II
Mentari menatap lurus ke arah jendela. Kabut shubuh masih menyisakan dingin yang tak tertahan. Selimut biru tebal yang membebat tubuhnya semakin dieratkan.
"Ayah kenapa selalu menelpon sepagi ini" gumam Mentari dengan bibir yang bergetar.
Dengan posisi menyamping di depan pintu kamar dan selimut yang hampir membungkus separuh tubuhnya, Mentari merasa enggan untuk beranjak. Bahkan hanya untuk sekedar kembali ke peraduan kasurnya yang empuk.
"Apa gak terlalu berat?"
Mentari kembali mengingat obrolannya dengan sang Ayah tadi.
"Itu hanya keinginan Mentari. Lagipula yang terpenting bagi Mentari adalah dia mengerti bagaimana harus bersikap sesuai dengan ajaran agama. Mentari tahu Ayah lebih mementingkan sikap dibanding . . ." kata-kata itu menggantung begitu saja diudara.
Mentari tidak bermaksud menyakiti hati Ayahnya. Untuk urusan agama dan ketaatan, Mentari dan Ayahnya memang memiliki pandangan yang berbeda.
"Bagi Ayah asal kamu bahagia, apapun itu tidak masalah"
Kabut perlahan menghilang dari pandangan Mentari. Hawa dingin menusuk mulai menguap bersama cahaya fajar yang menyingsing. Mentari membelai lembut pintu kamarnya yang terbuat dari kayu jati.
BUK !
Tangannya melayangkan sebuah pukulan yang keras. Airmatanya membuncah.
"Ayah, suatu saat nanti apa mungkin pilihanku akan engkau terima?"
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do u think, say it !