Pertemuan pertama kami bisa
dibilang sangat memalukan. Aku menuduhnya sebagai penyusup di rumahnya sendiri.
Saat itu umur kami sekitar 6 tahun. Ibuku bekerja sebagai asisten rumah tangga
di rumahnya. Wajahnya yang kebingungan mendengar teriakanku masih membekas
hingga saat ini. Namanya adalah Adis. Putri pengusaha ternama di kotaku. Adis
adalah gadis yang mempesona. Perangainya yang berkilau tampak serasi membalut
fisiknya yang indah. Tanpa sadar aku jatuh hati. Aku menghabiskan hampir
sebagian besar masa kecilku dengannya. Kami selalu bersama apalagi ke dua orang
tuanya dengan baik hati menyekolahkanku di tempat Adis bersekolah.
Aku selalu berusaha untuk membuat
posisiku sejajar dengan Adis. Aku berusaha mendapatkan nilai yang bagus.
Sembunyi-sembunyi mempelajari berbagai macam hal yang Adis pelajari. Sudah
menjadi kebiasaan bahwa putri seorang pengusaha harus menghabiskan waktu untuk
kursus ini dan itu. Pernah sekali Adis mengajakku mengikutinya masuk ke kelas
kursus, ketika saat itu pula aku sadar perbedaan lingkungan kami. Beberapa
kumpulan anak tampak sibuk dengan berbagai macam benda elektronik yang sama
sekali belum pernah ku sentuh. Sejak saat itu aku berjanji pada diriku sendiri
agar suatu hari kelak bisa mandiri, punya usaha sendiri dan membuat posisiku
sejajar dengan mereka.
Akhirnya ketika berumur 21, aku
memutuskan untuk melanjutkan kuliah di kota lain. Ibuku yang sudah tua pun
berhenti bekerja. Perpisahan pertama kami. Aku ingat sekali wajah Adis yang
sendu. Jemari kecilnya mencoba menahan tanganku. Aku harus kuat. Aku ingin
memantaskan diri.
Tahun pun terus berganti,
komunikasi yang aku jalin dengan Adis terputus tepat disaat aku menerima
beasiswa keluar negeri. Cobaan berikutnya, tetapi sekali lagi aku berusaha
kuat.
Tahun pun berganti tanpa terasa.
Hari ini adalah pertemuan pertama
kami setelah perpisahan yang sangat panjang. Adis tumbuh menjadi gadis yang
lebih mempesona. Kami janjian bertemu di café yang tak jauh dari kantorku.
Akhirnya aku bisa menunjukkan ini semua padanya. Statusku sudah sejajar dengannya.
Aku bercerita panjang lebar tentang perusahaan yang aku pegang saat ini. Adis
mendengarkan dengan baik.
“Mungkin . . . .” perkataanku
mulai tersendat, aku sudah menantikan momen ini sejak tadi.
Adis menghentikan suapan
spaghetti.
“Mungkin ini saat em . . .
maksudku . . . aku sudah berusaha sebaik mungkin agar sejajar denganmu. Aku . .
. mencoba memantaskan diri. Aku yang sekarang . . . apa kamu . . . apa Adis mau
menerima ini?”
Tanganku gemetar mengeluarkan box
berisi cincin emas putih. Aku tidak berani menatap Adis.
Satu detik
Dua detik
Adis tertawa. Aku mengangkat
wajah.
“Selama ini . . . .” Adis sedikit
menghela napas, “aku juga berusaha memantaskan diriku. Adis si putri istana.
Kadang aku merasa benci mendengar hal itu. Kau tahu Ram, aku berusaha memasak,
mencuci, bahkan melakukan semuanya agar bisa hidup bersama denganmu.
Kepergianmu lah yangmembuatku sadar.”
Aku terkejut mendengar hal itu.
Adis tersenyum cantik sekali lalu
berkata, “aku menerimanya.”
"Ketika proses memantapkan diri telah siap, tahap selanjutnya adalah keberanian untuk melangkah maju apa pun jawabannya."
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do u think, say it !