Minggu malam dengan rintik hujan
yang malu-malu aku menepikan sepeda motor tua ini di sebuah rumah. Tetesan air
dari genteng kelabu membasahi garasi dengan sempurna. Aku rasa tidak ada
salahnya jika menghempaskan jas hujan di lantai garasi, toh sudah basah juga. Pintu berdecit membuat ngilu pendengaran,
seseorang dengan tongkat jati keluar dari dalam rumah.
“Kan sudah Oma bilang kamu di
rumah saja.” Suara renta yang khas, jujur aku merindukannya.
“Tidak apa-apa Oma. Kan Nila
sudah janji sama Oma mau nginap di sini semalam.” Aku merapikan anak rambut
yang mencuat.
Oma menepuk kepalaku. Kerutan
diwajahnya ketika tersenyum tampak cerah sekali. Ia memberikan handuk kecil
untuknya, menyuguhkan teh hangat, dan menata kue-kue yang baru ia buat. Cekatan
sekali untuk seorang wanita yang berumur hampir satu abad.
“Coba cicipi resep baru buatan
Oma.”
Kue-kue kecil itu terlihat
menggiurkan. Ada beberapa warna yang berpadu di atas piring. Aku mencoba
mencicipi kue berwarna hijau. Tercium wangi pandan yang lembut.
“Ah ini rasa pandan.” Batinku.
Oma mengangguk seakan bisa
membaca pikiranku. Aku melanjutkan gigitan berikutnya dengan jenis kue yang
berbeda. Tepat saat itu, mataku tertuju pada sebuah botol bening di sudut
ruangan. Seakan ada yang memanggilku dari botol tersebut. Mulutku tidak
berhenti mengunyah tetap mataku seakan tidak bisa berhenti untuk menatap botol.
“Nila?” Oma melambaikan tangannya
di hadapan wajahku. Pandangannya mencoba mengikuti ke arah apa yang sedang ku
lihat.
“Itu botol turun temurun dari
keluarga Oma.”
Aku baru berbalik menatap Oma.
“Ketika Oma sudah meninggal
nanti, botol itu akan diserahkan kepada mamamu.” Oma membicarakan kematian
dengan santainya.
“Isi botol itu apa Oma?
Sepertinya penting sekali hingga harus dijaga turun temurun.” Aku mengunyah kue
yang lain.
“Botol itu . .” jeda sebentar,
Oma menatap keluar jendela,”milik seseorang yang penting dikeluarga ini.
Harusnya Oma menceritakan hal ini sejak lama.”
Aku sempurna berhenti mengunyah.
Kami duduk berhimpitan. Tangan lembut Oma menepuk-nepuk pergelangan kecilku.
“Sebenarnya Oma juga tidak
mengerti apa yang ada di dalam botol itu. Hanya saja, entah mengapa Oma merasa
harus menjaganya. Yang Oma tahu hanya cerita kecil ini.” Oma menyodorkan album
usang.
Lembar demi lembar dibuka, aku
melihat beberapa wajah yang ku kenal. Ada siluet Mama, Om Wiryo, dan Opa di
sana. Selebihnya adalah wajah-wajah asing yang belum pernah ku temui. Tangan
Oma berhenti membuka album.
“Perjalanan menjaga botol diawali
oleh para buyut. Bermula ketika dua sahabat lama berjanji untuk menyimpan
rahasia terbesar mereka di dalam sebuah botol. Terdengar seperti dicerita
dongeng bukan?”
Aku tertawa.
“Entah siapa yang memulai, pada akhirnya persahabatan itu hancur karena
memperebutkan cinta seseorang. Dua
sahabat itu berpisah sekian tahun, mengikuti ego masing-masing. Setelah berpuluh tahun terlewati, dua sahabat
itu baru menyadari kebodohan masa muda mereka. Mereka berjanji bertemu di
tempat perkelahian terakhir. Namun sayang, salah satu dari mereka harus pergi
meninggalkan dunia ini terlebih dahulu. Sahabat yang lain akhirnya memutuskan
untuk menjaga botol itu hingga sekarang.”
“Botol tanpa isi? Bukannya tadi .
. .”
Oma tersenyum.
“Mungkin rahasia sudah seharusnya
tidak terlihat.”
Aku menggaruk kepala yang tidak
gatal.
“Nanti ada saatnya kamu
mengerti.”
Aku hanya mengangkat bahu. Aku
memang tidak mengerti apa yang dikatakan Oma, yang aku tahu adalah aku siap
menjaga rahasia apapun yang ada dibotol itu.
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
penasaran... lanjutin dong...
BalasHapussambil nunggu yuk main game online dan dapat bonus dengan KLIK DISINI