Sabtu, 28 Desember 2013

ILMUWAN GILA


Sepagi ini wajahku sudah muram. Bagaimana tidak, Ayah membuat seluruh rumah penuh dengan bulu-bulu coklat dari tubuhnya. Ya, Ayahku memiliki bulu coklat diseluruh tubuhnya layaknya serigala. Tidak. Tidak. Ayahku bukan manusia serigala seperti yang diceritakan buku-buku. Ayahku adalah seorang ilmuwan aneh yang suka sekali menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan percobaan. Aku tidak tahu apa yang ingin Ayah coba sehingga tubuhnya berubah menjadi aneh seperti itu. Aku sudah tidak peduli lagi.

“Tidak sarapan dulu?”

Aku hanya menggeleng. Bagaimana bisa aku sarapan dengan bulu-bulu yang berserakan di meja makan? Seringkali aku berharap Ayah akan berubah menjadi Ayah pada umumnya. Bekerja di kantor pemerintah, mengantarkanku pergi sekolah, dan bisa menemaniku libur akhir pekan. Tidak tahukah Ayah bahwa aku kesepian sejak Ibu meninggal?

“Kusut banget sih mukamu.” Cita menepuk punggungku.

“Mau bagaimana lagi . . .”

“Pasti Ayahmu.” Belum sempat aku melanjutkan Cita sudah menebaknya dengan sempurna.

Cita adalah sahabatku yang luar biasa. Dia adalah tempat curhat nomor satu. Dulu disaat sebagian besar teman kelas menjauhiku karena pekerjaan Ayah yang dijuluki ‘ilmuwan gila’, Cita memilih mendekatiku. Dia juga selalu berkata bahwa Ayahku pasti punya alasan mengapa melakukan itu semua. Tapi aku, seperti biasa tidak menaruh perhatian terhadap ceramah Cita.

“Makan siang sudah ada di meja, makan dulu. Ayah mau pergi sebentar, ada urusan.” Ayah membuyarkan lamunanku yang sudah terbang ke sana kemari. Jika Ayah berkata ada urusan maka Ayah tidak akan pulang hingga malam menjelang. Waktu yang cukup bagiku untuk membersihkan sudut rumah yang penuh dengan bulu.

Sigap, setelah makan siang beres aku mulai kegiatan bersih-bersih. Ketika jingga fajar terbenam kegiatan tersebut baru selesai. Luar biasa. Aku memilih merebahkan tubuh disofa, kemudian teringat sebuah buku yang tidak sengaja aku temukan ketika membersihkan lorong menuju laboratorium Ayah. Buku itu terlihat usang dengan ujung yang berlipat-lipat. Aku membuka lembar demi lembar. Beberapa rumus tampak berhamburan di kertas-kertas menguning. Ah, ini pasti buku yang berisi penelitian milik Ayah. Aku memilih tidak peduli sebelum akhirnya mataku melihat sesuatu yang mencuat. Itu adalah fotoku yang tersenyum ketika berada di depan petshop.

Aku ingat hari itu adalah hari dimana aku meminta dibelikan kucing berbulu coklat yang tambun. Dan di hari itu juga akhirnya aku menyerah untuk memelihara kucing. Ternyata aku alergi terhadap bulu kucing, hewan yang sangat aku sukai. Seharian itu pula aku tidak ingin beranjak dari petshop dan membuat Ayah serta Ibu pusing.

Kenapa Ayah menyimpan foto ini? Di kertas tempat buku itu tertambat ada rumus-rumus aneh yang tetap saja tidak ku mengerti. Dibagian paling bawah rumus tersebut ada sebuah tulisan yang membuatku tertegun.

Misi : menciptakan makhluk berbulu untuk Ani agar tidak bersin-bersin.

Airmataku mengalir. Jadi, ini alasan mengapa tubuh Ayah menjadi sangat berbulu? Dan hey sekarang aku sadar bulu-bulu Ayah tidak membuatku bersin.

“Ani.” Ayah sudah berdiri dihadapanku, aku tidak menyadarinya.

Ayah terkejut melihat ekspresiku dan buku yang aku pegang. Aku mengira akan dimarahi habis-habis namun ternyata Ayah hanya tersenyum.

“Ani sudah melihatnya?” Aku mengangguk.

“Banyak yang bilang itu adalah penelitian paling bodoh yang Ayah lakukan tapi menurut Ayah itu adalah penelitian paling menyenangkan. Kapan lagi penelitian Ayah bisa membuat puteri kesayangan Ayah bisa tersenyum? Ayah tahu Ani kesepian, Ayah mengerti tidak bisa menemani Ani. Jadi Ayah memilih untuk membawakanmu teman.”

Ayah mengangkat seekor kucing tambun. Refleks aku menjauh, takut bersin-bersin. Tapi Ayah berkata ‘tidak apa-apa’ sehingga aku mendekat. Dan Ayah benar, aku tidak bersin sama sekali.

“Penemuan Ayah akhirnya berhasil meskipun harus membuatmu murung beberapa bulan karena bulu-bulu itu.”

Aku tertawa dan memeluk Ayah. Cita benar Ayah pasti punya alasan melakukan itu semua. Dan sekarang aku peduli terhadap apapun yang dilakukan Ayah, sama seperti pedulinya Ayah terhadapku.

Percayalah bahwa keluarga adalah orang pertama yang selalu memikirkanmu. Oleh karena itu, jadilah orang pertama yang juga memikirkan ke dua orang tuamu.

- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -

2 komentar:

what do u think, say it !