Alunan piano terdengar jelas
ditelinga. Hamparan mawar putih menghiasi ballroom.
Tawa, ucap kata, decap mulut yang
mengunyah makanan, serta kilapnya lampu blitz
kamera mengisi hampir seluruh ruangan tersebut.
“Selamat ya Dinda, semoga
bahagia. Cepat dapat momongan” senyum lebar membuncah.
Dinda mengitari ballroom, dia mencari sosok seorang pria
yang selalu menemaninya.
“Raihan ! kamu makan terus ya” Dinda
menjewer telinga Raihan. Semua mata memandang mereka berdua, bisik dan tawa
kembali terdengar renyah.
“Pengantin wanitanya galak ya?”
“Waduh pasti sakit tuh”
Satu per satu komentar
bermunculan, suasana kembali meriah. Raihan menggerakkan bibirnya kelu,”sakit
ih”
“Makanya jangan kabur-kaburan.
Ada yang mau aku kenalin nih” desak Dinda.
“Aku laper” Raihan memasang wajah
memelas.
“Ya sudah”
Dinda berdiri melihat Raihan yang
menggosok ke dua tangannya, sigap untuk meraih hidangan yang tersedia. Sudut
mata Dinda seakan ingin meneteskan air mata. Ia teringat kembali segala
kenangannya bersama Raihan. Raihan yang sejak kecil menjadi pasangan setianya,
sahabat sejak dalam kandungan. Tiada hari yang dilewati Dinda tanpa adanya
Raihan bahkan hingga mereka dewasa.
Disisi lain, Raihan pun teringat
akan semua kenangan mereka. Bagaimana paras Dinda kecil yang berpura-pura
menjadi pengantin wanitanya. Paras Raihan yang cemberut karena dijadikan korban
oleh kakaknya.
“Udah, disini kan aku
sutradaranya. Raihan nurut ! Kamu jadi pengantin pria, Dinda pengantin
wanitanya”
“Aku gak mau kak, malu-maluin ih”
“Kalau udah gede nanti emang kamu
gak mau nikah sama Dinda? Dia kan cantik”
“ENGGAK ! Cengeng gitu”
Namun seiring waktu yang telah
berputar, perasaan itu pun muncul. Meresap perlahan mengikis sebuah kata
persahabatan. Raihan terlalu takut untuk mengakuinya. Gejolak cinta yang muncul
diantara sahabat. Raihan tidak ingin ketika dia menyatakan apa yang
dirasakannya, Dinda akan menganggap semuanya hanyalah ilusi karena mereka
sahabat. Raihan memilih untuk berdiam diri hingga pada akhirnya sebuah
kesempatan terbuka.
“Salah satu diantara kalian gak
ada nih yang mau jadi calonnya anak tante?” tanya Nurhalisa, Ibu Dinda,”Menurut
tante usia Dinda sudah pantas untuk dinikahkan dan kalian adalah calon yang
tepat”
“Ah tante bisa aja” jawab kakak
lelaki Raihan,”Raihan, kamu suka gak sama Dinda?”
“Udah selesai makannya? Udah
kenyang belum?” Dinda membuyarkan lamunan Raihan.
“Alhamdulillah, udah kenyang”
“Yuk”
Dinda segera menarik Raihan
berdiri.
Mereka berjalan menyurusi lautan
para undangan yang hadir. Gaun pengantin serta jilbab putih bersih Dinda
bergerak lembut mengikuti setiap sentuhan tubuh Dinda. Raihan menatap dari
belakang dengan jantung yang berdegup cepat. Hari ini nyata telah tiba.
“Mas, ini Raihan”
“Raihan, sini ada yang mau mas
kenalin. Ini teman kuliah Mas, namanya Jingga”
Raihan tersenyum lalu
memperkenalkan dirinya sebagai balasan perkenalan Jingga.
“Raihan, kamu temani temen Mas
makan ya” katanya seraya mengedipkan mata
Raihan terdiam beberapa saat.
Jingga menarik baju Raihan, memintanya untuk mencari tempat agar bisa makan dan
mengobrol. Raihan menemani Jingga menuju meja tempatnya makan. Dari sana dia
menatap Dinda dan kakak kandungnya yang sedang bercengkerama. Ya, hari ini
nyata telah tiba dan semuanya memang sudah sangat terlambat. Dia tidak mungkin
memutar kembali yang telah terjadi. Hari ini Raihan memang bahagia melihat
Dinda, gadis yang selama ini disukainya mengenakan gaun pengantin, namun sisi
lain hatinya sakit karena bukan dia yang menjadi pengantin pria untuk Dinda.
“Kami cuma sahabat Mas”
“Jadi? Kamu tidak ada rasa apapun
sama Dinda?”
“Kami sahabatan dari kecil. Cuma
itu aja Mas”
“Kalau kamu memang hanya
menganggap seperti itu, Mas bisa tenang. Mas suka sama Dinda,” kakak lelaki
Raihan menatap wajah Nurhalisa dengan sungguh-sungguh,”Tante, saya siap menjadi
pasangan Dinda asal Dinda juga mau”
Mereka hanya sekedar sahabat,
entah kenapa kini Raihan merasa prinsip itulah yang menghancurkan segalanya.
Di sudut ruangan Dinda menangis
dalam hati. Semua keputusan yang sekarang terjadi, dialah yang menentukannya.
“Kalau saja Raihan tahu yang aku
harapkan datang meminangku adalah dia” batin Dinda.
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do u think, say it !