Jejak derasnya hujan semalam masih
tampak jelas disepanjang jalan. Bau lembab menguap diudara. Hawa dingin yang
berhembus sejak semalam membuat para penghuni kota enggan melangkahkan kaki
mereka keluar rumah. Lebih nyaman berselimut tebal di dalam rumah sambil
menikmati secangkir teh atau susu hangat. Namun hal itu tampak tidak berlaku
bagi Levi. Tubuhnya yang ringkih terlihat terseok-seok menarik sebuah bungkusan
besar. Ke dua telapak tangannya yang telah kapalan mulai membiru. Sesekali dia
meniup ke dua telapak tangan tersebut, mencoba memberikan kehangatan. Ujung
atap sebuah rumah tua mencuri perhatiannya. Langkah kakinya semakin dipercepat.
Rumah tua di pinggiran sungai
tersebut tampak tidak terawat. Berbagai ilalang menutupi pagar karat yang berderit-derit
ketika ditiup angin. Pintu kayu mahoninya terlihat rapuh dimakan oleh rayap.
Wangi lembab dan bangkai tercium sangat kental dari dalam rumah.
“Kau datang juga.”
Seorang wanita seksi menepuk kepala
Levi. Levi tersenyum – yang sebenarnya lebih tampak sebagai sebuah seringai.
“Aku membawakan sesuatu untuk Leona.”
Wanita seksi dihadapan Levi
tersenyum melihat bungkusan. Dia memberi isyarat agar Levi mengikutinya ke
ruang bawah tanah. Mereka berjalan beriringan, melewati sekat demi sekat
ruangan yang meninggalkan cicitan tikus. Sungguh tempat yang sangat
menjijikkan. Levi sempat pingsan ketika pertama kali berkunjung ke tempat ini.
Penciumannya tidak kuat menghirup aroma campur aduk yang mengelilingi rumah
ini.
Hari ini adalah kali ke sepuluh dia
berkunjung. Penciumannya sudah mulai terlatih. Dia kini tidak peduli bau busuk
yang masih menyengat dari dalam rumah atau hawa dingin yang menusuk kulit. Demi
Leona.
Mereka mulai memasuki sebuah lorong
yang lebih bersih. Pipa-pipa baja terlihat membeku di bawah lantai. Marmer
putih berkilauan di kaki dan dinding. Lorong ini terlihat lebih modern dan
bersih. Siapapun tidak akan yakin jika rumah bobrok tadi menyimpan sebuah
lorong yang begitu mewah sebagai jalan menuju ruang bawah tanah.
Pintu besar dengan garis-garis
lengkung aneh menyambut mereka. Sebuah symbol mencuat di tengah-tengah
lengkungan tadi. Simbol yang membawa Levi ke tempat ini. Simbol yang menjadi
pesan terakhir Leona.
“Kau harus bertemu Nadine ketika waktuku habis dan bawa aku menuju simbol
abadi sehingga tidak akan ada yang dapat memisahkan kita.”
Setahun kata-kata itu bergema di
dalam pikiran Levi. Kalimat tersebut dan sebuah coretan tangan Leona menjadi
petunjuk bagi Levi untuk menemukan Nadine.
“Leona.”
Levi tak kuasa berlari memeluk
sebuah tubuh membusuk di atas meja. Kerinduannya akan sosok manis itu
menghalangi logikanya.
“Berhentilah menyentuhnya! Kau
hanya akan merusak organnya!”
Nadine menarik kasar Levi. Levi
berdiam diri menatap pantulan dirinya pada tetesan air di lantai. Wajahnya tampak
sangat kusut. Ke dua matanya terlihat memiliki cekungan yang sangat dalam. Dia
lelah.
“Kapan hal ini akan berakhir?
Berapa lama lagi aku bisa melihat Leona?”
“Ambillah bungkusan tadi. Lakukan
ritual secepat mungkin dan berhenti bertanya.”
Nadine bosan mendengar ocehan Levi
yang sama sejak mereka pertama kali bertemu. Dia selalu berharap seandainya Leona
menceritakan lebih detail bahwa hal yang mereka lakukan ini butuh waktu yang
sangat lama.
Nadine mengenal Leona ketika
perkumpulan mereka melakukan ritual pertama, memanggil jiwa ketua yang telah
pergi. Mereka berdua menjadi sangat akrab dalam segi apapun, termasuk pemikiran
yang bertentangan dengan perkumpulan.
“Kau! Masukan potongan itu ke dalam
kuali! Berhentilah meratapi Leona!” teriak Nadine.
Levi tersentak kemudian memasukan
potongan yang diminta Nadine. Isi kuali meletup-letup mengeluarkan asap dengan
bau yang memusingkan kepala. Nadine mendekati Levi, tangan mereka bertaut satu
sama lain. Nadine mulai mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa yang tidak
dapat di mengerti. Setelah dia selesai mengucapkan kalimat-kalimat tadi, Levi
mulai menuangkan ramuan busuk ke tubuh Leona. Cairan kental berwarna hijau
lumut mulai menutupi jasad Leona yang hampir membusuk.
“Apakah ini akan berhasil?” Levi
kembali bertanya.
Nadine mengarahkan pandangannya
pada Levi, kemudian mengarahkan telunjuknya pada kaki Leona yang kini tampak
segar kembali.
“Ya. Ini baru permulaan.”
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
lagi mikir, kira-kira kelanjutannya apa ya???
BalasHapusKelanjutannya rahasia *eh :))
Hapus