“Aku benci saat mataku terpejam.”
Hal itu selalu berdengung dikepala Ariana.
Hari ini seperti biasa ia duduk
diantara nyanyian angin yang menyerbu pepohonan. Beberapa wanita dan pria
tampak lalu lalang. Sesekali tawa membuncah ketika bisik-bisik kecil
dilontarkan. Ariana mengencangkan headset
ke telinga, sayang headset sebagus
itu hanya menggantung dilehernya. Jempolnya kini tengah memilih lagu mana yang akan
ia dengar.
“Boleh aku duduk di sini?”
Ariana mengangguk singkat lalu
menutuskan lagu apa yang sebaiknya ia dengar. Sebuah musik klasik dari seorang
komposer ternama kini mengalun. Suara dentingan piano yang sangat anggun
memanjakan telinga. Semilir angin dan aroma tanah yang basah menambah
kenyamanan dihati. Ariana pun terpejam. Jiwanya seakan dibelai oleh suasana
yang menyejukan itu.
“Apa yang harus aku lakukan dengan lembar jawaban ini?”
Sebuah suara menyusup ke dalam
alunan nada-nada.
“Aku tidak ingin berlaku curang tapi jika aku tidak melakukannya maka .
. . maka . . .”
Suara itu semakin jelas
terdengar.
“Aku harus bisa mengalahkan anak-anak pindahan itu. Impianku akan
hilang begitu saja jika aku tidak melakukan ini. Sudah cukup aku dipermalukan
dengan hasil try out kemarin.”
Ariana menghela napas. Ia tahu
kini apa yang terjadi. Harusnya ia tidak membiarkan gadis berkacamata tebal
tadi duduk di sampingnya. Dan seharusnya lagi, ia tidak terbuai dengan kecup
manja alunan lagu serta desah angin sehabis hujan. Entah berapa lama gadis di
sebelahnya akan berhenti mengeluh. Mengeluh dalam pikirannya sendiri yang kini
sangat mengganggu.
Ariana ingin sekali membuka
matanya, namun ia tak kuasa. Kemampuannya membaca pikiran menahannya untuk
melakukan itu. Ya, Ariana memang bisa membaca pikiran. Ia bahkan bisa mengubah
jalan pikiran seseorang dengan memanipulasinya. Terdengar sangat tidak masuk
akal tetapi itulah yang terjadi saat ini. Setiap kali matanya terpejam, tanpa
sengaja-atau bisa saja sengaja-alam bawah sadarnya akan terhubung dengan alam
bawah sadar orang lain.
“Apa aku harus membuangnya? Atau . . . .”
“Buang saja! Kau harus percaya pada kemampuanmu!” –Ariana
memutuskan untuk membantu.
“Tapi . . .”
“Tidak ada kata tapi. Keputusanmu saat ini akan sangat berpengaruh
untuk segala hal yang akan kamu jalani ke depannya. Apa kamu mau menodai
perjuanganmu selama ini hanya karena sebuah keegoisan? Jika ya, memalukan!” –Ariana
sangat berharap perang ini akan segera berakhir.
“Iya, benar juga.”
Temaran jingga mentari sore
membuat pandangan sedikit memudar. Ariana menghalangi berkas cahaya itu dengan
telapak tangannya.
“Akhirnya . . .” Tanpa sadar ia
bergumam.
Gadis berkacamata tebal yang
duduk di sebelahnya kini berdiri. Ia merobek beberapa lembar kertas lalu
membuangnya ke tong sampah terdekat.
Ariana tersenyum, hari ini tidak
terlalu berat tetapi ia tetap benci ketika matanya terpejam.
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -