Hai, aku adalah si pembuka. Aku membawa
sebuah benda berharga kemana-mana. Kunci pembuka jiwa, begitu mereka
menyebutnya. Tugasku adalah mengeluarkan jiwa-jiwa kelam agar dapat kembali
pada wadahnya, manusia.
Halo, aku adalah si pengunci. Aku telah mengunci banyak sekali jiwa kelam di dalam tubuhku. Tugasku adalah menjaga agar jiwa-jiwa tersebut tidak kembali pada wadahnya, manusia.
*
Ini adalah catatan perjalanan si pembuka dan pengunci melepaskan jiwa-jiwa. Ada yang berjalan mudah dan tak jarang berjalan sangat sulit. Kadang mereka berdebat dan kadang saling membantu. Mari kita mulai.
*
TERIAKAN
SARI
Alarm
berbunyi nyaring di rumah si pengunci. Ada sebuah kedip jingga di salah satu
kotak bernama.
“Tugas!”
Si pengunci berseru nyaring. Ia
melempar serbuk berkilau ke udara dan tring
. . . seketika itu juga ia menghilang.
Tiga
hari yang lalu . . .
Suasana
sekolah sudah mulai sunyi. Beberapa menit yang lalu, tepat ketika bel berbunyi
para siswa berlarian meninggalkan ruang kelas. Menyisakan para guru di ruangan
mereka. Merapikan tumpukan kertas ulangan dan sedikit berbincang mengenai
kelakuan siswa masing-masing. Sementara itu dibeberapa ruang kelas tampak siswa
yang sibuk memegang sapu, melaksanakan tugas piket harian. Ada yang mengangkat
bangku ke atas meja, membersihkan papan tulis, serta membuang sampah ke bak
pembuangan. Setiap anak memiliki tugasnya masing-masing. Namun di salah satu
kelas, terlihat seorang gadis berambut ikal yang melakukan semua tugas tadi
sendirian. Dua puluh bangku diangkatnya dengan sekuat tenaga. Setelah itu
tangannya mulai cekatan menyapu lantai. Sesekali ia menghela napas. Kejadian
ini tidak hanya terjadi sekali tetapi berkali-kali.
“Sari, hari ini aku harus menemani mama
ke pasar. Gantian kamu yang piket ya.”
“Sari, aku harus buru-buru pulang. Ada
hal penting yang harus aku lakukan.”
Selalu saja teman-temannya memiliki alasan
untuk meninggalkan tugas piket. Sebenarnya Sari ingin sekali berkata bahwa ia
keberatan jika harus melakukan semuanya sendiri. Namun pada akhirnya yang
keluar dari mulutnya adalah kata yang meng-iya-kan ini semua terjadi.
“Kenapa sih susah banget bilang tidak?”
Gumam Sari pada dirinya sendiri.
“Kau
saja yang kurang berusaha.”Jawab si pembuka.
Sejak tadi ia duduk di atas meja, dekat
dengan posisi Sari berdiri. Tentu saja Sari tidak dapat melihat bahkan
mendengar perkataan si pembuka barusan.
Sari
Lulanita. Nama itu yang muncul pada kotak tugas miliki si pembuka. Kali ini ia harus
melepaskan jiwa kelam gadis itu. Ya, setiap orang pasti punya satu sisi kelam
di dalam dirinya. Hampir sebagian besar sisi kelam itu terkunci rapat-rapat.
Tidak semua sisi kelam bersifat buruk karena ada beberapa bagian dari sisi itu
yang sengaja terkunci untuk menunggu waktu yang tepat.
Hampir
sejam Sari membersihkan ruang kelas sendirian sebelum akhirnya ia bisa pulang
ke rumah. Dalam perjalanan pulang, Sari menerima sebuah pesan singkat dari sang
kakak untuk membeli susu coklat di sebuah toko.
“Aku harus jalan memutar dong, kan
jauh!” Gerutu Sari sambil menekan balasan yang tentu saja berbeda dari
gerutuannya barusan.
“Anak
ini aneh sekali.” Si pembuka memutar bola matanya bingung.
*
Sudah dua
hari si pembuka mengikuti Sari. Ia mengamati segala tingkah laku Sari untuk
mencari pemicu yang bisa membuatnya mendapatkan kunci pembuka jiwa. Memang
hanya si pembuka yang bisa melepaskan jiwa-jiwa tersebut, tetapi ia juga
membutuhkan sebuah ‘ijin’ dari si pemilik jiwa. Oleh karena itu, ia selalu
memantau setiap jiwa yang ingin dilepaskannya. Biasanya di saat seperti ini, si
pengunci akan muncul dan mencoba menghentikannya. Namun entah kenapa sejak hari
pertama memantau, si pengunci tidak juga menampakkan dirinya.
“Sari! Sari!” Sang Kakak menepuk
tangannya di depan wajah Sari.
“Eh kenapa Kak?”
“Ck! Tahun ini kan kamu sudah lulus
sekolah menengah atas, Ayah nanya kamu mau lanjut kuliah di jurusan apa?”
“Eh . . . itu . . .”
“Kuliah yang sama denganku saja.” Sang
Kakak memotong dengan cepat.
“Sania, biarkan adikmu yang menjawab.”
Sang Ayah mencoba menengahi.
“Sari pasti mau kok. Buktinya Sari
sering bantuin Sania ngajar murid-murid yang les. Itu tandanya Sari juga mau
kuliah pendidikan bahasa sama kayak Sania.”
“Enak
saja! Aku mau jadi penulis! Selama ini aku bantuin Kak Sania karena kasihan
melihat Kak Sania repot. Tidak lebih.”
“Nanti Sari pikirkan lagi.” Akhirnya
sebaris kalimat itulah yang keluar dari mulutnya.
“Tuh, apa kata Sania. Sari pasti mau
kuliah di tempatnya Sania. Tenang saja, pasti Kakak bantu.”
“Gak
usah. Terima kasih.”
“I-i-iya Kak.” Sekali lagi kata yang
keluar berbeda dari apa yang terucap dihatinya.
Si
pembuka tersenyum puas. Kejadian di meja makan malam itu membuatnya tahu apa
yang harus dilakukan.
*
Hari ke tiga.
Si pembuka memutuskan untuk melepas jiwa kelam milik Sari di hari ini juga.
Tidak seperti tugas yang ia dapat sebelumnya, yang butuh waktu hingga sebulan
untuk memantau. Tugas kali ini termasuk mudah.
“Namamu sudah aku masukan ke daftar
mahasiswa baru di kampus ku loh Sar.” Sang Kakak membuka pembicaraan.
“Nah
ini dia.” Si pembuka menggerakkan ke dua kupingnya.
“Apa!”
Sari yang sejak tadi asyik menulis,
berteriak kaget.
“Ih biasa aja kali. Kakak tahu kamu
pasti senang. Bla bla blab la . . .”
Sari tidak sanggup lagi mendengar
setiap kalimat yang diucapkan kakaknya. Selama ini dia sudah berusaha keras
untuk menekan teriakan penolakan. Entah itu dari teman, kakak, atau bahkan ke
dua orang tuanya.
Sari
bisa bertahan dengan berlari ke dunia menulis. Dimana ia bisa menumpahkan apa
yang sebenarnya ada di kepalanya. Tapi entah kenapa, sejak dua hari yang lalu
ia merasa ada sebuah hasrat untuk memberontak. Ia ingin sekali berteriak pada
semua orang tentang apa yang sebenarnya ia rasa dan pikirkan. Seperti ada
sebuah arwah aneh yang merasuki tubuhnya. Memaksa satu sosok lain di dalam
dirinya untuk keluar.
“Satu
. . .”
Si pembuka memutar badannya yang bulat
di udara. Ritual membuka jiwa sudah mau ia mulai.
“Dua
. . .”
Ke dua telinganya yang panjang bersinar
terang. Ada siluet-siluet yang terpancar dari sana bagaikan kolase yang
terbang.
PLOP!
Tepat di saat si pembuka ingin
mengucapkan kata ‘tiga’, si pengunci
muncul di hadapannya.
“Kenapa
kau muncul disaat seperti ini?” Gerutu si pembuka.
“Hoam.
Lanjutkan saja. Aku tidak peduli sama yang satu ini.” Kata si
pengunci santai.
Jangan
bayangkan mereka akan bertengkar. Meskipun memiliki tugas yang berbeda dan
sering berdebat, sebenarnya mereka adalah dua sahabat karib. Terkadang si
pengunci membantu si pembuka untuk melepaskan beberapa jiwa. Dan kadang si
pembuka mengurungkan niatnya untuk membuka jiwa. Sepertinya tugas kali ini
menjadi sangat mudah karena si pengunci memutuskan untuk muncul di saat
terakhir. Membantu si pembuka melancarkan ritualnya. Dengan adanya si pengunci
di dekat pemilik jiwa dan si pembuka maka jiwa yang ingin dilepaskan akan cepat
masuk ke wadahnya, manusia.
“Tiga
. . .”
Siluet-siluet
tadi terbang dengan sangat cepat menuju Sari. Hanya butuh waktu beberapa detik
hingga akhirnya Sari berteriak. Ia seakan baru saja menenggak ramuan kejujuran.
Ia dengan lantang menolak mentah-mentah apa yang diucapkan kakaknya. Tegas
sekali ia menjelaskan bahwa keinginannya adalah menjadi penulis dan tidak
peduli dengan apapun yang berkaitan dengan mengajar. Sang kakak hanya bisa
terpaku. Hari itu menjadi hari yang baru untuk Sari yang baru.
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do u think, say it !