V
Ayah sedang asyik
membaca koran hari ini sambil menikmati secangkir kopi hitam di taman depan
rumah. Dari dapur aku bisa melihat wajah Ayah yang semakin menua. Tak jauh dari
Ayahku duduk, pria lain yang kusayangi pun sedang menikmati secangkir kopi
sambil membaca koran. Mereka berdua tampak menikmati dunia sendiri.
“Aku mau masuk dulu”
suara kaku pria yang kusayangi terdengar jelas.
Pria itu berjalan ke
arahku sambil tersenyum masam. Aku tahu dia tidak nyaman dengan kehadiran Ayah
di rumah kami tapi aku tidak bisa berbuat banyak. Sejak Ibu dirawat di rumah
sakit, Ayah tidak bisa ditinggal sendiri. Di usianya yang semakin senja Ayah
juga memerlukan perhatian khusus dan sebagai anak semata wayangnya, aku harus
melakukan hal tersebut meskipun rasa engganku telah menggerogoti hatiku.
“Katamu hanya dua hari”
pria yang kusayangi menarikku ke dalam kamar dan mulai marah.
“Mau bagaimana lagi,
aku kira Ayah bakal pergi dengan sendirinya tapi ternyata Ayah masih betah
disini. Lagipula kita gak bisa biarin Ayah tinggal sendirian, bagaimanapun juga
dia masih Ayahku dan mertuamu”
“Alasan ! Kamu kan bisa
bilang sama Ayah kalau kamu gak betah Ayah disini. Kita pengantin baru, sudah
seharusnya Ayahmu itu mengerti !!” suaranya mulai meninggi.
“Pelankan sedikit
suaramu”
“Biarkan saja !! Supaya
Ayahmu bisa dengar semuanya. Sudah sejak awal dia tidak setuju hubungan kita !!
Aku yakin sekarang Ayahmu disini karena ingin memisahkan kita !” dia mulai
berteriak.
“Tolong jangan bicara
seperti itu tentang Ayah” airmataku mulai menetes.
“Kenapa? Bukannya kamu
juga bosan dengan tingkah Ayahmu itu? Bosan dengan semua janji – janjinya?”
Aku terdiam. Memang
benar aku bosan dengan semua janji Ayah dan merasa kecewa dengan janji – janji
itu tetapi Ayah tetaplah Ayah.
“Sudah berhenti
menangis” dia menarik tanganku dengan kasar.
Tok tok tok . . .
“Flora?” suara Ayah
terdengar lembut menyapa dari depan pintu.
Aku berlari dengan
cepat ke arah pintu sambil menghapus jejak airmata yang tadi sempat mengalir.
“Ada apa Yah?” aku
mencoba berbicara dengan intonasi yang tenang.
“Ayah mau pulang ke
rumah. Kata dokter Ibumu sudah bisa dirawat di rumah. Maaf Ayah telah
merepotkan kamu”
Sebuah tas besar telah
tersampir dibahu Ayah. Sepertinya Ayah mendengar pertengkaran kami tadi.
“A-Ayah”
“Sudah tenang saja,
Ayah bisa pulang sendiri kok”
Sepi. Siluet Ayahpun
menghilang dengan cepat. Rasa hampa menyergap ke dalam ragaku. Kenangan dan
rasa seperti ini pernah ku alami dulu.
*
Membiarkan semuanya
berjalan dengan semestinya malah membuat hidupku terasa semakin suram. Bayangan
Siska di dalam hidupku semakin terasa. Di rumah, Ibu selalu mengutamakan Siska
sedangkan didalam lingkaran persahabatan kami James lebih memilih Siska
dibanding aku. Dan hanya menunggu waktu yang tepat hingga akhirnya James benar
– benar memilih Siska sebagai pendamping hidupnya.
“Ini akibatnya berdamai
dengan keadaan !!” aku mulai membenci perkataan Ayah.
“Semua pasti ada
hikmahnya Ra” Alvin selalu mencoba menenangkanku.
“Iya memang ada ! Aku
tidak boleh berhenti membenci Siska. Dia sudah merebut semuanya dariku” aku
berteriak marah dan meninggalkan Alvin terpaku sendirian di taman.
Hari berganti hari,
masa kuliahku terlewati dengan berkonsentrasi mengalahkan Siska serta merebut
semua hakku yang diambilnya. Aku mulai berhenti berbicara kepada Ayah dan Alvin
mengenai semua rencanaku. Menurutku itu percuma karena mereka akan selalu
memintaku untuk berdamai dengan keadaan, bersikap bijak, atau apapun itu. Omong
kosong.
Sekarang yang aku
yakini adalah aku harus merebut kebahagiaanku sendiri. Cara apapun akan ku
tempuh. Pertama, aku harus merebut kasih sayang Ibu dari Siska. Untuk
mewujudkan hal tersebut aku selalu mencoba bersikap semanis mungkin terhadap
Siska agar Ibu bisa sedikit bersimpati padaku. Prestasiku di kampus juga harus
aku tingkatkan agar Ibu semakin senang dan bangga padaku melebihi Siska.
Bersikap baik pada
Siska membuahkan hasil yang sangat bagus. Siska sangat mempercayai aku sehingga
aku dengan mudah bisa menghancurkan semua rencananya. Menghancurkannya dari
dalam jauh lebih gampang dan menyakitkan. Lagipula, dia tidak akan pernah
menyangka aku yang kemudian akan menghancurkan hidupnya.
Rencana pertamaku untuk
meraih cinta Ibu telah berjalan sukses, dan rencanaku untuk merebut James pun
telah berjalan dengan mulus bahkan sebelum aku menjalankan rencana tersebut.
Belakangan ini Siska dan James sering sekali bertengkar entah apa alasannya.
Yang jelas James selalu mencariku untuk berbagi keluh kesah. Tidak ada yang
lebih indah dibandingkan hal ini.
“Sudah ada waktu untuk
Ayah?” Ayah menerobos begitu saja ke dalam kamar.
Sudah hampir empat
tahun aku tidak berbincang banyak dengan Ayah. Aku selalu berlari dan mencari
alasan untuk tidak berbicara berdua saja dengan Ayah. Entah sejak kapan cara
Ayah berbicara padaku pun berubah. Dulu Ayah selalu menyebut namaku seolah aku
masih gadis kecilnya namun sekarang Ayah memperlakukanku selayaknya anak
gadisnya yang telah dewasa.
“Eh ada apa Yah?”
“Pola hidupmu semakin
berubah sejak kamu dewasa. Alvin sering menanyakan kabarmu. Sekarang dia sudah
bekerja di perusahaan ternama di Amerika”
“Baguslah” kataku
singkat.
“Kenapa kamu tidak
pernah menghubunginya lagi?” Ayah mencoba bertanya sambil meneliti koleksi
bukuku, seperti kebiasaan Ayah selama ini.
“Aku sibuk Yah”
“Sibuk apa
menghindar?”Ayah menatapku sekilas lalu beralih ke jejeran buku,” Ayah tahu
kamu menghindari Ayah dan Alvin karena kita selalu menasehatimu untuk tidak
melakukan hal yang aneh – aneh terhadap Siska”
“. . . .”
“Apa yang selama ini
Ayah katakan padamu hanya angin lalu?”
“Aku . . . aku tidak
mengerti apa kata Ayah” jawabku gugup.
“Kamu mengerti, sangat
mengerti. Ayah sudah berjanji untuk mengembalikan langkahmu yang berbelok ke
jalan yang salah. Sejauh ini Ayah lihat, kamu telah berjalan ke arah yang
salah. Siska tidak seburuk apa yang bergejolak dipikiranmu.”
Sekarang Ayah membela
Siska? Aku tersentak dengan pernyataan Ayah itu.
“Ayah juga berjanji
untuk membiarkan aku meraih kebahagiaanku” desisku menahan marah.
“Tapi ini bukan
kebahagiaan yang sebenarnya. Flora, coba gunakan hatimu untuk melihat ini
semua”
“Ayah sudah janji !!
Ayah sudah janji untuk membiarkan aku meraih kebahagiaanku dan inilah caraku”
amarahku mulai tersulut.
Ayah menghela napas dan
memandangiku dengan tatapan sedih. Aku tidak tahan melihat tatapan mata itu.
Aku memilih menundukkan pandanganku.
“Baiklah. Tapi kamu
harus ingat, kebahagiaan yang terbentuk dengan merebut kebahagiaan orang lain
bukanlah kebahagiaan sejati. Itu hanyalah napsu belaka. Dan Ayah minta, jauhi
James. Kamu tidak tahu seberapa busuknya dia. Siska sudah menceritakan semuanya
pada Ayah”
Aku mengepalkan
tanganku. Tahu apa Ayah tentang kebahagiaanku? Bukankah selama ini justru Siska
yang telah merebut semuanya dariku? Kenapa Ayah melarangku mendekati James?
Entah apa yang telah Siska katakan hingga sekarang Ayah berpihak padanya.
continue . . .
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
ini flashback ya? oh jadinya flora nikah dengan james. tapi kayaknya bagian ini terlalu cepat alurnya.
BalasHapussetuju sama bang uz-ay. tapi tetep keren. gue aja belum tentu bisa nulis kayak gini.hehehe
BalasHapus