Ketika cinta hilang karena takdir, keikhlasan selalu diuji
Matahari baru saja menampakkan senyumannya yang simetris disela gunung dan pepohonan. Miu menatap anugerah tersebut dengan mata yang kosong dan sembab. Lukisan Sang Pencipta yang terhampar dihadapannya tak ubahnya sebuah sketsa kecil yang menggantung dan tak bermakna. Pikiran dan hati Miu seakan terbang jauh dan membiarkan raganya, selayaknya sebuah cangkang kosong. Ke dua bola mata hitam legam milik Miu bergeser mengikuti langkah seorang pria berkemeja rapi. Pria tersebut menghampiri Miu dengan ragu.
“Bolehkah aku mendorong kursi rodamu?” tanya pria itu halus.
Seperti biasa, Miu menatapnya hampa dan dalam diam. Pria tersebut mengangguk dan mulai mendorong kursi roda yang diduduki Miu. Roda – roda halus itu berputar dan bergesekan mesra dengan ubin rumah sakit yang putih dan licin. Meskipun masih pagi buta, suasana rumah sakit ini tetap ramai. Beberapa suster berbaju putih rapi tampak hilir mudik. Ada yang membawa nampan berisi suntikan, obat, maupun cairan yang tak diketahui. Ada yang berlari cepat menuju ruang UGD menjemput pasien yang tampaknya tak bisa menunggu waktu lebih lama. Dan ada yang berjalan dengan santai tanpa beban. Meskipun begitu, para suster tersebut memiliki kesamaan ketika bertemu dengan pria yang mendorong kursi roda Miu. Mereka selalu berkata “Selamat pagi dokter Randy” dengan intonasi yang sama, tegas namun halus.
Dokter Randy hanya tersenyum dan terus mendorong kursi roda Miu. Miu adalah seorang wanita yang berumur 28 tahun. Wajahnya oval dan terbalut dengan rambut hitam legam yang bergelombang. Ke dua bola matanya tampak seperti bola yang bersinar, sementara pipinya selalu tampak kemerahan secara alami. Tidak heran jika beberapa orang tak menyangka bahwa Miu telah berumur 28. Dengan wajah yang manis serta penampilan yang sederhana, Miu lebih tampak seperti remaja berusia 17 tahun. Dulu, jika Miu bertemu seseorang, baik yang dikenal maupun tidak, dirinya selalu terlihat bersemangat dan tersenyum manis hingga menunjukkan lesung pipit yang mengapit ke dua pipinya. Namun sekarang senyuman, lesung pipit, dan tatapan bersemangat telah tiada. Mata Miu kini tampak kosong, senyumannya pun telah hilang.
“Miu, syukurlah” seorang pria paruh baya menghampiri dokter Randy dan Miu.
“Tadi dia sedang memandang matahari terbit di taman” kata dokter Randy setelah melihat raut wajah Tuan Kusuma.
Tuan Kusuma memandang wajah anaknya dengan sedih. Tangannya yang lebar dan kasar menyentuh tiap helai rambut anaknya dengan penuh kasih sayang.
“Maafkan Ayah, kalau saja Ibumu masih ada. Dia pasti akan menjagamu. Maafkan Ayah”
“Saya akan menjaganya Pak, selama Bapak menyelesaikan urusan kantor Bapak. Miu adalah tanggungjawab saya”
Tuan Kusuma tersenyum lalu mengambil alih mendorong kursi roda Miu ke dalam kamar. Ekspresi Miu tetap saja datar. Dia sepeti tidak memikirkan atau merasakan apapun.
“Satu bulan sudah, pantas saja Miu keluar. Dia masih memiliki hati dan perasaan dan juga . . .” Tuan Kusuma tidak dapat melanjutkan kata – katanya. Wajahnya yang tenang berubah menjadi sedih.
“Tenanglah Pak, hari ini saya akan membawa seorang psikolog kesini. Semoga ada kemajuan, mengingat luka – luka dibadan Miu telah sembuh” kata dokter Randy hati – hati.
*
Malam menjelang, Tuan Kusuma dan dokter Randy kemudian meninggalkan Miu sendiri dikamar. Aku yang sejak tadi menunggunya diruangan ini mulai lelah. Aku bisa melihatnya, melihat Miu yang terdiam dengan tatapan kosongnya. Satu bulan berlalu sejak aku berjanji untuk kembali. Satu bulan berlalu sejak aku diberi kesempatan dan aku belum berani untuk melakukannya. Aku merasa takut menyakiti Miu seperti terakhir kali aku mencoba mendekatinya dan berbicara dengannya.
“Kau harus melakukannya sebelum malam ini berakhir” seorang pria dengan jas putih berbisik padaku.
Ku coba mendekati Miu dengan pelan, aku tak ingin mengejutkannya. Mendadak Miu mengalihkan wajahnya padaku, seakan menyadari kehadiranku. Ke dua bola matanya tampak berbinar sejenak, kemudian bola mata itu dipenuhi dengan air mata. Aku tak tega berbicara dengannya, namun pria berjas putih selalu mengingatkanku.
“Miu . .”
“...” bola mata Miu masih mengarah padaku namun mulutnya seakan terkunci.
“Miu, ku mohon jangan bersedih lagi. Aku tidak akan tenang jika kau masih seperti ini. Ingat, kau selalu ada disini” aku mencoba meletakkan jariku yang bergetar ke hatiku “begitupun juga aku, aku selalu berada dihatimu. Aku selalu ingat janjiku padamu untuk tidak pergi. Sssst, jangan menangis karena kita hanya terpisah raga. Aku selalu sayang padamu dan aku tahu kaupun begitu. Jadi kumohon, demi rasa sayang itu, bangkitlah dan tersenyumlah. Aku ingin pergi dengan melihatmu tersenyum dan kembali seperti Miuku yang dulu. Aku harap kau bisa mendengar perkataanku. Aku selalu menepati janjiku, aku akan ada dihatimu”
“Sudah cukup” pria berjas putih menunjuk jam yang berdentang di dinding.
Aku tersenyum dan berdiri, aku tidak tahu apakah Miu mendengar perkataanku dan merasakan kehadiranku, tapi aku merasa lega karena telah mencoba berbicara padanya lagi, setidaknya kali ini dia tidak berteriak – teriak marah seperti dulu ketika pertama kali aku berbicara padanya.
Pria berjas putih menepuk pundakku dan mengingatkanku sekali lagi. Aku mengangguk dan berjalan perlahan menuju tempat seharusnya aku berada.
“Alex . . .” aku mendengar suara Miu memanggil namaku. Aku berbalik dan melihatnya telah berdiri dan mencoba menahan tanganku.
Aku menggeleng dan hanya bisa tersenyum “raga kita tidak bisa bersatu, walaupun hati kita bisa. Banyak yang mencintaimu di dunia ini dan banyak yang menunggumu bangkit dan bersemangat kembali. Jagalah buah cinta kita, kembalilah menjadi Miu yang dulu”
Miu menangis dan terus menatapku. Tangannya yang ringkih ditarik perlahan seiring dengan memudarnya bayanganku. Sebelum menghilang aku sempat melihatnya tersenyum dan berkata “aku akan bangkit dan menjaga Alex junior kita, suamiku”
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -
ceritanya menarik ...
BalasHapusuntuk tulisanmu yang satu ini, buat gw kurang greget ka.. agak monoton dan bikin borring.. hehe.. tapi gw tetep suka dengan alur ceritanya..
BalasHapus*sebagai pembaca harus jujur kan?? *ngumpet takut dijitak
Mana nih cerita yang nguji adrenalin lagi?? yang sadis yang sadis +D
@Noer : makasih :)
BalasHapus@Uzay pake zet : makasih ya pendapatnya nak uzay :D
wah ntar yg sadis :3
kurang konflik pit, tapi aku suka kata-katanya "raga kita tidak bisa bersatu, walaupun hati kita bisa"
BalasHapusFuny : makasih puni :D aku buat cerita ini sengaja lebih simple :3
BalasHapus