( Setitik tinta jatuh ke dalam kertas putih. Kertas tersebut tidak sebersih dulu, dengan menangisinya hanya menjadi sia-sia. Ubahlah menjadi sebuah lukisan indah. Belajarlah dari kesalahan)
Berhari-hari kita lewati bersama. Memoriku penuh dengan senyuman lebar khas milikmu. Ke dua bola matamu yang bening dan penuh pengharapan selalu membuatku terhanyut untuk terus menjagamu.
Aku suka saat kau menyebut namaku dengan suaramu yang lembut. Pita suara yang bergetar itu beresonansi dengan getaran hatiku. Indah.
Aku merindukan saat itu. Hatiku memang masih beresonansi tapi kini bukan dengan suara, namun tangisanmu. Tidak ada lagi pendar bintang di kelopak matamu. Yang ada hanya dua gumpal awan mendung, tiap saat bisa memuntahkan berjuta-juta air.
Salahku. Harusnya aku bisa memotong sedikit saja keegoisanku, mendengar keluh kesahmu, dan mengerti arti diammu. Aku terlalu terlena oleh semua raut kebahagiaanmu. Merasa bahwa kau memang dewi yang tak pernah merasa sedih.
Ah, salahku. Berlari dan berlari membuat keisengan. Menarik orang lain untuk menggerus rasa hati yang kurasa telah membosankan.
Aku suka saat kau menyebut namaku dengan suaramu yang lembut. Pita suara yang bergetar itu beresonansi dengan getaran hatiku. Indah.
Aku merindukan saat itu. Hatiku memang masih beresonansi tapi kini bukan dengan suara, namun tangisanmu. Tidak ada lagi pendar bintang di kelopak matamu. Yang ada hanya dua gumpal awan mendung, tiap saat bisa memuntahkan berjuta-juta air.
Salahku. Harusnya aku bisa memotong sedikit saja keegoisanku, mendengar keluh kesahmu, dan mengerti arti diammu. Aku terlalu terlena oleh semua raut kebahagiaanmu. Merasa bahwa kau memang dewi yang tak pernah merasa sedih.
Ah, salahku. Berlari dan berlari membuat keisengan. Menarik orang lain untuk menggerus rasa hati yang kurasa telah membosankan.
Maafkan aku.
Kembalilah.
Shinta.
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
curahan hati yang lagi sedih ya...
BalasHapusSalam kenal :)