"Kepedulian yang tidak dilihat oleh mata"
Aku tidak mengerti apa itu waktu
dan jam yang berdetak. Bagiku firasat sudah cukup. Firasat itulah yang
membuatku tahu kapan Almira akan pulang dan kapan kita akan bermain bersama.
Seperti hari ini ketika penghuni rumah tengah nyaman beristirahat siang, aku
memilih duduk sigap di depan pintu. Tidak sabar menanti si gadis berambut emas
berlari ke arahku dan menunjukkan senyum manisnya.
Saat seperti inilah yang sangat
ku nanti. Bermain seharian dengannya dan mendengkur manja ketika mendengar ia
bercerita. Hal ini jauh lebih membahagiakan dibanding mengejar bola bulu atau
tikus-tikus nakal di atas loteng.
“Ireng!!”
Suara Almira membahana dari ujung
pagar. Ia tersipu setelah berteriak begitu keras. Ada seorang laki-laki yang
berdiri di sampingnya. Dari baju yang ia kenakan, laki-laki itu tampak seperti
teman sekolah Almira. Mereka berjalan menghampiriku.
“Ini kucingku, namanya Ireng.”
Almira mengelus ujung kepalaku. Laki-laki
itu tersenyum dan terlihat ingin ikut mengelus ujung kepalaku. Aku menggeleng
lalu berjalan mengitari kaki Almira. Aku tidak ingin dielus oleh orang lain.
“Ireng, mainnya nanti saja ya.
Aku mau ngerjain PR sama Brahma.”
Aku merengut dan duduk di atas
bantal bulu. Mataku menatap sigap Almira dan laki-laki bernama Brahma itu.
Mereka terlihat sangat akrab.
“Hey bung, harusnya aku yang saat
ini bercanda akrab dengan Almira!” Ingin rasanya berteriak seperti itu.
Aku tidak suka Brahma.
Lihat saja tingkahnya yang tidak sopan. Sekarang tangannya mulai genit
menyentuh tangan Almira. Telingaku bergetar. Ujung-ujung kumisku mulai
bergoyang ikut kesal.
RAWR!!
“IRENG!!!”
Almira menarikku kasar. Hey, aku
melakukan itu demi kamu Almira.
“Aku pulang aja deh, kayaknya
kucingmu gak suka aku di sini.”
Almira menatapku geram. Setelah Brahma
pulang dengan tangan yang tercakar, Almira mulai memarahiku. Ia mengucapkan
kalimat seperti ‘cinta pertama’ dan ‘jangan mengganggu’. Ah Almira, tindakanku
tadi adalah untuk melindungimu dari kelakuan tidak sopan laki-laki bernama
Brahma itu. Rasanya tidak tega melihat Almira hanya menjadi objek mainan. Aku
tidak tahu darimana pemikiran itu berasal. Yang aku tahu, aku menyayangi Almira
dan yang bisa aku lakukan untuknya adalah menjaganya dengan cakar-cakarku ini.
Semoga suatu saat nanti Almira bisa mengerti.
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
kucingable banget:3
BalasHapus