Ada kalanya aku ingin berteriak
ketika jiwa-jiwa di luar sana mulai mengatur tentang bagaimana semestinya
bahagia itu. Uang yang melimpah serta kemilau wajah yang bersinar. Aku muak
mendengar itu semua. Bukan berarti aku tidak membutuhkan uang atau tidak ingin
memiliki kilau tetapi aku jengah diatur dengan peraturan yang bahkan tidak tahu
bahwa aku memiliki standar tersendiri.
Hari ini tepat ketika reuni
berlangsung, semua raut wajah tampak berseri membagi pengalaman mereka. Ada
yang berkata bisa membeli sebuah ferrari dalam
seminggu kerja. Ada yang bangga mendapatkan pasangan yang paling keren-well, itu persepsi pribadi yang berbicara. Kepalaku
berdenyut cepat, seperti ada yang menusuk isinya dengan sebilah pisau. Dunia
apa ini?
Aku memilih duduk menatap fenomena
ini. Apa ada yang salah denganku ataukah hanya aku saja yang belum berubah menjadi
lebih baik? Ah, oke. Apa itu standar lebih baik?
“Ku lihat kau sudah bisa membeli
sebuah rumah baru.”
“. . . .”
“Rahma?”
“Ah ya, hanya sebuah rumah kecil untuk
menampung semua ide gilaku.”
“Kau sudah jadi ‘orang’ rupanya.”
Dia membuat tanda kutip pada kata
orang. Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Hey, apa aku sudah menjadi lebih
baik? Entahlah. Aku memutuskan untuk berdiri dan mencari tahu. Bertukar cerita
dengan mereka yang aku temui. Sebagian menggeleng dan menatapku heran.
“Kau memilih tempat itu? Rahma, kau
bisa mencari tempat yang lebih baik.”
Aku meringis mendengar semua
komentar yang mereka ucapkan. Aturan dan standar meluncur bagaikan sebuah
pasal-pasal dari tiap mulut mereka. Demi sopan santun, aku memaksakan diri
untuk mendengarkan dan sesekali mengangguk. Bukan karena setuju melainkan
menunjukkan pada mereka bahwa jiwaku ada bersama mereka, mendengarkan. Dan
sepertinya hal itu berhasil karena mereka terus mengoceh tanpa henti. Namun
yang tidak mereka sadari adalah kini sebagian dari hatiku mulai berputar di
dalam ruangan ini mengumpulkan berbagai macam ide gila.
“Rahma?”
“Ya??”
“Entahlah. Tapi sepertinya kau
berubah. Tidak terlalu ceria dan tampak banyak berpikir.”
Aku hanya tersenyum.
Apakah aku berubah? Jika itu
standar yang mereka berikan, maka jawabnya adalah iya. Namun jika mengikuti
standarku, maka jawabannya tidak. Hari ini aku memutuskan untuk melepaskan
topeng itu. Melangkah dengan salah satu kepribadianku. Aku, Rahma.
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do u think, say it !