Aku dibesarkan dengan dongeng-dongeng klasik yang
selalu diceritakan oleh Ibuku. Tentang para leluhur penjaga semesta yang luar
biasa. Mereka bagaikan elemen yang selalu ada di dalam kehidupanmu, yang
menciptakan siklus siang dan malam. Adalah keturunan Raja Langit yang sekarang
entah dimana keberadaannya. Raja Langit memiliki empat puteri yang
masing-masing diberi anugerah kekuatan menjaga siklus di dunia. Puteri pertama
adalah Puteri Matahari. Ia bertugas membawa cahaya terang yang membuat setiap
penghuni bumi bergerak cepat dan tangkas. Puteri ke dua adalah Puteri Bulan,
yang bertugas membawa ketenangan dan membuat setiap penghuni bumi merasa nyaman
untuk beristirahat. Puteri Awan adalah Puteri ke tiga. Ia bertugas meredam
keceriaan Puteri Matahari yang berlebih. Menaungi setiap makhluk bumi dengan
keteduhan dan angin sepoi-sepoi. Sementara Puteri bungsu Raja Langit adalah
Puteri Bintang. Puteri paling cantik yang bertugas menghiasi gelapnya malam.
Membawa cahaya yang indah ketika Puteri Bulan terlalu lelah bersinar.
Di sela tugas yang padat, ketiga puteri tersebut
sering mengunjungi bumi. Bahkan ada beberapa bagian dongeng yang mengatakan
bahwa mereka menikah dengan ksatria tangkas dari bumi. Dongeng ini memiliki
akhir yang kurang menyenangkan. Dikisahkan bahwa ke empat saudara itu
bertengkar karena perbuatan Puteri Bintang. Entahlah, ketika aku bertanya hal
ini pada Ibu, Ibu menolak menceritakannya lebih detail.
Ibu adalah pendongeng yang baik. Beliau dengan lihai
mendeskripsikan tentang wujud setiap tokoh. Dan anehnya aku merasa mengenal
setiap tokoh itu. Aku selalu merasa setiap orang yang ada di dalam hidupku
adalah karakter dongeng tersebut. Seperti kakek Wisnu yang sangat mirip dengan
deskripsi Raja Langit. Ibu yang sangat mirip dengan Puteri Bulan. Aku suka
tersenyum sendiri ketika menyadari hal itu. Apa mungkin karena Ibuku yang
sangat pandai bercerita atau dongeng tersebut adalah kisah leluhurku? Entahlah.
Sejak umur lima tahun aku tidak terlalu peduli akan hal itu hingga ulang
tahunku yang ke tujuh belas.
Waktu itu semua anggota keluarga berkumpul. Mulai
dari tua dan muda, om, tante, hingga cicit. Ini adalah tradisi keluarga kami.
Berhubung aku adalah cucu kesayangan kakek, maka setiap anggota keluarga diwajibkan
berkumpul. Sejak pagi bel rumah tidak berhenti berbunyi. Setiap anggota
keluarga sibuk membantu seperti akan ada pesta pernikahan.
Malam itu Ibu memakai gaun yang sangat indah. Gaun
berwarna putih dengan renda-renda kuning muda. Ibu juga memakai kalung yang
menarik perhatianku. Sebuah kalung berbentuk bulan sabit yang terlihat sangat outstanding. Tante Candra dan Sawitri
pun menggunakan kalung senada, hanya dengan bentuk yang berbeda yaitu bentuk
awan dan matahari. Sejenak aku tertegun, teringat dongeng yang selalu
diceritakan Ibu.
“Kenapa
perempuan ini datang?”
Bisik-bisik
mulai terdengar. Khayalanku mulai terganggu dengan bisik-bisik tersebut. Mataku
kemudian tertuju pada sosok seorang wanita yang tampaknya tidak jauh berbeda
dari Ibu, tante Candra, dan tante Sawitri.Wanita itu mengenakan gaun putih
bersih dan dilehernya tersemat sebuah kalung berbentuk bintang. Kakek Wisnu
menyapa ramah wanita itu dan mengajaknya masuk. Beberapa menit kemudian kakek,
ibu, tante Candra, tante Sawitri, dan wanita itu terlibat percakapan serius di
ruang atas. Aku mengendap-endap, mencoba mencuri dengar karena penasaran.
“Puteri
Bintangku sudah kembali.”
Suara
Kakek Wisnu terdengar jelas olehku.
“Ayah
yang mengundangnya? Setelah kekacauan yang dia buat di langit kita?”
Itu
suara tante Candra.
“Sudahlah
kak, toh kita butuh penjelasan tentang hal yang dulu terjadi . . .”
Suara
Ibu menggantung begitu saja.
“Kau
terlalu baik padanya. Ingat, dia mencoba mencuri semua sinarmu. Mengambil apa yang
menjadi tugasmu dan merebut posisimu sebagai puteri bulan. Bahkan hampir saja
merebut tunanganmu.”
Aku
tertegun. Sebentar, apa yang baru saja aku dengar sama persis dengan dongeng
yang dikisahkan oleh Ibu. Puteri Bintang yang selalu iri pada kakak-kakaknya
mencoba melakukan kecurangan dengan menghancurkan reputasi Puteri Bulan.
Aku
hampir limbung mendengar fakta yang baru saja aku dapat. Apakah dongeng itu
nyata?
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
what do u think, say it !