IV
Kata
orang, cinta pertama adalah cinta yang paling sulit dilupakan. Dia menelisik
jauh ke dalam hati kita secara perlahan, tanpa kita sadari. Itulah yang terjadi
padaku ketika bertemu dengan seorang lelaki di tempat kursusku. Nama lelaki itu
adalah James Aji Wijaya. Seorang lelaki blasteran Belanda – Jawa yang terlihat
begitu bersinar dimataku.
“Ganteng
banget” desisku saat James melintas dan melambaikan tangannya padaku.
“Iya
udah tahu. Kalau dihitung – hitung udah hampir seribu kali kamu ngomong kayak
gitu Ra” Alvin menanggapi dengan sinis.
Ah
aku hampir lupa, entah bagaimana caranya berminggu – minggu kemudian aku dan
Alvin menjadi sangat dekat. Awalnya hal tersebut membuahkan gosip tak sedap di
area sekolah. Banyak yang mengatakan jika hubunganku dengan Alvin melebihi
hubungan pertemanan namun seiring berjalannya waktu, gosip tersebut hilang
selayaknya debu yang terbawa oleh angin.
Lagipula
sejak awal memang aku telah berjanji untuk tidak menyukai Alvin melebihi rasa
sukaku terhadap seorang teman atau sahabat. Sikap Alvin yang mirip dengan Siska
membuatku takut untuk menjalin hubungan lebih dengannya. Dan sekarang aku telah
memilih tambatan hati sendiri, James.
“Bagaimana
kabar pangeran Belandamu?”
“Makin
matang Yah, ternyata dia pintar banget” jawabku bersemangat.
Mungkin
ini terdengar aneh tetapi aku lebih suka membagi ceritaku dengan Ayah dibanding
beberapa sahabatku. Masalah apapun pasti akan ku ceritakan kepada Ayah,
termasuk masalah hati. Ayah selalu bisa memberikan tanggapan baik akan hal yang
aku ceritakan. Terkadang Ayah bersikap selayaknya sahabat yang memeluk segala
ceritaku dengan santai namun terkadang Ayah bersikap selayaknya seorang kepala
keluarga yang ingin menjaga putri kecilnya.
“Baguslah,
jadikan itu penyemangat buat belajar. Ingat, Flora sudah kelas tiga dan
sebentar lagi mau UAN. Fokus sama masa depan dulu” sepertinya malam ini Ayah
berperan sebagai seorang Ayah.
“Kan
cinta juga ada hubungannya sama masa depan Yah” kataku sambil nyengir.
“Ya
sudahlah, nanti kalau sibuk Flora juga bakal lupain masalah ini”
Sekali
lagi Ayah benar. Semenjak mempersiapkan diri menghadapi UAN, aku mulai berhenti
memikirkan James dan segala macam hal yang berkaitan dengannya. Aku fokus untuk
meraih prestasi sekali lagi dan membuat bangga Ayah. Ayah, Ibu, Alvin, bahkan
James banyak membantuku. Rasanya sangat menyenangkan memiliki orang – orang
yang selalu memberikan energi positif padamu. Segala sesuatu yang terlihat
menakutkan berubah menjadi mudah seketika itu juga.
Dan
pada akhirnya hari – hari berat pun terlewati dan masa indah kembali
menghampiriku sekali lagi. Aku diterima disebuah perguruan tinggi ternama di
kotaku bersama dengan Alvin dan juga James. Aku, Alvin, dan James menjadi tiga
sahabat yang tidak terpisahkan. Rasa cintaku pada James kini tumbuh semakin
besar. Mungkin dulu karena kesibukan yang ada aku bisa sedikit melupakan
masalah ini, namun seiring berkembangnya waktu aku menyadari satu hal bahwa
rasa ini tumbuh semakin dalam dan mengakar kuat.
Awalnya
aku merasa tidaklah mengapa jika rasa ini tidak tersampaikan pada James selama
aku masih bisa melihatnya dari jarak dekat dan menjadi orang pertama yang
mengetahui semua tentangnya. Namun, kehadiran Siska di rumahku sekali lagi
membuat aku tidak bisa berdiam diri saja.
*
“Siska
sering ngirim email ke Flora kok,
tapi tidak pernah ada balasan. Siska pernah sesekali telpon ke rumah, cuma
diangkat sekilas terus sambungannya terputus. Siska pikir Ibu sekeluarga lagi
sibuk makanya Siska mutusin gak hubungi ke rumah lagi” Siska menjelaskan
panjang lebar kepada Ibu yang tadi mengatakan kekecewaannya.
Aku
menghela napas dari sudut ruangan, berharap kehadiran Siska hanyalah mimpi
belaka. Tetapi ketika melihat tatapan tajam Ibu, aku sadar ini adalah
kenyataan. Kenyataan yang teramat pahit.
“Flora,
kenapa kamu tega berbohong sama Ayah dan Ibu?” Ayah mendekatiku sambil berbisik
perlahan.
“Ayah
tahu kan kalau Flora gak suka sama dia” aku melemparkan pandanganku pada Siska
yang masih asyik bercerita.
Ayah
terlihat kaget dengan penyataanku.
“Ayah
kira Flora sudah berdamai dengan keadaan”
“Flora
memang sudah berdamai dengan keadaan tapi Flora tidak bisa berdamai dengan rasa
sakit hati”
Aku
melengos begitu saja setelah mengatakan hal itu. Masa bodoh jika akhirnya Ayah
atau Ibu akan memarahiku. Aku hanya ingin mereka sadar bahwa aku tidak suka
Siska merebut semua yang telah aku miliki saat ini.
“Siska
ada disini” aku berbisik perlahan di telepon.
Selain
Ayah, aku masih memiliki Alvin yang telah tahu semua ceritaku tentang Siska dan
rasa sakit yang tanpa sengaja dia ciptakan. Meskipun suka pada James, aku lebih
memilih untuk bercerita kepada Alvin.
“Ya
udah biarin aja. Jangan sampai rasa kesalmu bikin semuanya hancur. Kamu kan
sudah berubah banyak dan jadi jauh lebih hebat dibanding Siska” suara Alvin
terdengar berapi – api dari seberang.
Aku
hanya bisa tersenyum simpul menanggapi komentar Alvin. Sejam kemudian terlewati
dengan semua curhatan kekesalanku. Alvin yang sesekali ku ejek memiliki
perangai yang mirip dengan Siska menanggapi semuanya dengan bijak dan bagiku
ini sangat aneh.
“Obrolan
dengan Alvin masih mau berlanjut?”
Teguran
Ayahlah yang membuat sambungan itu terputus. Ayah masuk ke dalam kamarku sambil
tersenyum ramah, selalu seperti itu.
“Kalau
Ayah mau memarahi Flora, silahkan saja” kataku kesal.
“Ayah
gak mau marah kok” tangan Ayah menarik sebuah buku tebal dari jejeran rak
buku,”kamu sudah pernah baca buku ini kan?”
Ayah
menunjukkan sampul buku tebal tersebut. Buku bersampul cokelat lusuh itu
terlihat sedikit berdebu. Terakhir kali aku membaca buku itu adalah ketika SMP
tapi aku masih mengingat dengan jelas apa isi buku tersebut. Buku itu bercerita
tentang seorang pengembara yang suka sekali membohongi penduduk desa dan pada
akhirnya meninggal karena kebohongannya sendiri.
“Masih
ingat ceritanya?”Ayah kembali bertanya.
Sepertinya
aku tahu kemana arah pembicaraan Ayah. Aku pun mengangguk pasrah, apapun yang
akan Ayah katakan nanti sebaiknya aku terima.
“Untunglah
Flora masih ingat. Ayah takut Flora berubah menjadi sang pengembara.”
“Maafkan
Flora”
“Iya,
sudah Ayah maafkan. Ayah tahu Flora masih sakit hati dengan kedekatan Ibu dan
Siska, tapi coba Flora sedikit berbesar hati. Siska sudah kehilangan seluruh
anggota keluarganya, dia hanya memiliki kita. Coba bayangkan kalau Flora berada
diposisi Siska, apa yang Flora rasakan jika keluarga tempat bertumpu Flora
bersikap seperti sikapnya Flora ke Siska?”
Bulir
airmata perlahan menetes dipipiku. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan
terjadi padaku jika kehidupanku dan Siska ditukar. Rasanya pasti sulit dan
sedih sekali. Ayah mengusap punggung kepalaku, mencoba menenangkan kesedihanku.
“Flora
bakal minta maaf ke Siska, Yah. Makasih sudah mengingatkan Flora”
“Iya,
itu sudah kewajiban dan janji Ayah”
*
Aku
mulai berdamai sekali lagi dengan Siska. Aku mencoba bersikap sebaik mungkin
dan menjaga perasaan Siska serta Ibu. Sebagai langkah awal, aku mengijinkan
Siska untuk masuk ke duniaku dengan mengenalkannya pada ke dua sahabatku, Alvin
dan James. Namun, sesuatu tak diduga pun terjadi dan keteguhanku buat berdamai
pun goyah.
“Siska?”
“James?”
Siska
dan James saling bertatap kaget saat aku coba memperkenalkan mereka. Bukan
hanya mereka yang kaget, bahkan aku dan Alvin pun sempat tertegun lama menatap
Siska dan James yang akhirnya berbicara sangat akrab.
“James
ini teman satu sekolahku di Singapura dulu tapi dia mendadak pindah” jelas
Siska.
Aku
dan Alvin pun mengangguk paham. Relung rasa sakit membuncah lagi. Ya Tuhan,
kenapa setiap aku ingin berdamai dengan Siska selalu saja ada hal yang mengusik
semuanya?
“Makasih
ya Ra” kata Siska sambil tersenyum tulus saat kami berjalan menuju rumah.
“Terimakasih
untuk apa?” tanyaku heran, bukankah selama ini aku selalu bersikap sinis
padanya?
“Berkat
kamu, aku bisa ketemu sama James lagi. Dia cinta pertamaku”
Seperti
disiram air es seember penuh tubuhku pun membeku, kaku ditempat.
*
“Jadi?”
Alvin kembali bertanya setelah aku berbicara panjang lebar mengenai perasaan
Siska terhadap James.
“Ya
ampun Vin, masa kamu gak ngerti sih. Aku sudah bosan jadi rivalnya si Siska dan
selalu saja kalah. Entah dalam urusan sekolah maupun meraih cinta Ibu. Masa
sekarang . . .” kata – kataku menggantung diudara begitu saja. Kemungkinan
terburuk pun meluncur dengan cepat di kepalaku.
“Jalani
aja dulu Ra. Belum tentu juga kan si James suka sama Siska”
“Benar
kata temanmu” Ayah muncul mendadak dari pintu.
Aku
memajukan bibirku dan merengut, bukan karena Ayah yang sepertinya menguping
pembicaraan kami tetapi karena Ayah selalu mendukung perkataan Alvin.
continue . . .
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Meskipun aku gak baca dari awal part nya..tapi aku suka ceritanya.. gak ngebosanin :)
BalasHapusjadi kangen sosok papa, hiks :'(
Di sini baru ngerti kenapa alvin sama dengan siska karena sama-sama populer toh... wah kebetulan sekali james cinta pertama siska, gw penasaran sebenarnya ada apa di balik alvin dan ayah yang memiliki sifat sama.
BalasHapusceritanya seru nih..
BalasHapusjadi bikin penasaran terus..
hehehehe
mampir juga di blog ane ya
tolong skalian di follow n dkomen juga yah
hehehe
:)