Gemericik air sungai terdengar
jelas dari sini. Kemilau cahaya bulan terpantul di atasnya. Bulatan putih itu
tampak rapuh bergoyang menampilkan siluet aneh. Malam ini memang sangat cocok
untuk melepas jiwa-jiwa keruh. Malam dimana cahaya bulan tepat berada di atas
kepala.
Derak-derak kayu yang terbakar
membawa hawa panas. Api jingga kebiruan silih berganti menari bagaikan pasangan
di lantai dansa yang menjilat sebuah tali tambang yang terjulur begitu saja.
Mencuat dari seorang tubuh gadis yang terikat.
“Amelie, si darah pasir ini harus
kita bakar sekarang?!”
Seorang gadis bertudung coklat
lusuh berbicara.
“Tidak Anelise.”
Jawaban tegas menghentikan
semangat Anelise. Fokusnya kembali tertuju pada ritual. Mantra-mantra masih
mengalun. Para tudung coklat lusuh tampak mulai mengelilingi api unggun. Tangan
mereka kontan terangkat sekali diikuti teriakan rapalan yang kuat. Kemudian
disusul rapalan yang lemah ketika mereka bersimpuh di tanah.
Dyin bisa merasakan bahwa ritual
tersebut mulai bekerja pada dirinya. Tubuhnya mulai lemas dan semakin lama
indera perasanya kelu. Tiga jam digantung dan seminggu disekap sudah cukup
membuatnya merasa tersiksa dan kini ditambah dengan sebuah ritual aneh.
“Ini ganjaran yang setimpal
untukmu!”
Entah mengapa suara Amelie
kembali berdenging ditelinganya ibarat sebuah kaset yang diputar ulang. Imaji
Dyin kembali pada waktu dimana Amelie mendobrak paksa pintu rumahnya dan
mengganggu waktu liburnya. Amelie muncul begitu saja dengan segerombolan orang-orang
bertudung coklat lusuh, mengganggu keasyikan Dyin menonton dorama. Amelie dan kelompoknya melontarkan kata-kata dalam bahasa
yang tidak dia kenali seperti darah pasir atau ‘gedwee’. Disusul dengan membungkus Dyin begitu saja dan melemparnya
ke sebuah tempat yang – bagi Dyin – terasa seperti bagasi.
“Buat dirimu nyaman di sini!”
Kata Amelie dengan nada sarkasme yang dalam.
Dyin menjamah sekelilingnya,
matanya dengan cepat mencoba menyesuaikan. Kini dia berada di dalam sebuah
penjara bawah tanah. Jeruji-jeruji besih penjara tersebut terlihat kokoh namun
basah karena terkena rembesan air yang jatuh dari tumpukan bata. Bau lembab
begitu menyengat hidung, membuat napas seolah tertahan.
“Kastil Bayangan.” Batin Dyin.
“Tentu saja Dyin.”
Amelie seolah bisa membaca
pikiran Dyin dan dia menyebut nama Dyin seperti melafalkan kata “dying” yang bagi telinga Dyin terdengar
sangat mengganggu. Amelie hanya tertawa melihat ekspresi mual Dyin, dia
menembus begitu saja jeruji besi yang menghadang. Membuat tubuhnya tampak
seperti asap yang menyembul. Tudung coklat lusuhnya tersingkap dan menampakkan
rambut pirang sebahu.
“Amnesiamu sudah sembuh?
Berhentilah meniru Puteri kami, gedwee! Itu sangat tidak sopan!”
“Cukup!”
Seorang pria kekar masuk dengan
cekatan ke dalam penjara. Pria itu menarik tangan Amelie yang siap menampar
Dyin. Matanya menatap tajam Amelie sambil menggeleng.
“Biar upacara malam purnama yang
akan melakukannya. Tidak seharusnya tangan kita dikotori oleh seorang gedwee”
“Kau benar Ralie.” Jawab Amelie
sambil tersenyum licik.
Upacara yang mereka bicarakan
adalah Sacramento, sebuah upacara penyucian dan pemberian maaf bagi mereka yang
telah lancang mengusik keluarga tingkat atas Kastil Bayangan. Dyin telah
melakukan kesalahan dengan meniru secara habis-habisan Puteri Kastil yang menyamar
dan bersekolah di tempatnya. Dyin memang haus ketenaran, dia ingin dianggap dan
dipandang namun dia salah memilih target untuk ditiru karena Puteri Kastil
Bayangan sangat tidak suka akan sikap lancang Dyin ini. Kini Dyin harus
membayar semua perbuatannya. Penghuni Kastil Bayangan – mulai dari pelayan
hingga prajurit – membenci seorang gedwee, orang yang selalu meniru.
“Sacramento dimulai!”
Ralie berteriak memandang bulan,
membuyarkan kilas balik yang ada dalam angan Dyin. Rapalan mantra semakin tajam
terdengar membuat api berkobar menjadi sangat besar, Dyin hanya bisa pasrah.
Tubuhnya terbakar perlahan namun pasti. Upacara sudah dimulai dan tidak ada
yang bisa menghentikannya.
Aku duduk di atas kursi hitam berkilauan, tak jauh dari tempat
itu. Tersenyum bahagia.
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
pendek, tapi mencekam. langsung bisa kebayang horrornya gimana kak piit :D
BalasHapusterimakasih Ratri :-)
Hapuspesan moral buat "peniru"
BalasHapusYou got it :3
Hapusmembaca ini aku jadi kangen menulis .__.
BalasHapusKak Fia dan tulisannya yang membuatku nostalgia... meski yg ini nggak seserem/sehoror biasanya, hehehe ^__^
*lancing-->lancang (apa memang sengaja?)
pentucian-->penyucian
chaya-->cahaya
P.S: lanjutan cerita werewolfnya gimana Kak? hehe..
P.P.S: Sacramento itu sperti nama sebuah kota di Amerika bukan sih? ;P
-imouto_chan-
Ayo menulis :3
HapusSengaja gak terlalu serem, ceritanya mau belajar nulis yang terlalu sadis (._. )
Ah iya, itu spelling checknya (-_- ) Thanks koreksinya, sudah diganti :-)
Well yah,kemarin laptopnya rusak dan hilang. Datanya belum diback up - termasuk cerita itu - tapi semoga saja dicatatan fb masih ada jadi gak nulis ulang dari awal lagi
Iyaa siaap :3
Hapusehh aku nggak salah dengar kan? hehehe^^'
sama2 Kak ;3
I see .__. kalo upload tag aku ya Kak ;D habiswaktu itu plot ceritanya sudah lg seru2nya -3- hoho
-imouto_chan-