Hari ini hujan kembali membasahi Kota Bandung. Aku menatap butiran - butiran lembut air langit itu dari balik jendela. Aku mengingat Rahmi, gadis kecil yang mungkin kini sedang tersenyum dan berusaha menggapai mimpinya. Hujan yang tidak ku sukai........
***
Rahmi berlari - lari kecil diantara derasnya hujan. Dia tersenyum sambil berkata
"payungnya pak, payungnya bu"
Ada beberapa orang yang merasa iba dan menggunakan jasa yang ditawarkan Rahmi dan ada beberapa orang pula yang hanya melewati Rahmi tanpa menoleh sedikit pun. Mungkin mereka merasa tidak membutuhkan jasa tersebut atau mungkin mereka sedang terburu - buru.
Rahmi berusaha sekeras mungkin, berlari kesana kemari. Dia ingin mendapatkan penghasilan yang lebih di hari yang sendu ini. Dia ingin memanfaatkan payung dipinjamnya dari Bang Togar dengan semaksimal mungkin,maka dia pun mulai menawarkan jasa ojek payung di depan sebuah mall ternama di kota Bandung.
"Buat apa payung ini?" tanya Bang Togar dengan aksen Medan yang masih kental.
"M-m-mau dipakai" jawab Rahmi gugup.
"Bah, tak usah kau bilang juga Abang tahu. Maksudnya mau kau pakai untuk apa?"
"M-mau nyari duit Bang" kata Rahmi sambil menundukkan wajahnya.
"Uang jajan kau tidak cukup rupanya. Nantilah ku bilang sama bapak kau. Pulang sana. Istirahatlah kau."
"Tapi Rahmi butuh uang Bang" kata Rahmi dengan mata yang berkaca - kaca.
Bang Togar menghela napas dan segera memberikan Rahmi payung warna - warni yang dipegangnya. Bang Togar merasa iba melihat Rahmi, anak berumur 7 tahun itu bekerja. Bang Togar sebenarnya mengatahui alasan Rahmi bekerja dan meminjam payung tersebut namun ia selalu mencoba untuk menolak Rahmi dengan cara halus. Tetapi seperti hari ini, Bang Togar selalu luluh melihat wajah sendu Rahmi dan pada akhirnya payung tersebut ia pinjamkan.
Hujan merupakan senyum Rahmi. Semua orang di kompleks kumuh itu mengetahuinya. Rahmi sangat ingin memperbaiki atap rumahnya yang terbuat dari kardus. Saat musim hujan menyapa Kota Bandung, rumah Rahmi selalu tergenang oleh air. Rumahnya yang sebagian besar terbuat dari kardus itu, tidak mampu menahan derasnya hujan yang turun.
"Pak, kapan rumah kita punya atap?" tanya Rahmi sambil menatap butiran air hujan yang turun.
"Itu udah kan" jawab Bapaknya sambil menunjuk atap kardus dengan sedikit ragu.
"Bukan atap kardus. Rahmi mau punya atap rumah seperti di rumah nona Nisa. Hujan tidak bisa masuk" kata Rahmi polos.
Pak Ahmad, bapak Rahmi merasa sangat kecewa. Kecewa karena ia tidak mampu mewujudkan permintaan anak semata wayangnya. Kecewa karena Rahmi harus turun ke jalan dan ikut mengumpulkan uang demi mewujudkan apa yang dia impikan selama ini. Ia merasa Tuhan tidak adil, harus memberikan gadis semungil Rahmi cobaan seperti ini. Ia selalu menangis bila mendengar Rahmi dengan polosnya menceritakan mimpinya ke semua penghuni kompleks kumuh itu.Ia juga merasa bersalah jika mengingat hari pertama dimana Rahmi harus turun ke jalan untuk mencari uang dengan cara mengamen. Hari itu adalah hari terburuk untuk Rahmi.
"tapi Rahmi tidak bisa nyanyi" kata Rahmi saat diajak Jaka mengamen.
"pegang kecrekan ini, kamu bisa kan gunain kecrekan? Nanti duitnya bagi dua deh. Kan lumayan tuh duitnya, bisa dipakai buat betulin atap rumah"
Rahmi pun mengangguk dan mengikuti Jaka beridiri di dekat lampu merah.
Semuanya berjalan lancar hingga segerombolan preman datang dan mengganggu mereka ketika mereka sedang sibuk menghitung uang di sebuah gang kecil.
"Heh, yang ngasih ijin lu berdua ngamen ditempat ini siapa? Ini wilayah kita. Lu berdua wajib bayar" kata salah seorang preman yang tampaknya seperti bos gerombolan tersebut.
"Gak ada tulisannya ini wilayah lu pada" kata Jaka dengan berani.
"Apa lu anak kecil. Banyak bacot" seorang preman yang berwajah sangat seram maju dan meninju Jaka.
"U-udah, ini duitnya" kata Rahmi polos.
Dia tidak tega melihat Jaka dipukuli terus menerus.
"Nah, ini baru bener. Lu pinter juga ya anak manis" kata sang bos preman sambil melihat Rahmi dengan tatapan tidak wajar.
"Duitnya udah ditangan lu kan. Sekarang biarin kita pergi" kata Jaka sambil menahan sakit.
"Gue rasa belum cukup. Lu dah berani nentang gue. Dan anak kecil ini tampaknya sangat manis"Sang bos preman mendekati Rahmi yang terlihat gugup.
Jaka mencoba menghentikan sang bos tersebut namun langkah segera dihentikan oleh preman yang lain. Jaka dipukuli bertubi - tubi sedangkan Rahmi diperlakukan dengan tidak senonoh oleh sang bos preman.
Jaka berteriak meminta tolong namun tak satu pun pejalan kaki di gang sempit tersebut berani mendekat.
"Udah ah kita pergi aja, daripada kita dipukuli juga" kata salah seorang pejalan kaki.
Jaka semakin marah mendengar perkataan pejalan kaki tersebut , kemudian dia berteriak dengan terbata - taba karena terus dipukuli
"WOI SIALAN LU YA .... LU G-GAK LIHAT ..........KITA ....... D-D-DIANIAYA ......"
bukkkkk ...............
Beberapa menit kemudian, sang bos tertawa puas dan segera meninggalkan Rahmi yang menangis histeris dan Jaka yang telah kehilangan nyawanya.
Kejadian itu membuat Rahmi trauma dan selalu menangis jika melihat kecrekan yang dulu sempat dimainkannya. Pak Ahmad pun merasa sedih, namun dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya seorang pemulung yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan.
Peristiwa itu pun hanya menjadi sebuah cerita pilu untuk Rahmi. Tak ada seorang pun yang mencoba membantunya. Para penghuni kompleks kumuh tersebut hanya menyatakan iba dan memberi saran agar Rahmi tidak berkeliaran lagi. Mereka hanyalah sekelompok warga biasa yang hidup di hari ini untuk berjuang mengisi perut yang kosong. Masalah seperti ini hanya akan menjadi sebuah cerita kecil yang akan hilang seiring berjalannya waktu.
***
"Rahmi, ayo pulang" kata Pak Ahmad mendekati Rahmi yang masih berdiri sambil memegang payung.
"Tunggu sebentar Pak. Hujannya belum reda. Sedikit lagi ya" kata Rahmi
"Lihat, badanmu sudah tidak kuat lagi. Kamu menggigil nak. Ayo pulang"
"Duitnya baru sedikit. Rahmi masih kuat kok. Dikit lagi ya, Rahmi pengen ngumpulin duit buat benerin atap rumah"
Rahmi pun berlari mengejar seorang ibu yang kebingungan melihat hujan yang turun dengan derasnya.
Pak Ahmad menangis di bawah rintik hujan. Hujan yang membuat anaknya tercinta bermimpi. Hujan yang membuat anaknya berjuang sekeras ini. Hujan yang membuatnya merasa gagal sebagai seorang Bapak. Dalam hati ia berdoa, semoga hujan akan selalu membawa berkah dan senyuman untuk Rahmi.
***
Itulah Rahmi dan arti hujan untuknya. Diantara hujan yang membasahi jendela kamarku, aku menatap display laptopku, tampak foto Rahmi yang sangat bahagia di depan rumah barunya yang memiliki atap.
THE END
Pipit said " inspirasi datang dari foto dan puisinya kiki(Pichon) dan kejadian jalan - jalan bareng pengamen dan pengemis waktu pulang dari rumah Tante. Mimpi mereka mungkin sederhana , tapi kesederhanaan itu membuat mereka berjuang dan pantang mengeluh. Rasanya miris kalau melihat diri sendiri yang selalu mengeluh untuk meraih mimpi padahal Allah SWT telah memberikan kehidupan yang setidaknya lebih layak untukku. Bersyukur, jangan mengeluh - September 2009 "
- Regrads Pipit -