Spanduk
besar terpampang di gedung pertunjukan kota. Nama Ambar bersanding dengan
sebuah predikat penari berbakat abad ini. Banyak mata yang berdecak kagum
melihat spanduk tersebut. Siapa yang tidak kenal Ambar? Beberapa bulan ini
namanya mengisi seluruh pemberitaan negeri. Seorang gadis yang terlahir dengan
keterbatasan yang bertransformasi menjadi penari hebat. Ambar bahkan disebut-sebut
sebagai penari yang muncul hanya sekali dalam berjuta-juta tahun. Ambar
mendobrak dinding yang selama ini memenjarakannya dari indahnya alunan musik
dunia.
“Nona
Ambar.”
Penanggungjawab
pertunjukan memberi isyarat. Ia menulis sebuah kalimat ‘lima menit lagi
pertunjukan dimulai’. Tangannya membentuk sebuah lingkaran, meminta jawaban
pada Ambar. Ambar mengangguk dan ikut membulatkan jemarinya tanda mengerti.
Sebuah
sepatu berukuran 27 yang tampak lusuh tertata rapi dipinggir meja rias. Ambar
menatapnya dengan senyuman yang cerah. Sepatu itu yang membimbingnya menjadi
Ambar yang sekarang. Pemberian dari seseorang yang amat berjasa.
Ketika
itu Ambar berumur 7 tahun. Ia suka sekali bermain di sebuah rumah tua. Rumah
itu memiliki sebuah piano lusuh yang ditinggalkan penghuninya. Sejak dulu Ambar
penasaran dengan piano yang memiliki tuts aneh. Ambar sering melihat
orang-orang ditelevisi memainkan benda besar itu. Ia tidak mengerti mengapa
orang-orang itu sangat bahagia melakukan hal tersebut.
Suatu
hari ketika ia kembali mengunjungi rumah tua, ia bertemu dengan seorang pria.
Pria dengan punggung yang lebar tampak asyik memainkan piano. Pria itu menutup
matanya dan tampak sangat menikmati apa yang sedang ia lakukan. Tanpa sadar
Ambar pun ikut terhanyut dengan gerakan pria tersebut. Tangan dan kakinya
bergerak secara spontan. Ambar menari untuk pertama kalinya tanpa tahu lagu apa
yang sedang dimainkan oleh pria berpunggung lebar tadi.
“Kau
penari yang hebat.”
Ambar
membuka matanya. Ia terkejut melihat pria itu terus menatapnya sambil
tersenyum. Ambar menggerakkan tangannya, berusaha mengatakan bahwa ia tidak ada
niat mengganggu.
“Kau
bisu?”
Ambar
hanya terdiam.
“Kau
bisu?” Pria itu mengulangi pertanyaannya perlahan-lahan.
Ambar
mengangguk. Ia lalu menggerakkan tangannya ke arah telinga.
“Kau
juga tidak bisa mendengar?”
Ambar
mengangguk. Ia tidak merasa sakit hati ada orang yang bertanya seperti itu. Ia
sudah terbiasa hidup dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih menyakitkan di
panti asuhan.
“Tetapi
kau bisa menari. Hebat.”
Pria
itu berdiri dan bertepuk tangan. Ambar bingung. Ia tidak tahu mengapa pria
dihadapannya tersenyum dan bertepuk tangan. Namun, ia merasakan sebuah
kehangatan yang menjalar ke dalam hatinya. Rasanya sangat menyenangkan.
“Kau
sangat istimewa.” Pria itu mengacak rambut Ambar.
Ambar
tersenyum bahagia. Sejak saat itu Ambar semakin giat mengunjungi rumah tua. Ia
selalu menantikan saat bertemu dengan pria berpunggung lebar. Pria itu
mengajarinya memahami nada dan not balok. Mereka pun menari bersama-sama dengan
riang. Ambar menemukan apa yang selama ini ia cari. Kebahagiaan. Dengan menari
Ambar bisa merasakan hal yang membuatnya merasa dibutuhkan di dunia ini. Ia
seperti hidup kembali dan melupakan kekurangannya yang selama ini menjadi bahan
tertawaan.
“Kau
akan menjadi penari hebat.” Pria tersebut selalu berkata seperti itu.
Ambar
menjawabnya dengan sebuah anggukan yang keras. Iya, ia ingin menjadi penari
yang hebat agar bisa membuat semua orang berhenti menertawakannya. Menutup
mulut orang-orang yang tidak ingin mengadopsinya karena beralasan akan
kerepotan mengurus anak kecil yang terlahir tidak sempurna.
Pria
berpunggung lebar membuka jalan bagi Ambar untuk meraih dunia yang lebih luas.
Lewat sepasang sepatu putih dan senyuman yang mengembang, pria itu mengantarkan
Ambar mengikuti kompetisi pertamanya. Kompetisi yang membuat Ambar kembali ditertawai
banyak orang.
“Tuli
kayak gitu disuruh ikut lomba?”
“Ya
ampun, pria satu ini tidak pernah kapok membawa orang aneh kesini.”
“Menyerah
saja!”
Ambar
tidak dapat mendengar tetapi ia paham ejekan-ejekan yang dilontarkan kepadanya.
Ia semakin membulatkan tekad memenangkan kompetisi tersebut. Ia pun menari dengan
sangat hebat. Pengunjung berdecak kagum. Tetapi hal itu tidak lantas membuatnya
memenangkan kompetisi. Juri tidak bisa memenangkannya dengan alasan
keterbatasan yang dimiliki Ambar. Ambar sudah siap menerima hal itu. Ia tahu
untuk meraih dunia yang luas tidaklah mudah. Berbeda dengan pria berpunggung
lebar. Ia marah besar pada juri. Ia bahkan membanting meja yang digunakan untuk
berdiskusi. Untuk pertama kalinya Ambar melihat seseorang membelanya. Seketika
itu air matanya menetes. Ia tidak sakit hati dilecehkan. Ia hanya merasa
bahagia dan sedih melihat ada orang yang berjuang untuknya.
Ambar
memeluk pria berpunggung lebar tanpa sadar. Ia menggelengkan kepalanya dengan
keras. Dalam hatinya ia berteriak “sudah cukup Tuan. Sudah cukup.” Pria
berpunggung lebar mengerti. Ia mengusap anak kepala Ambar dengan hangat.
Mereka
pun pulang ke rumah tua sambil bergandengan tangan. Pengalaman menyakitkan hari
itu adalah awal segalanya.
“Kau
memiliki hati yang besar. Aku belajar banyak darimu hari ini. Ayo kita raih
dunia yang luas untukmu.”
Ambar
mengangguk.
Sepasang
sepatu putih itu menjadi saksi perjuangannya. Solnya kini telah menipis. Warna
putihnya berubah menjadi lusuh. Namun semangat Ambar tetap menyala. Apa yang
tampak pada sepatu itu adalah ceminan perjuangan bertahun-tahun yang dilewati
oleh Ambar.
Sekali
lagi Ambar tersenyum. Hari ini adalah pertunjukan keseratusnya. Pertunjukan
emas yang ia persembahkan untuk pria berpunggung lebar. Pertunjukan bertajuk
‘Perjalanan Sepasang Sepatu Putih’.
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -