Halo, namaku kucing
keberuntungan. Aku adalah pajangan bundar gendut yang suka menggerak-gerakkan satu tangan
memanggil orang-orang untuk mampir. Menurut kepercayaan beberapa orang,
memajang badan tambunku di atas etalase toko akan mendatangkan rejeki yang
melimpah. Entah benar atau tidak, kenyataannya adalah sepuluh tahun yang lalu
seorang pria berkulit putih dan pendek membeli dan menempatkanku di toko
miliknya. Sebuah toko kue tempat berbagai macam orang datang. Mulai dari anak
kecil yang iseng mencomot krim kue, remaja tanggung yang suka duduk ngerumpi di
sudut-sudut meja, atau ibu-ibu arisan yang heboh memamerkan perhiasan mereka. Dunia
manusia yang luar biasa.
Kring!
Nah ini dia, si gadis misterius
yang sejak tiga hari lalu mencuri perhatianku. Namanya adalah Laras. Beberapa
orang di tempat ini melihatnya dengan heran. Ya, itulah yang aku rasakan ketika
pertama kali melihatnya. Sebuah kaos belel dipadu dengan dengan shaggy pantalon serta coat panjang yang kumal menutup tubuhnya
yang kurus. Belum lagi ditambah dengan topi rap
cap yang hampir menutup sebagian besar wajahnya. Sempurna sudah tampilannya
sebagai manusia aneh. Gayanya seperti seseorang yang ditelan tumpukan pakaian
raksasa.
Kunjungan pertamanya di toko
membuat hampir sebagian besar petugas toko kue berbisik-bisik.
“Orang kayak gini pasti cuma
lihat-lihat aja. Gak bakal bisa beli kue.”
“Dia gak punya baju lain apa?
Seragam kita aja masih lebih bagus.”
Bla bla bla.
Terlalu membosankan untuk
didengar lebih lanjut.
Dibalik itu semua, Laras si
manusia dengan pakaian bertumpuk memiliki tatapan mata yang sangat indah.
Seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan. Melihatnya masuk ke dalam toko membuat
imajinasiku berputar. Diimajiku berkelebat sosoknya dalam peran kehidupan yang
berbeda-beda. Kadang Laras berubah menjadi seorang gadis bangsawan yang lari
dari kehidupan nyamannya, agen rahasia, atau pemilik toko kue yang sedang
menyamar. Ah, entah mana yang benar tapi aku sangat menikmatinya.
Hari ini dia datang dengan
tergesa-gesa. Ada cipratan lumpur diantara ujung-ujung coat kumalnya. Padahal sejak pagi tadi kota ini tidak diguyur
hujan, mana mungkin bisa ada kubangan lumpur yang tercipta? Apa mungkin dia
habis menjelajah kota seberang? Aku mulai berasumsi dengan imajiku lagi.
Senyumku mulai mengembang, meski mungkin tidak ada yang memperhatikan. Eh tapi
tunggu dulu.
“Mama, kucingnya hidup.”
“Iya nak, iya.”
Si Ibu yang sedang sibuk dengan smartphone-nya seperti tidak terlalu
peduli. Syukurlah. Sudut mataku kembali melirik Laras yang sekarang sedang
duduk mencoret sketchbook polkadot
miliknya. Apa yang kali ini dia gambar? Penasaran sekali rasanya. Pikiranku
mulai melayangkan banyak ilusi khayalan. Saking penasarannya, tanpa sadar tubuhku
bergeser begitu jauh dari atas etalase toko hingga hampir terjatuh. Tatapan
Laras yang membuatku sadar akan hal itu. Manik matanya yang sejak tadi lurus ke
arah sketchbook mendadak bertemu
dengan mataku. Apa mungkin dia sadar kalau aku memperhatikannya? Ah, itu tidak
mungkin. Lihatlah kini Laras kembali sibuk dengan coretan-coretannya. Tidak
mungkin Laras memperhatikanku yang tersembunyi. Tersembunyi? Yup, sejak lima
tahun lalu penerus toko kue ini memutuskan untuk tidak lagi mempercayaiku
hingga menyembunyikanku di atas etalase toko yang tidak terlihat.
Tapi sudahlah sekarang kembali
lagi ke Laras. Hey, kemana dia? Ah, sekarang dia berjalan ke arahku. Sebaiknya
aku mematung dan berakting sebaik mungkin.
“Kamu kesepian sepertiku? Kamu
penasaran sepertiku? Sama. Namaku Laras, salam kenal kucing keberuntungan.”
Aku tidak percaya apa yang baru
saja aku dengar. Ingin rasanya berbalik dan menjawab pertanyaan Laras namun
takdir langit tidak memperbolehkan. Aku hanya bisa mengerling dalam senang.
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -