Angin memainkan dedaunan kering
yang berserakan di taman. Sehelai daun dengan lihai melesat masuk ke dalam
kamar dan berhenti pada buku catatanku. Suara tawa anak-anak pecah di bawah
sana. Orang tua tampak sibuk berteriak tentang jangan begini dan begitu. Tapi,
namanya juga anak kecil mereka hanya terdiam beberapa detik dan kembali lagi
tertawa-tawa. Tanpa sadar senyumku pun mengembang. Aku juga ingin bermain
seperti itu. Berlari menyusuri taman, melempar ranting, daun, atau apa saja
yang bisa ku raih.
“Tentu saja masa itu sudah lewat”
Aku hanya bisa menatap ke dua
kakiku yang hilang entah kemana. Tiga bulan yang lalu dokter memutuskan untuk
mengamputasinya. Menurut pemeriksaan hal itu merupakan jalan satu-satunya untuk
menyelamatkan diriku. Oh tentu saja. Kaki yang membusuk selama hampir setahun.
Aku tahu cepat atau lambat hal itu akan terjadi.
Suara langkah kaki menaiki tangga
membuatku siaga. Segera ku arahkan kursi roda menuju tempat tidur, mendorong
diriku sendiri hingga terhempas di atas kasur, menarik selimut, dan
berpura-pura tidur.
“Kau masih tidur atau hanya
berpura-pura?”
Itu suara Ayah, orang yang pada
akhirnya menjadi tempatku berbagi cerita.
“Sudahlah Talia, Ayah tahu kau
hanya berpura-pura tidur.”
Ayah mendekatiku dan mulai
mengeluarkan ‘jurus pamungkasnya’. Aku tidak dapat menahan tawa. Langsung
bangkit dan kembali menyerang. Kami tertawa bahagia, saling melempar bantal.
Inilah keadaan rumahku sekarang,
berbanding terbalik dengan yang dulu. Dulu penghuni rumah kami berjumlah lima
orang. Ayah, Ibu, aku, dan dua kakakku. Cukup ramai jika dihitung, tetapi sepi
jika dirasakan. Tidak pernah ada obrolan dan berkumpul bersama di ruang
keluarga. Hanya tegur sapa biasa. Kami sekeluarga tetapi seperti orang yang tak
saling kenal. Mengapa? Entahlah, yang aku tahu sejak aku dilahirkan hal ini
sudah terjadi.
Menurut kakak pertamaku, ini
semua karena posisi Ayah dan Ibu di kantor yang telah meningkat. Promosi yang
luar biasa, ekonomi keluarga terangkat. Sudah pasti membuat sibuk Ayah dan Ibu.
Jarang bertemu keluarga sendiri. Cuma member uang dan mengecek nilai kami
setiap minggu. Ketika nilai kami bagus, maka tidak ada peringatan apapun.
Tetapi ketika nilai kami menurun, maka les tambahan akan siap menanti. Menolak?
Ah itu hal yang membuang tenaga. Pada akhirnya ke dua kakakku bertingkah
selayaknya anak baik di rumah. Dan ketika berada di luar jangkauan keluarga,
mereka akan bertindak semaunya. Aku tahu hal itu namun aku terlalu malas untuk
mencampurinya. Yah, aturan lain keluarga kami-secara tidak tertulis. Jangan
mengganggu urusan keluargamu ketika berada di lingkungan luar.
Itulah mengapa aku selalu iri
dengan teman sebayaku yang diperhatikan sangat ketat oleh ke dua orang tuanya.
Saling mengejek dan bertengkar, namun kemudian tertawa lagi. Aku juga ingin
merasakannya. Aku selalu berharap akan ada kejadian besar yang membuat
harapanku itu terkabul. Beberapa bulan kemudian, tragedi itu terjadi.
Ayah bekerja sebagai hakim dan
Ibu sebagai pengacara publik. Waktu itu mereka sedang menangani sebuah kasus
yang sangat berat. Kasus seseorang yang berkuasa di negeri ini. Suatu malam aku
sempat mendengar Ibu menangis. Entah apa yang terjadi, yang jelas aku menangkap
sekilas bahwa nyawa keluarga kami terancam.
“Andai saja kita masih hidup
sebagai warga negara biasa, bukan penegak hukum atau semacamnya. Aku menyayangi
anak-anakku meskipun . . .”
Ayah menutup pintu sebelum Ibu
menyelesaikan kalimatnya.
Ke esokan harinya kakak pertamaku
ditemukan tertembak. Ibu sangat histeris. Kakakku kabur dari rumah pada malam
hari. Itu adalah kebiasaannya, bertemu teman-temannya di klub. Ibu dan Ayah
tidak mengetahui hal tersebut dan menganggap anak-anaknya sudah terlelap di
kamar.
“Tama,anakku!!!” Ibu kembali
berteriak.
“INI SEMUA SALAH AYAH DAN IBU!”
Kakak ke duaku meledakkan
amarahnya. Ia sangat dekat dengan kakak pertamaku, mereka selalu merencanakan
hal-hal aneh bersama.
“Kalau saja Ayah dan Ibu lebih
memperhatikan kami dan berhenti . . .”
“Tara . .” Ibu mencoba memeluk
kakakku, “maafkan Ibu.”
Kakak keduaku menghempaskan
pelukan Ibu dan berkata, “andai saja kata maaf itu bisa menghidupkan kak Tama.”
Suasana rumah menjadi semakin
sepi, kali ini ditambah dengan duka yang mendalam. Entah kutukan apa yang
terjadi. Siang harinya kami menemukan mayat kakak ke duaku di dalam kamar. Ia
menggantung dirinya. Ibu semakin histeris dan merasa bersalah. Ibu berteriak
tanpa henti dan melarang siapapun bahkan tim forensik serta dokter menyentuh
mayat anaknya. Ibu kehilangan akal sehatnya.
Ayah mencoba menjauhkanku dari
Ibu. Tidak ingin aku terluka oleh tingkah Ibu yang semakin aneh. Rasa bersalah
dan kesedihan yang mendalam membuat Ibu sering berhalusinasi. Kadang Ibu
memelukku erat dan memanggil namaku dengan penuh kasih sayang. Kemudian
mendadak Ibu menjadi histeris dan mencoba mencekik leherku.
Puncaknya, Ibu membawaku kabur
dari rumah. Saat itu, Ayah lalai memperhatikanku karena panggilan dari kantor.
Ibu tertawa-tawa sambil menginjak gas sekuat tenaga. Aku yang masih berumur
tujuh tahun hanya bisa menangis. Ibu menabrak apa saja yang menghalangi jalannya
hingga pada akhirnya Ibu mencoba menabrak sebuah beton yang menjulang tinggi.
Kami kecelakaan. Ibu pingsan namun tidak terluka parah. Sementara aku mendapati
luka yang cukup serius. Ke dua kakiku kemudian mulai membusuk karena infeksi
yang disebabkan kecelakaan itu.
“Talia? Anakku yang cantik masih
di sana?” Ayah membuyarkan lamunanku.
“Eh, iya.” Jawabku sambil
tersenyum.
Aku menatap garis wajah Ayah.
Kerutan mulai tampak diwajahnya yang bersih. Aku tahu jauh di dalam hatinya,
Ayah juga ingin berteriak seperti Ibu. Ayah juga pasti merasa bersalah bahkan
mungkin lebih. Tetapi Ayah memutuskan untuk kuat dan mengubah semuanya dengan
menjagaku dan Ibu. Dua permatanya yang berharga. Itulah kata Ayah ketika
bertemu denganku di rumah sakit. Untuk pertama kalinya aku melihat Ayah
menangis seraya memanggil namaku.
Kau tahu teman, dulu ketika
keluargaku masih lengkap aku ingin sekali lari dari kenyataan. Aku ingin lari
mencari keluarga yang lain, yang lebih hangat dan saling memperhatikan. Namun
aku sadar aku tidak bisa melakukan hal itu.
Ketika keluargaku mulai hancur
dengan kepergian kakak-kakakku. Aku juga ingin berlari. Sudah cukup rasa sepi
yang selama ini aku rasakan, sesak dada ini mengetahui harus memikul beban
kesedihan juga. Namun sekali lagi aku sadar bahwa aku tidak bisa melakukannya.
Sekarang, aku masih tetap ingin
berlari. Tetapi berlari untuk meraih cahaya kebahagiaan. Membuat Ayahku tetap
hidup dengan memiliki permatanya yang berharga. Dan berlari meraih jiwa Ibuku,
mengembalikannya seperti sedia kala.
“Ayo kita tengok Ibu, Yah.”
- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -