkan ke kelasmu.”kata wanita paruh baya tersebut sambil menurunkan kacamata bundarnya.

Mei hanya terdiam menatap wanita tersebut. Seakan mengetahui arti dari tatapan tersebut, wanita paruh baya yang tidak lain ada kepala sekolah SMA Versulius Jakarta tersebut pun berkata “Oh, Pak Toni akan mengantarmu”.

“Biasa saja” batin Mei saat memasuki ruang kelas barunya.

Saat Mei memperkenalkan dirinya, seluruh siswa kelas 3 IPA 1 memandangnya dengan tatapan beragam. Bisik – bisik pun mulai terdengar saat Mei mengatakan bahwa dia adalah anak dari Shinya Tsubaki.

“Wah, dia nona miliuner” kata Doni yang duduk di pojok.

Kelas pun menjadi ribut dengan berbagai macam argumen yang keluar dari tiap siswa yang ada di kelas tersebut. Bu Rini pun berbicara dengan keras dan mulai menenangkan kelas yang sudah tidak kondusif lagi, setelah itu Mei diminta untuk duduk.

Mei duduk di samping seorang gadis berwajah lucu. Gadis tersebut tersenyum dan menatap Mei dengan tatapan ramah dan kagum.

“Kamu orang Jepang ya?” bisik gadis tersebut saat Mei duduk di sampingnya.

Mei hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari papan tulis dan Bu Rini yang sedang sibuk menuliskan sesuatu di papan tulis.

“Kenalin, aku Nina” kata gadis tersebut sambil mengulurkan tangannya.

Mei hanya melihatnya sesaat lalu menjabat tangan gadis tersebut dan berkata datar “Mei Tsubaki”.
Saat istirahat, Mei hanya duduk terdiam di bawah pohon jambu yang berada di samping kelasnya sambil menikmati sandwich tuna. Kepalanya mengangguk – angguk mengikuti sebuah irama yang melantun indah dari ipod merah marun yang terdapat disaku seragamnya.

“Hei !!” kata Nina sambil menepuk bahu Mei.

Mei melepaskan headset merahnya dengan perlahan, lalu melihat Nina dan bertanya “kenapa?”
Nina pun duduk disamping Mei dan berkata “Gak, kamu kok gak gabung sama kita sih?”

“Memangnya kenapa?”

“Lho kok nanya balik sih? Kalau kamu kayak gini, bisa – bisa kamu dianggap sombong lho” kata Nina sambil mengambil sandwich tuna dari kotak makan milik Mei.

Wajah Nina merengut saat merasakan sandwich tuna menari riang di dalam mulutnya. Mei hanya diam menatap wajah Nina yang terlihat sangat aneh, tanpa ketawa sama sekali.

“Tidak enak” kata Nina sambil membuang sandwich tuna yang ada di tangan dan mulutnya.

Sekali lagi Mei hanya terdiam dan tetap menikmati makanannya.

“Dia tidak ketawa bahkan memberikan komentar sama sekali, aneh” batin Nina dan melirik Mei.

***

Sebulan sudah Mei menjadi bagian dari kelas 3 IPA 1. Awalnya Mei menolak dengan mentah – mentah ajakan Nina untuk berbaur dan berteman dengan seluruh siswa 3 IPA 1. Saat ditanya alasan Mei menolak ajakan tersebut, Mei hanya terdiam. Dia bingung harus menjelaskan hal tersebut darimana karena hal yang dipendamnya selama ini sungguh sangat rumit.

“So, kalau gak ada alasan berarti kamu harus gabung dengan kita. Ayo !” kata Nina saat melihat Mei terdiam.

Dan kini, mau tak mau Mei telah menjadi bagian resmi dari kelas tersebut. Dia tidak lagi berdiam diri di bawah pohon jambu atau pun makan siang sendiri. Meskipun begitu, ekspresi wajahnya tetap tidak berubah. Disaat seisi kelas tertawa ataupun merasa sedih, hanya Mei lah yang tidak menunjukkan ekspresi apapun. Keanehannya itu membuat beberapa siswa mulai takut berada didekatnya.

“Mei itu manusia apa robot sih , kok datar banget yah ekspresinya. Gue gak pernah lho lihat dia ketawa” kata salah seorang siswi.

“Ssssttt, tuh orangnya datang”

Kerumunan anak – anak itupun terdiam memandang Mei. Mei tidak peduli dengan tatapan tersebut, sejak kecil dia tahu keanehan  yang ada pada dirinya dan dia sangat menikmatinya. Dia sama sekali tidak takut kehilangan sahabat karena sifatnya tersebut.

“Mei, kamu tahu gak sih kalau anak – anak pada ngomongin kamu si muka datar?” kata Loli tanpa ragu sambil menyantap mie ayam yang ada dihadapannya.

“Hush Loli, kamu “

“Gak apa – apa kok”potong Mei saat Ari ingin berbicara.

“Udahlah, gak usah peduli ma mereka guys, yang penting sekarang kita tetap mau berteman eh gak, bersahabat dengan Mei” kata Nina sambil merangkul Mei.

Ari dan Loli pun tersenyum dan memandang Mei dengan tatapan tulus. Mei merasa bahagia, namun sebuah sisi di dalam dirinya mulai meronta. Secepat angin dia mengontrol lagi emosinya lalu bergumam “tidak boleh emosional”

Tanpa mereka sadari, mereka sedang diawasi oleh seseorang.

***

Tradisi SMA Versulius Jakarta adalah mengadakan sebuah festival tahunan. Kali ini kelas 3 IPA 1 mendapatkan giliran untuk menampilkan sebuah drama yang telah ditentukan oleh panitia festival.

“Romeo dan Juliet? Euh” kata Nina sambil memandang judul yang di tulis oleh Kania di papan tulis.

“Kenapa?”tanya Mei saat melihat ekspresi jijik Nina.

“Aku gak suka drama kayak begituan”

“Oh...”

Setelah melalui debat yang panjang mengenai siapa yang pantas untuk menjadi pemeran di pementasan tersebut, akhirnya seluruh siswa kelas 3 IPA 1 kini mulai sibuk dengan segala persiapan pementasan, hanya Nina yang terlihat murung di pojok kelas.

“Kenapa aku harus terlibat sih?”kata Nina

“Terimalah nasibmu nak”kata Ari sambil menepuk punggung Nina dan menahan ketawa.

“Mei, kamu juga harusnya protes. Masa kamu jadi pembantunya Juliet sih. Keenakan tuh si Loli, jadi Nona, gak cocok”kata Nina ketus

“Eh eh , jangan bawa – bawa aku dong kalau kesal. Oh iya, Doni itu siapa sih? Anak baru ya?”

“Hallo ..... kemana aja Nona Juliet selama ini? Masa gak nyadar sih kalau kelas kita ada anak baru yang ganteng itu” jawab Nina

“Dia gak ganteng, gantengan juga aku kali” cibir Ari.

Mei yang duduk dihadapan mereka hanya bisa menatap mereka dengan sebuah tatapan dingin. Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan Mei saat itu, yang jelas kini seseorang juga ikut memandangi Mei dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.

***

Mei merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya mulai terpejam namun tiba – tiba seseorang menggoyangkan badannya. Mei membuka matanya dengan perlahan.

“Main yuk, rumahmu sepi sekali sih” kata Loli.

Mei menghela napas dan teringat bahwa hari ini ke tiga sahabatnya itu akan bermain di rumahnya seharian penuh.

“Wajar sajalah lah kan orangtua Mei gak tinggal disini, eh kamu punya adik kan?” kata Ari yang kemudian berjalan ke arah Mei.

“Ya”

“Dimana dia sekarang?”tanya Ari lagi.

“Dia selalu ada disampingku kok”kata Mei sambil mengalihkan pandangannya ke arah taman mawar merah yang berada di samping kamar.

Tiba – tiba Nina muncul sambil membawa nampan yang berisi minuman dan makanan ringan.

“Ih, tuh cewek jutek berseragam pembantu kamu ya Mei?”

“Iya, kenapa?”

“Jutek banget, ngerubah mood ku aja nih” gerutu Nina.

Niat Mei untuk beristirahat di hari ini pun batal karena ulah ke tiga sahabatnya tersebut. Segala tingkah mereka telah mengubah suasana rumah Mei yang suram. Namun, hal itu tetap tidak dapat membuat Mei tersenyum.

“Eh si Mei itu aneh ya” kata Ari dalam perjalanan pulang.

“Maksudnya karena dia gak punya ekspresi?” tanya Loli.

“Kurang lebih sih” kata Ari sambil mencoba berkonsentrasi membawa mobil.

“Kalau kata Kakakku sih, dia mengidap penyakit Amoeba eh Moebi...apa ya hmmm ah iya Moebius
Syndrom” kata Nina seketika

“Ha???”

“Duh Loli jangan gitu dong, gue jadi gak konsen”kata Ari

“Sorry, hehehe” Loli lalu membalikkan badannya perlahan ke arah Nina yang duduk sendirian.

“Itu penyakit aneh deh pokoknya. Kata Kakakku, orang yang kena penyakit itu gak bisa gerakin wajah atau
membentuk ekspresi gitu deh” kata Nina

“Serius??? Berarti Mei sakit? Kok gak diobatin ya? Kan dia kaya”

“Ya ampun Loli, namanya juga penyakit aneh. Obatnya mungkin belum ditemuin karena yang kena tuh penyakit cuma dikit. Lagipula kata Kakakku sih penyakit itu asing banget dan jarang ada yang ditemuin meninggal karena penyakit ini” jelas Nina.

***

Malam menjelang dan bulan purnama mulai tampak menerangi kota Jakarta yang masih saja terdengar bising. Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan suasana SMA Versulius yang tenang dan mencekam.
Di salah satu ruang kelas tampak siluet seseorang yang sedang duduk dan memegang sebuah pigura. Tangannya yang putih pucat menyentuh foto pada pigura tersebut dengan perlahan. Matanya tampak sangat tajam dan menakutkan.

“Kalian tidak akan pergi kemana – mana, kalian harus terus bersamaku dan bukan orang lain. Kalian milikku” lirih orang tersebut.

Seorang satpam yang sejak tadi memperhatikan ruang kelas tersebut mulai curiga dengan siluet yang dilihatnya. Berbekal sebuah pentungan dan senter, satpam tersebut berjalan mantap ke ruang kelas itu.
5 menit kemudian satpan tersebut telah sampai di kelas itu, kelas 3 IPA 1. Dia mengarahkan senter yang dipegangnya ke seluruh penjuru kelas.Matanya dengan lihai mencoba mendeteksi suasana kelas tersebut. Namun, tak seorang yang terlihat disana.

“Apa tadi aku salah lihat?” batin satpam tersebut.

Saat dia ingin berbalik jendela kelas tersebut pun terbuka dan angin yang sangat kencang pun masuk dan meniup seluruh isi ruang kelas dengan kejamnya. Ketika itu pula satpam tersebut melihat sebuah siluet yang berlari meninggalkan kelas tersebut.

Dengan kekuatan penuh, satpam tersebut mengejar siluet itu.

“Cepat juga larinya”lirih satpam tersebut.

Siluet itu berlari menuruni tangga dan tampak masuk ke laboratorium fisika yang terletak di lantai 1 SMA Versulius.

“hah hah hah, kali ini pa-h-sti hah tertangkap” desah satpam tersebut sambil membuka pintu laboratorium fisika.

Tanpa dia sadari, sepasang tangan putih pucat memegangnya dengan kuats dan menariknya ke dalam laboratorium fisika yang sangat gelap. Satpam tersebut pun terjerembab ke lantai dan silut itu pun berlari meninggalkannya.

“Awas kau” teriak satpam tersebut sambil mencoba untuk berdiri.

Kini siluet itu terus berlari  dan tampak berbelok ke arah ruang seni.
Satpam yang mengejarnya pun tersenyum penuh arti dan berteriak dengan sekuat tenaga.

“Tidak ada jalan lagi !!! ”

Jika seseorang berniat bersembunyi di ruang tersebut maka orang itu memilih tempat yang salah, karena ruang seni SMA Versulius adalah sebuah ruangan kecil di lantai 1 yang letaknya paling pojok, tak ada jalan keluar dan tempat sembunyi yang sempurna di ruang itu.
Satpam yang kini tampak sangat lelah mulai tersenyum lebar saat berada di depan ruang tersebut.

“Kena........”

Satpam tersebut tidak dapat melanjutkan kata – katanya karena ruangan tersebut kosong. Tak ada siapapun disana, hanya sebuah mawar merah dan jejeran kursi yang diam membisu diantara gelapnya malam.
Jantung satpam tersebut mulai bedegup sangat cepat, keringatnya mulai bercucuran, dan wajahnya tampak sangat pucat. Suasana disekitar ruang tersebut pun berubah menjadi lebih menakutkan.

“A-aku tadi melihat.......”

***

“Jadi, sekarang pak Jono udah gak kerja disini?”

“Iya, katanya dia trauma ma kejadian semalam. Waktu ditanya ma Bu Kepsek, dia diam aja”

Mei dan Ari hanya terdiam mendengar percakapan Loli dan Nina. Ari mencoba berkonsentrasi memakan mie ayam yang ada dihadapannya. Sementara Mei sedang mengunyah sandwich tuna dengan tenang.

“Ih serem banget ya” kata Nina, lalu menggoyang tangan Loli.

Seakan mengerti isyarat yang diberikan oleh Nina, Loli pun mulai mengajak bicara Ari dan Mei.

“Menurut kalian gimana?”

“Gak tau” kata Ari sambil menyembunyikan ketakutannya.

“Si Ari kan takut ma hantu, ha ha ha ha”

Nina dan Loli pun tertawa melihat Ari yang wajahnya kini memerah seperti kepiting rebus.
Mei hanya terdiam, wajahnya yang selalu datar kini terlihat sendu. Dari kejauhan Doni melihatnya dengan tatapan sinis.

“Kau akan merasakan pembalasanku” gumam Doni.

***

Kehebohan terjadi diruang kelas 3 IPA 1. Semua anak tampak sibuk menata dan membuat perlengkapan untuk pementasan Romeo dan Juliet sabtu nanti. Beberapa anak tampak merengut sambil menjahit baju untuk pementasan itu sedangkan yang lainnya tampak sibuk mengecat papan yang berbentuk pohon, kastil, serta awan.

Sementara itu di auditorium tampak Mei, Nina, Loli, Ari, Doni dan pemain lain yang sibuk latihan untuk pementasan.

“Istirahat lima menit” kata Bu Lani, guru kesenian yang bertanggungjawab atas pementasan tersebut.

Nina, Loli, serta Ari dengan segera meninggalkan ruangan tersebut. Sejak latihan selama dua jam tadi, perut mereka selalu berlomba untuk mengeluarkan suara kelaparan. Mei hanya menatap mereka bertiga sambil menggeleng dan menunjukkan sandwich tuna yang selalu dibawanya. Mengerti bahwa Mei tidak akan ikut dengan mereka, ketiganya pun keluar dari auditorium tersebut dengan cepat.
Kini Mei tampak duduk di atas panggung sambil menikmati sandwich tuna dan sesekali menghafal naskah yang dipegangnya.

“Buka topengmu” kata Doni yang tiba – tiba berdiri di samping Mei.

Mei mendongak dengan wajah datar sementara Doni tersenyum sinis dan melangkah turun dari panggung tersebut.

***

Sabtu . . .

Malam semakin dingin karena angin yang berhembus dengan cepat dan tanpa ampun. Semua orang yang berada di kota tersibuk di Indonesia tampak enggan menjejakkan kakinya ke luar rumah. Namun hal ini sepertinya tidak berlaku bagi beberapa penghuni SMA Versulius Jakarta.

Auditorium SMA Versulius Jakarta tersebut kini terlihat berbeda dari malam – malam sebelumnya. Suara tawa dan canda menggema di dalamnya. Tiga puluh tujuh siswa kelas 3 IPA 1 sedang mengadakan sebuah pertunjukan tahunan. Para orang tua, guru, pemilik yayasan, serta beberapa siswa tampak hadir memeriahkan acara malam itu. Suasana yang terekam di dalam auditorium tersebut berbanding terbalik dengan suasana di luar serta hati seseorang.

Lima menit menjelang pementasan, Mei tampak murung dan semakin pucat di belakang layar. Nina dan Loli yang tampak cemas mulai sibuk menanyakan keadaan Mei dan menawarkan obat serta istirahat untuknya. Namun Mei menolaknya dan bahkan berkata “jangan dekati aku”

Nina dan Loli yang merasa tidak enak mendengar perkataan tersebut pun memilih untuk menjauhi Mei untuk sementara.
Kini, layar merah penutup panggung telah diangkat. Drama kolosal Romeo dan Juliet karangan William Shakespeare terkemas indah dipanggung tersebut. Mei, Nina, Loli, Ari, bahkan Dika tampak sangat hebat memerankan tokoh masing – masing.

Semua adegan tampak berjalan lancar dan sesuai dengan skenario sampai pada akhirnya Loli yang seharusnya terbangun disaat adegan terakhir tetap tertidur dalam diam di pembaringannya. Suara kegelisahan dari penonton pun bermunculan. Bu Lina yang tampak keringat dingin terus berusaha memanggil nama Loli dari belakang panggung, namun hal tersebut sia – sia karena Loli tetap tertidur. Bu Lina mencoba mencari Doni yang berperan sebagai Romeo agar ke atas panggung dan membangunkan Loli yang tampak tertidur. Namun, sosok Doni yang putih dan kekar itu tidak nampak dimanapun.

Dengan kegelisahan yang terus membuncah, Bu Lina pun memutuskan untuk menurunkan layar panggung dan memeriksa kondisi Loli. Saat hal itu dilakukan, para penonton tampak berbisik – bisik tidak jelas.

“Loli ba . .”

Bu Lina tidak dapat melanjutkan kata – katanya karena saat menyentuh tubuh Loli, tubuh tersebut telah menjadi dingin seperti mayat. Beberapa siswa yang ada di sekitar Bu Lina pun histeris melihat kondisi Loli, dia benar – benar menjadi mayat.

Tiba – tiba lampu yang menerangi auditorium tersebut mati. Seluruh penonton dan peserta yang berada di auditorium itu tampak histeris. Teriakan dan jeritan seketika mewarnai ruangan tersebut.

Beberapa menit kemudian sebuah tangan kurus seseorang menarik sebuah tuas lalu lampu di auditorium tersebut pun menyala kembali. Para penonton yang berada di auditorium lalu mengucapkan kata syukur sambil tersenyum. Namun, senyuman itu seketika lenyap saat sebuah tubuh yang penuh dengan darah tampak di panggung. Tidak hanya itu, auditorium megah itu kini telah tertutupi oleh lautan bunga mawar merah. Para penonton yang melihat ke dua hal tersebut pun menjadi semakin histeris. Mereka datang dengan setangkup keinginan untuk melihat pertunjukan yang akan membuat mereka tersenyum dan berdecak kagum, kini tersapu oleh sebuah adegan dramatis. Seakan merasakan hembusan firasat yang tidak baik, mereka pun berbondong – bondong meninggalkan ruangan tersebut.

Kepanikan yang menyergap membuat seluruh penghuni auditorium tidak dapat memikirkan sahabat bahkan kerabat mereka, keegoisan mulai menghampiri. Masing – masing individu berlomba untuk menuju pintu utama, yang merupakan satu – satunya pintu untuk keluar dari auditorium tersebut.

“Terkunci” teriak seseorang yang berada di deretan paling depan.

Suasana ruangan tersebut semakin riuh. Di belakang panggung, Bu Lina hanya terduduk dalam diam menyaksikan dua siswanya yang terbujur kaku. Loli dengan badan yang mulai membiru membisu di hadapannya. Sementara Ari, tampak bersimbah darah dengan sebuah mawar merah yang menggantung pasrah di tangan kirinya.

Tangan Bu Lina mengeluarkan sebuah getaran yang hebat. Airmata sedih dan ketakutan terpaut diantara ke dua bola matanya yang sipit. Dia mencoba menenangkan diri sambil menarik napas panjang, berharap agar akal sehat segera menyapanya. Sejurus kemudian, sebuah keberanian membuncah didirinya. Bersama dengan tungkainya yang putih, dia melangkah ke arah massa yang riuh karena ketakutan yang sedang menyergap. Tangannya yang bertahta gelang emas, menyokong sebuah kapak yang tadinya digunakan untuk memotong tambang di belakang layar.

Deretan massa yang tampak cemas dan berdebat satu sama lain pun terdiam memandangi Bu Lina yang terus maju ke arah pintu utama. Sebuah hentakan dari ke dua tangan kecilnya mendobrak pintu dengan kejam. Kapak besi yang berat itu terjatuh sedih di tegel. Pintu utama masih tampak kokoh karena tenaga yang dikeluarkan Bu Lina ternyata tidak cukup kuat untuk menghancurkan pintu berkayu jati tersebut.

Seorang pria berbadan tambun dengan tinggi yang diperkirakan berkisar 180 meter, merampas kapak itu. Sebuah ayunan kuat dari otot bisepnya menggores pintu secara dalam. Riuh rendah seluruh penghuni auditorium kini mulai menggema menyemangati pria itu. Merasa tersanjung, pria itu terus melanjutkan kegiatannya.

Bu Lina dengan kekuatan yang sudah pulih mencoba mencari Mei, Nina, dan Doni yang disadarinya tidak nampak sedari tadi. Tangannya yang mulus itu kini mendorong para massa untuk membuka jalan.

“Dimana anak – anak itu?”

***

Balkon . .

Tangan kecil pemegang pisau belati itu digerak – gerakan secara aneh pada sebuah meja. Ilustrasi sebuah mawar kini tampak terukir di meja tersebut.

“M-m-mei” kata Nina dengan gugup. Tubuhnya yang mungil kini terkulai lemas dan terlilit tambang yang disimpulkan secara kuat. Di sampingnya tampak Doni dengan mata nanar yang memancarkan sejuta amarah.

“Aku bukan Mei” kata pemegang pisau belati sambil melotot ke arah Nina. Untuk pertama kalinya dia tersenyum, namun senyuman itu lebih tampak sebagai sebuah pesan kematian yang dapat menyentakkan jiwa.

Doni meronta, tangan dan kakinya terus digoyang – goyangkan dengan kuat, berharap akan datang keajaiban dimana tambang tersebut akan terbujur pasrah dan melepaskan dirinya. Namun, Mei dengan sigap berjalan ke arah Doni dan menendang tubuhnya dengan kejam.

“Korban berikutnya” kata Mei memandang Doni yang berada di bawah kakinya.

Nina menangis semakin kencang. Ke dua matanya ditutup dengan sekuat tenaga. Hatinya sudah cukup terkoyak melihat Ari disiksa dengan kejam. Matanya tidak kuat lagi melihat darah yang membuncah dari tubuh sahabatnya.

Sebuah teriakan dan tusukan terdengar dari kirinya. Matanya dikatupkan semakin rapat. Tubuhnya bergetar semakin hebat disaat sebuah tetesan hangat dan berbau amis tersembur di pipi dan tangan kirinya. Suara tusukan demi tusukan terus di dengarnya. Dalam hati dia terus berdoa agar semua yang kini terjadi hanyalah sebuah mimpi. Namun, dia akhirnya tersadar bahwa itu bukan mimpi saat sebuah pisau belati menggores pipi kanannya dengan kejam.

“Aaaaaaaaaaaaaaaarrrrrggggggggghhhhhh !!!!!!!!!!!” sebuah jeritan tak diingankan pun dia lontarkan.

Matanya yang telah basah oleh butiran air mata dan percikan darah pun terbuka. Wajah Mei yang sedang menyeringai langsung menyambutnya.

“S-s-sakit” Nina mencoba membuka mulut sekuat tenaga menahan goresan tajam di pipinya.

“Tenang, sebentar lagi kamu akan hidup damai bersamaku” kata Mei yang kini sedang sibuk mengasah pisau belatinya.

“K-k-kamu sudah gila !!!”

“Aku gila?? Tidak tidak”

Mei menghempaskan pisau belatinya ke lantai bersemen lalu mengambil seikat bunga mawar merah yang membisu di atas meja. Tangannya yang memerah karena darah menarik salah satu mawar dari lilitan pita emas lalu membuangnya ke arah Doni.

“Itu karena ingin membocorkan rahasiaku” kata Mei sambil memandang Doni dengan bengis.

Matanya yang tajam bagaikan elang kini terpatri pada sosok Nina yang bergetar hebat. Tangannya yang dingin ditiup angin malam mulai menyentuh pipi Nina yang terkoyak pisau belati. Tangan itu mengusap luka berdarah dipipi Nina secara lembut. Nina semakin ketakutan dan mencoba menjauh dari sentuhan dingin tersebut. Mata Mei mengerling liar, lalu dengan cekatan tangannya yang dingin tersebut menusuk luka dipipi Nina secara sadis. Teriakan Nina terbuncah bersamaan dengan darah yang mengalir semakin kuat. Mei semakin menikmati penyiksaannya. Di tariknya rambut Nina dengan cepat, kemudian mengarahkan kepala Nina yang bulat itu dengan kejam ke dasar lantai bersemen.

Buk . . Buk . . . Buk . . .

Kepala itu terbentur dengan cepatnya di lantai dan membiaskan darah. Nina terdiam, tanpa suara, jiwanya yang lelah telah melayang dari raganya yang telah hancur.

Tak jauh dari situ seorang wanita tampak duduk lemas di depan pintu balkon. Ke dua tangannya tertangkup menutupi mulutnya yang ingin berteriak menyaksikan penyiksaan itu.

Mei, entah bagaimana, menyadari kehadiran wanita tersebut. Dengan sebuah lemparan terarah, pisau belati yang tadinya terdiam di lantai kini tertancap manis di dada wanita itu.

“Bu Lina” gumam Mei.

***

Ke esokan harinya kehebohan yang terjadi di auditorium SMA Versulius Jakarta menjadi trending topic. Loli dan Ari, yang diakui oleh beberapa siswa kelas 3 IPA 1 telah meninggal, tiba – tiba menghilang bersama Nina dan Dika bahkan Bu Lina.

Mereka baru menyadari hilangnya ke dua mayat beserta ke tiga orang tersebut sejam setelah hingar bingar di depan auditorium. Beberapa siswa yang berada didekat ke dua mayat saat kejadian berlangsung dimintai saksi untuk dijadikan petunjuk namun hasilnya nihil.

Mei yang kemudian diketahui ikut menghilang saat itu dan merupakan satu – satunya orang yang kini muncul pada akhirnya menjadi sasaran empuk berbagai macam pertanyaan.

“Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Bagaimana bisa mayat itu menghilang tanpa jejak?”

“Kemana mereka?”

“Diculik oleh siapa?”

Rentetan pertanyaan aneh itu terlontar dari seluruh penghuni SMA bahkan polisi yang ditugaskan untuk menangani kasus tersebut. Mei dengan wajah datarnya hanya menjawab tidak tahu apa – apa karena dia pingsan di balkon saat hal itu terjadi. Polisi yang tidak merasa curiga sedikit pun akhirnya menghentikan penyelidikan pada Mei. Mei yang memiliki wajah tanpa ekspresi pun, memilih untuk pindah sekolah setelah kejadian tersebut.

Para penghuni sekolah yang menyadari kepindahan Mei mungkin disebabkan oleh traumatik karena kehilangan sahabat – sahabatnya hanya terdiam menatap langkah kaki Mei yang menghilang dari gerbang sekolah.

***

“Nona, Tuan dan Nyonya sedang menunggu di ruang bawah” kata seorang pelayan wanita pada Mei yang terus menatap kotak coklat tuanya.

Sebuah anggukan kecil terbias dari kepalanya. Kotak coklat tua ditutupnya dengan sangat hati – hati kemudian melangkah keluar menemui ke dua orang tuanya.

Ibu dan Ayahnya tampak duduk dengan khidmat di sebuah sofa beludru sambil menghirup teh mint yang terhidang di hadapan mereka. Tanpa senyum dan tanpa basa – basi mereka menawarkan Mei untuk tinggal bersama mereka, mengingat bahwa telah banyak kejadian buruk yang menimpa dirinya selama ini sejak hidup sendirian.

“Adikmu, Chie, dan sahabat – sahabatmu semua menghilang begitu saja. Ayah dan Ibu khawatir kamu akan ikut menghilang juga. Kami hanya memilikimu saat ini” Kata Tuan Tsubaki tajam

“Aku bisa hidup sendiri seperti saat ini. Ayah dan Ibu tidak perlu memperhatikan aku”

“Mei” tangan lembut Nyonya Tsubaki menggenggam tangan Mei dengan erat.

Mei dengan cepat melepaskan genggaman itu dan berkata “jangan tunjukan kasih sayang kalian padaku kalau kalian memang peduli padaku. Bersikaplah acuh seperti biasanya. Itu yang aku butuhkan”

Tuan dan Nyonya Tsubaki semakin terperangah mendengar perkataan anaknya itu. Mereka tahu, sejak kecil Mei hanya hidup bertiga bersama saudara kembar dan pengasuhnya. Namun, seiring waktu mereka tidak ingin melihat Mei yang tampaknya semakin aneh sejak mayat saudara kembarnya ditemukan ditaman mawar merah di depan kediaman mereka di Jepang.

Tuan dan Nyonya Tsubaki bersikeras menyatakan keinginan mereka dengan berbagai  alasan logis namun Mei tetap menolaknya dengan alsan yang sama.

Tuan Tsubaki yang kemudian bisa melihat kesungguhan dari kata – kata dan tatapan Mei pun terpaksa menyetujuinya. Dia tahu anaknya telah dewasa dan bisa memilih. Dia hanya berpesan agar anaknya tidak ragu untuk meminta bantuannya.

Mei pun menyetujui hal tersebut dan pamit ke kamarnya.

Sebuah napas panjang ditariknya saat berada di dalam kamar. Tetesan air yang hangat mengalir di pipinya saat melihat foto saudara kembar, pelayan, dan para sahabatnya yang terbingkai indah dalam sebuah pigura hitam. Tiba – tiba sebentuk sentakan menyentuh jiwanya.

“Andai saja kalian tidak mendekatiku, hal ini tidak akan terjadi. Diriku yang satunya . .”

Seketika itu pula tubuh Mei memanas, tatapan matanya berubah tajam. Seringai yang menyeramkan tersulam dari bibirnya menggantikan paras manusiawi yang tadi sempat terlukis. Tangannya kemudian beralih pada kotak coklat tua yang tadi sempat dibukanya. Kotak tersebut tampak polos dan berpelitur rapi. Di dalamnya tersematkan 8 tangkai mawar dan sebuah kertas yang bertuliskan :

1st rose, Yi Tsubaki, saudara kembarku.
2nd rose, Chie Minami, pengasuhku.
3rd rose, Kikuchi, anak lelaki yang ku sayangi.
4th rose, Akemi, sahabatku.
5th rose, Nina, sahabatku.
6th rose, Loli, sahabatku.
7th rose, Ari, sahabatku.

Kalian akan selalu bersamaku sampai kapan pun karena kalian telah memilih menyayangiku. Hiduplah abadi sebagai mawar merah

8th rose, Doni, orang sok tahu yang ingin membocorkan segalanya.
Mawar merah palsu yang seharusnya tidak ada.

***

Epilog

Mei duduk sendirian sekali lagi di taman sekolah barunya sambil menikmati sandwich tuna.
Seorang pria dengan badan gempal menyapanya. Pria itu tampak berseri saat pertama kali melihat Mei dan kini pria itu telah mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara dengan Mei.

“Mau jadi temanku?” tanya pria itu sambil menjulurkan tangannya.

Mei menatap pria itu sekilas. Ada sebuah tawa aneh yang terdengar di hatinya dan dengan sekuat tenaga coba ditepisnya. Akal sehatnya melarang balasan jabat tangan yang akan mendatangkan petaka, karena sadar hal itu benar, Mei lalu berkata “Jangan dekati aku kalau masih ingin hidup !”



THE END
- Regrads Pipit -

6 komentar:

  1. Kak, cerpen ini boleh aku pake buat tugas bahasa Indonesia nggak? Disuruh nganalisis karya cerpen gitu (kayak mencari nilai"nya dan unsur intrinsiknya) :D

    -F-

    BalasHapus
  2. wah.... ceritanya panjang banget, aku baru baca atasnya hehe, tapi udah menarik banget :D

    BalasHapus
  3. awalnya gak ngerti, tp ceritanya menarik. mei itu kepribadiannya ganda ya?atau sy salah nangkep?hhehe

    BalasHapus
  4. sebenernya kalo buat blog ceritanya jangan panjang-panjang. dikit aja biar pada gak bosen

    kalo emang panjang, ceritanya dibikin bersambung aja hahah :D

    BalasHapus
  5. ceritanya panjang sekali. jujur, aku tidak terlalu suka membaca cerpen di sebuah blog. suasananya beda saat memabaca dalam bentuk hardcopy (cetak). selain itu mataku cepet pusing baca-baca terlalu panjang hehehe.. (mataku kan minus 3) tapi tadi aku baca sekilas dan kupercepat,ceritanya menarik kok. :)

    BalasHapus
  6. @ Kiki : iya :)

    @ Zihny, Ardhito, Chilvi : makasih sarannya :D diterima diterima *hug hug*

    BalasHapus

what do u think, say it !