III
“Sudah
malam, sebaiknya kita tidur biar kau juga bisa tenang sayang”
Pria
yang di sampingku kini menarikku perlahan, menjauhkanku dari bayangan kesedihan
yang mulai menggerogoti hatiku. Dan dia memang benar, saat ini aku sangat membutuhkan
ketenangan seperti yang dulu pernah ku rasakan. Sejak Ayah kembali memutuskan
untuk memantau kehidupanku lagi, semua ketenangan rasanya sirna. Ayah memang
masih tidak berkomentar banyak atas apa yang terjadi kini namun tatapan mata
serta sikapnya telah menjabarkan semuanya.
*
Setelah
dikabarkan mendapatkan beasiswa, sebulan kemudian Siska meninggalkan rumah kami
dan melanjutkan sekolahnya di Singapura. Seluruh biaya hidupnya kini ditanggung
oleh sebuah lembaga. Ini adalah kabar gembira bagiku karena aku tidak perlu
berbagi kehidupan bahagiaku dengannya. Aku memang kejam tetapi ini kehidupanku
dan aku merasa cukup membaginya untuk Siska.
“Mau
melihat – lihat sekolah barumu?” Ayah tersenyum sambil menyeruput kopi hitam.
“Iya
Yah, jam empat Flora mau kesana”
Ayah
menangguk dan kembali menatap siaran televisi. Jika sudah begini Ayah tidak
boleh diganggu. Jam dinding dirumah menunjukkan pukul satu, masih ada beberapa
jam ke depan untuk menengok sekolahku yang baru. Hampir setahun menjalani hari
– hari yang cukup melelahkan di SMA terdekat, aku dengan susah payah membujuk
ke dua orangtuaku untuk memindahkanku ke sekolah yang sekarang. Aku ingin
menghilangkan semua bekas kenangan bersama Siska. Mungkin aku telah berdamai
dengan keadaan namun rasa sakit di dalam dadaku tetap ada.
“Flora,
bisa bantu Ibu sebentar?” tanya Ibu yang tampak sibuk membungkus pesanan.
“ya
Bu”
Secepat
kilat aku berlari membantu Ibu. Kehidupan yang dulu telah kembali bahkan jauh
lebih baik. Hubunganku dengan Ibu semakin dekat dan Ibu tidak pernah meremehkan
aku lagi. Sebagai anak, aku juga ingin terlihat membanggakan dimata Ibu. Aku
mulai memperbaiki diriku menjadi gadis yang lebih patuh dan santun seperti yang
selama ini Ibu inginkan.
“Siska
sudah membalas emailmu?” Ibu membuka
pertanyaan yang sama seperti kemarin.
“belum
Bu” aku mencoba menjawabnya dengan nada yakin.
“Aneh
sekali, apa mungkin dia sibuk sekali disana ya?”
“Mungkin
saja Bu”
Kenyataannya
malah aku yang tidak pernah membalas email
yang Siska kirimkan selama ini. Jika dia mengirimkan email berkali – kali baru aku membalasnya, itupun dengan kalimat
seperlunya saja. Entah beruntung atau tidak,
Ayah dan Ibu sama seperti orang tua lain di kompleks perumahan ini tidak
mahir memanfaatkan fasilitas internet yang ada. Hal ini memudahkanku untuk
menjauhkan Ibu dari Siska.
*
Pohon
cemara berjejer rapi diseputaran lapangan parkir. Suasana sore yang tenang
tergambar jelas di sekolah ini. Tampak beberapa murid berlari menuju pelataran
parkir yang terlihat agak legang. Pak satpam yang siap siaga menjaga pintu
gerbang tersenyum ramah. Satpam itu bernama Sudino, orang jawa yang aksen
ngapak yang sangat kental. Dia mempersilahkan aku masuk kesini tanpa bertanya
banyak hal. Sepertinya dia mempercayai penampilanku yang tampak seperti anak
gadis baik – baik.
“Awas
!!”
Buk
. . .
Sebuah
bola basket mendarat mulus dikeningku. Hawa segar dan ketenangan yang tadi coba
kubayangkan menghilang begitu saja dari kepalaku, digantikan oleh rasa sakit
yang berdenyut cepat.
“Kamu
tidak apa – apa?”
“Mana
ada orang yang dicium bola basket baik – baik saja” teriakku.
“Maaf”
Seorang
lelaki bertubuh tinggi menampakkan wajah penyesalannya. Jika ini drama televisi,
aku yakin akan ada scene dimana pemeran
utama wanita yang kepalanya terkena hantaman bola mendadak jatuh cinta pada
pemain basket yang tidak sengaja melemparkan bola tersebut dan sebuah backsound selama beberapa menit akan
menghiasi tatapan love at the first sight
diantara ke duanya. Tetapi hal itu tidak terjadi padaku, lelaki yang ada
dihadapanku kini malah terlihat menyebalkan, alih – alih terkesima.
Aku
berdiri sambil memegang keningku yang sepertinya memerah dan meninggalkan
lelaki itu yang mematung karena mendapatkan penolakan.
“Aku
bilang maaf”
Lelaki
itu menarik tanganku.
“Iya,
udah aku maafin”
Lelaki
itu tersenyum lalu berkata, “ Aku Alvin, murid di sekolah ini. Kamu siapa?”
“Flora,
murid baru”
Sebelum
Alvin atau siapalah itu namanya mau membuka mulutnya lagi, teman setimnya
memanggilnya dari arah lapangan.
“Aku,
mau lanjut latihan dulu ya” dia mengarahkan telunjuk ke lapangan basket.
“Oke”
Sore
hari tanpa Siska ternyata tetap menyebalkan.
*
Alvin
Kuntoro, sang ketua tim basket sekolah ternyata anak yang populer. Baru tiga
hari masuk sekolah, rasa bosan mendengar namanya sudah mengalun. Tak heran sebagian
besar murid perempuan di sekolahku menganguminya, tidak terkecuali teman
sebangkuku, Andin.
“Alvin
itu ganteng, pintar, lucu, baik hati lagi”
Kata
– kata Andin itu membuatku merasa seperti berada di dalam sebuah drama
televisi. Aku tidak mau terjebak dalam sebuah kisah drama televisi yang
terlihat menyebalkan ini. Jika di dalam drama televisi sang pemeran utama
wanita yang awalnya benci menjadi cinta, aku bersumpah dan yakin tidak akan
pernah membiarkan hal itu terjadi padaku. Lagipula aku tidak sebenci itu pada
Alvin karena sampai saat ini aku tidak menabuh genderang perang padanya. Aku
mencoba bersikap selayaknya teman biasa.
“Hey
Flora, bagaimana kepalamu?” Alvin duduk di sampingku dengan santai.
“Masih
nyambung sama badan, tenang aja”
Alvin
tertanya renyah mendengar jawabanku. Sikapnya ini mengingatkanku pada Siska.
“Bisa
aja sih. Eh rumahmu itu di kompleks melati bukan? Kemarin aku gak sengaja lihat
kamu disekitar sana”
“Apa dia ngikutin
aku ya? Bukannya rumah nih cowok beda jalur sama rumahku?” batinku.
“Begitulah”
jawabku pada akhirnya.
“Nanti
pulangnya bareng ya, sekalian kita ngerjain tugas fisika di rumahmu” kata Alvin
santai dan lagi – lagi terdengar seperti omongan Siska.
“Kenapa
mesti di rumahku?”
“Kita
kan sekelompok, sekalian aku pengen tahu dimana rumahmu”
Aku
mengangguk tanpa berkomentar lebih jauh.
Tiga
hari belakangan ini takdir selalu mempertemukanku dengan Alvin. Ah lebih
tepatnya disebut kenyataan tak terduga. Alvin ternyata sekelas denganku entah
itu di sekolah maupun tempat kursus, satu kelompok dalam berbagai tugas –
parahnya satu kelompok terdiri dari dua orang, dan sekarang . .
“Loh,
Alvin? Kamu teman sekelasnya Flora?”
Dia
kenal Ibuku dengan baik.
*
“Sekolah
baru menyenangkan bukan?” Ayah mendadak muncul dibalik pintu kamarku.
Aku
mengangguk dan tetap mengerjakan tugas bahasa Inggris yang diberikan tadi
siang. Ayah mendekati rak buku dan membolak – balik beberapa buku yang
dipilihnya. Sudah lama aku tidak menghabiskan waktu sunyi seperti ini dengan
Ayah. Terakhir kali berbicara dengan Ayah adalah ketika kunjungan perdana Alvin
ke rumah.
Sikap
Alvin yang baik terhadap Ayah serta candaan bahagianya dengan Ibu, sekali lagi
mengingatkanku akan sosok Siska. Bedanya Alvin adalah seorang lelaki dan
keluarganya masih utuh serta bahagia. Alvin mengenal Ibuku karenya Ibunya
adalah salah satu langganan dibutik milik Ibu.
“Koleksi
buku Flora belum bertambah ya?” Ayah mulai bertanya sambil kembali meneliti rak
buku.
“Iya
nih Yah, duit jajannya kepake mulu buat tugas” aku berhenti menulis.
“Tunggu
sebentar . .” Ayah keluar kamar dan kembali sambil membawa sebuah bungkusan
berlogo salah satu toko buku, “jadi gak ada salahnya Ayah ngasih ini ke kamu
kan?”
Aku
menerima bungkusan itu dengan binar bahagia. Ada tiga novel bersampul plastik
disana. Sepertinya ini hadiah dari Ayah karena tidak bisa menemaniku bercerita
selama beberapa minggu ini. Karir Ayah semakin menanjak dan kehidupan kami
semakin membaik dalam hal finansial namun kebersamaan seperti dulu mulai
terkikis. Dan hey, ternyata novel yang diberikan Ayah adalah novel yang selama
ini aku incar.
“Wah
ini kan novel yang Flora mau”
“Syukurlah
kalau begitu, Ayah sempat ragu mau beliin apa gak soalnya Ayah takut Flora
sudah beli duluan”
“Oh
pantes Ayah meriksa rak buku Flora, sama seperti dulu” aku tersenyum sambil
menerawang jauh.
“Ayah
berusaha memberikan yang terbaik buat Flora. Maafin Ayah yang terlalu sibuk.
Ayah janji akan selalu ngasih yang terbaik buat Flora. Ayah senang akhirnya
Flora sama Ibu bisa sahabatan. Ayah gak perlu khawatir lagi karena Flora gak
punya sandaran buat nangis kayak dulu”
Aku
tertawa mendengar perkataan Ayah. Sewaktu Siska masih disini, aku sering
menghabiskan malamku bersama Ayah. Curhat mengenai segala hal termasuk tentang
Siska dan Ibu, dan disetiap cerita aku tidak pernah bisa menahan bulir
airmataku untuk berhenti mengalir. Disaat seperti itu Ayah selalu menjadi
sandaranku. Ayah menepati janjinya untuk ada disaat aku sedih dan menjadi
sandaran utamaku.
“Tapi
kalau Flora ada masalah sama cowok, Flora butuh Ayah kan ya?” Ayah melirik jam
tangan yang diberikan Alvin saat aku berulang tahun.
Aku
melotot seakan berkata, “itu hanya jam tangan biasa dari seorang sahabat”
Ayah
tersenyum simpul lalu melanjutkan, “Cepat atau lambat Flora pasti mau cerita
tentang masalah hati sama Ayah. Kalau udah kayak gitu Ayah mesti kurangi
kesibukan nih. Apa ayah resign aja ya
dari kantor?”
“Eh
jangan Yah” aku merengut sambil menatap Ayah yang tertawa bahagia keluar dari
kamar.
Perkataan
Ayah malam itu pun menjadi kenyataan seiring dengan berjalannya waktu. Dan
janji – janji Ayah yang lainnya pun mulai menunjukkan kegoyahan karena takdir.
continue . . .
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
sbelum komentar, ini kenapa tulisannya makin kaya cabe rawit yak? kecil-kecil bikin pedes mata -_-
BalasHapusbeberapa paragraf belum di justify,
janji ayah selanjutnya menemani flora untuk mendengarkan cerita masalah hati setelah alvin hadir dan memberikan jam tangan.
rada lost di bagian alvin mirip siska, ngga nangkep maksudnya miripnya di mana. oke lanjut..
oh iya, aku post gak ngelihat lagi di blog makanya gak tau, thanks :-)
BalasHapus:-)