II
Malam
merajut bingkai yang kelam selaras dengan wajah Ayah yang terdiam disudut ruang
tv. Aku menatap Ayah dengan perasaan pilu. Aku tahu tidak seharusnya aku
melakukan ini semua setelah janji – janji yang Ayah tepati padaku. Namun
keegoisanku menutup itu semua, Ayah juga telah berjanji untuk membiarkanku
memilih jadi sudah seharusnya Ayah menepati janji itu sekali lagi.
“Apa
yang kau lakukan disini sayang?”
Suara
lembut itu menyapaku hangat. Pria yang hari ini sah menjadi suamiku itu
memelukku hangat. Aku tersenyum getir menerima pelukan itu dan tetap menatap
Ayah dari sudut mataku.
“Sampai
kapan Ayah disini?” dia bertanya padaku lirih.
“Mungkin
dua hari”
Aku
tahu dia dan Ayah tidak akur karena beberapa hal. Sejak awal Ayah adalah orang
yang paling menentang hubunganku dengannya namun karena aku bersikukuh untuk
tetap menikah dengan pria pilihanku sendiri, Ayah pasrah menerimanya. Ini janji
Ayah padaku, janji yang pada akhirnya menumbuhkan penyesalan seperti rasa
sesalku karena berdamai dengan keadaan terdahulu.
*
Aku
masih mengingat dengan jelas aroma tanah pemakaman yang basah oleh air hujan,
suara pelayat, dan bahkan pelukan hangat saling menguatkan. Setiap kehidupan
pasti memiliki akhir dan disetiap akhir selalu ada awal yang baru. Dan hari itu
adalah hari bagi segala awal dan akhir yang akan menjadi penentu hidupku
sekarang.
Hari
itu Siska kehilangan Ibunya, satu – satunya keluarga yang dia miliki. Aku yang
telah berdamai dengan keadaan karena mengingat janjiku pada Ayah selama
beberapa tahun ini, datang menguatkannya. Matanya membengkak dan merah, tampak
jelas dia menangis semalam suntuk.
Ibu
yang berdiri di samping Ayah pun ikut menangis. Aku tahu Ibu sangat menyukai
Siska dan aku sudah tidak terlalu peduli dengan hal itu lagi.
“Siska,
ikut tante pulang yuk”
Siska
tidak merespon apa – apa. Ibu menatap Ayah dengan segenap harapan. Ayah
mengerti tatapan itu, lalu mendekati Siska.
“Om
tahu kamu sedih tapi kalau kamu terus seperti ini, Ibumu pasti lebih sedih lagi”
Siska
mulai mengangkat wajahnya dan menatap Ayah. Manik matanya tampak pilu dan
kosong.
“Siska
sudah tidak punya siapa – siapa lagi om” kata – kata itu terdengar getir
melayang di udara.
“Kamu
masih punya kami” tanpa sadar aku ikut berbicara. Ibu dan Ayah mengangguk
ikhlas.
Siska
menatap kami secara bergantian dan kemudian memutuskan untuk bangkit dari tanah
yang masih basah itu. Mungkin dia merasa inilah kesempatannya untuk memulai
sebuah hidup yang baru lagi. Ibu menggandeng tangan Siska dan mengajaknya
pulang ke rumah kami. Melihat Ibu dan Siska seperti itu, rasa sesak didadaku
muncul seketika.
“Siska
tidak akan mengambil Ibu darimu” gumam Ayah.
*
Bulan
menggantikan minggu yang bertumpuk dengan cepat. Siska yang hidup bersama kami
pun mulai terlihat bahagia dan mendapatkan energinya kembali. Kehidupan kami
juga berjalan semakin lancar. Ayah dipromosikan untuk naik jabatan sementara
Ibu mulai membuka usaha butik kecil – kecilan dibantu oleh Siska. Ya, Siskalah
yang dipercaya Ibu untuk mengurus butik kecil itu bukan aku, anak kandungnya
sendiri.
“Lebih
baik Siska saja yang bantu – bantu Ibu dibutik. Flora kan tidak punya minat
ngurusin yang begituan” Itulah alasan yang diberikan Ibu ketika Ayah bertanya
perihal ini.
Biarlah
Siska mendapatkan posisi itu karena aku tidak peduli. Ibu memang tidak pernah
bisa akur denganku dan aku rela membagi cinta Ibu pada Siska.
“Besok
hasilnya tesnya keluar kan?” Ayah bertanya padaku.
“Iya
Yah, tapi Flora tidak percaya diri nih. Saingannya berat sekali” jawabku
merengut.
“Ayah
sudah pernah bilang kan, kalau Ayah percaya sama kemampuanmu.” Ayah tersenyum
dan menurunkan koran yang dibacanya.
Aku
mengangguk perlahan, kata – kata Ayah kala itu tidak bisa membuatku tenang. Aku
terlalu takut untuk mengecewakan Ayah. Aku tidak mau melihat Ayah kecewa dan memilih
untuk lebih mempercayai Siska dibanding aku, seperti yang dilakukan Ibu.
*
Hasil
tes penerimaan beasiswa pun diumumkan. Namaku sama sekali tidak tertera disana.
“Siska
Amelia Winoto?” batinku membaca nama itu.
“Ah
aku lolos”
Suara
itu, suara yang aku kenal.
“Kamu
ikut tes ini juga?” tanyaku pada Siska dengan nada menahan kekecewaan.
“Iya,
maaf ya gak ngasih tahu kamu. Ibu dan Ayah yang nyuruh aku ikut”
Sejak
tinggal bersama kami, Siska mulai memanggil ke dua orangtuaku sebagai Ayah dan
Ibu. Tapi, tunggu apa katanya tadi? Ayah juga menyuruhnya ikut tes ini?
“Kamu
gak lolos ya Ra?” tangan Siska menjelajari deretan nama penerima beasiswa
perlahan –lahan, seperti mencari namaku.
“Ya”
jawabku singkat.
Ayah
tahu, untuk pertama kalinya aku merasa sesakit ini. Tidak masalah jika cinta
Ibu berhasil direbut oleh Siska, tetapi jangan Ayah. Aku menahan airmata hingga
pulang sekolah. Siska dengan wajah bahagia mengabarkan hasil tes sementara aku
tertunduk lesu di sampingnya.
“Wah
selamat Siska, kamu memang anak yang pintar. Bagaimana dengan Flora?” Ibu
bertanya padaku.
“Gagal”
jawabku datar.
Semua
aura kebahagiaan yang tadi terpancar di ruang keluarga seketika lenyap. Ibu
mengusap kepalaku tanpa berkata apa – apa.
“Flora
mau istirahat sebentar”
Aku
melangkahkan kakiku ke dalam kamar dan membenamkan wajahku diantara bantal. Apa
yang harus aku katakan pada Ayah nanti? Tetesan airmata tidak dapat aku tahan.
Sedih menggelayut di dadaku. Setengah jam menangis, aku pun lelah dan terlarut
dalam mimpi.
*
“Flora
. . Flora . . .”
Suara
lembut terdengar di telingaku. Aku membuka mataku yang lelah dan menatap
pemilik suara itu.
“Ayah”
refleks aku terbangun dari tempat tidur.
“Sejak
kapan anak Ayah jadi suka tidur sampai sore seperti ini?” Ayah tersenyum seraya
mengacak rambutku.
“Aku
gagal”
“Ayah
tahu” Ayah masih tersenyum.
“Ayah
tidak marah?” tanyaku takut – takut.
“Marah?
Untuk apa?”
“Flora
sudah mengecewakan Ayah”
Ayah
tertawa keras, “mengecewakan bagaimana? Ayah sudah janji untuk selalu percaya
sama kemampuanmu. Hari ini kamu gagal bukan karena kemampuanmu yang kurang, cuma
waktunya saja yang belum tepat” Ayah mengedipkan matanya.
“Tapi
. . . Siska lolos”
“Kamu
harusnya bangga punya sahabat yang sukses seperti itu”
Aku
menatap Ayah dengan nanar, inilah yang aku takutkan. Ayah mulai menyukai Siska.
“Ayah
ngomong seperti ini bukan berarti Ayah menyuruhmu berubah seperti Siska. Tidak.
Setiap orang punya jalan kehidupan masing – masing. Kalau kamu terus menyesali
apa yang terjadi sekarang, kelak kamu juga akan menyesali hari – harimu yang
terbuang percuma karena penyesalan. Lagipula, bukankah Siska sudah kamu anggap
sebagai saudara sendiri?”
Aku
mengangguk.
“Kalau
begitu, beri dia selamat dan berusaha lakukan yang terbaik. Bagaimanapun juga,
kamu adalah anak Ayah yang paling Ayah banggakan”
Aku
mengangguk sekali lagi.
“Flora,
jangan sekali – kali menangisi kesuksesan orang lain. Jadikan itu sebagai
pacuan semangatmu”
“Iya
Ayah” aku mencoba tersenyum.
Ayah
membalas senyuman pahitku lalu bergegas menarikku keluar kamar. Di ruang makan
telah terhidang dua kue tart yang dibawa oleh Ayah. Satu kue sebagai hadiah
atas beasiswa yang diterima oleh Siska sedangkan kue yang satunya lagi, aku
tidak mengerti untuk apa.
“Untuk
Flora yang telah menepati janji. Tidak berkelahi dan membuat masalah” bisik
Ayah.
“Seharusnya
untuk Ayah yang menepati janji untuk selalu percaya pada kemampuanku” batinku.
continue . . .
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
ada beberapa kata yang kurang spasi tapi lupa tadi dimana waktu baca lewat hape..
BalasHapuskasian flora nggak lulus...
siska juga kasian ibunya meninggal..
oke di tunggu lanjutanhya ada janji apa lagi kah..