Selasa, 17 April 2012

BLOODY FANG #2


The truth of fang

Previously (chapter sebelumnya) :
- The way to find a fang

Charlotte tidak bisa tidur malam ini, dadanya bergemuruh pelan selaras dengan angin malam yang menyapu tubuhnya. Kedua tangannya tampak tertaut satu sama lain menahan desakan angin. Meskipun telah memakai kapuchon  hitam yang tebal, desakan angin tetap mampu menembus kulit Charlotte. Perlahan tapi pasti tengkuknya mulai bergetar. Charlotte merasa inilah waktu yang tepat untuk masuk ke dalam rumah mungilnya.

Perapian disudut ruangan tampak berderak – derak menyambut Charlotte. Sebelum menutup tirai di ruangan mini tersebut, mata Charlotte dengan cekatan memeriksa rimbunan pohon yang bergerak seakan membentuk sebuah irama. Charlotte mendesah, menunjukkan kelegaan yang mendalam. Setelah semua tirai tertutup, Charlotte menuju ke arah pintu dan memasang kunci serta gembok secara ganda. Tatapannya kemudian terarah pada sesuatu yang terpajang di dinding. Wajahnya yang muram mulai tersimpul, dia merasakan sebuah sengatan yang aneh. Sebuah spidol merah direngkuhnya dari atas meja. Tangannya mulai membentuk sebuah gerakan pada kalender. Sebuah tanda silang kini tampak terpatri pada angka 14 di kalender tersebut.

“Sudah seminggu”

*

Charlotte menata meja dengan rapi. Sebouquet bunga tertata anggun menemani hidangan di meja. Charlotte bersenandung riang menatap meja makan tersebut. Wajahnya menyiratkan kebahagiaan yang mendalam. Untuk pertama kalinya dia merasa bebas seperti ini, bisa tinggal dan hidup bersama orang yang selama ini dia sayangi serta terbebas dari jeratan ke tiga kakaknya. Awalnya dia merasa tidak yakin bahkan takut untuk melakukan ini semua, namun perkataan Algeron dan kekejaman yang terus dia alami membuatnya semakin berani untuk bertindak.

“Maafkan aku kak” desah Charlotte sambil meremas kalung yang melingkari lehernya.

Bayang – bayang ke tiga kakaknya mulai mewarnai pikirannya. Dia dapat mengingat dengan jelas saat ketiga kakaknya dengan baik hati memberikannya seporsi besar kue kacang kesukaannya. Hal itu terjadi ketika desa mereka diliputi dengan kemarau berkepanjangan serta kelaparan. Saat itu dia tahu kalau persediaan makanan mereka telah menipis, namun ketiga kakaknya tampak tidak ingin melihat dirinya kelaparan. Itulah kenangan terbaik yang dimiliki Charlotte mengenai ketiga kakaknya, kenangan yang terjadi belasan tahun yang lalu. Setelah tumbuh menjadi seorang gadis remaja, penyiksaan serta penekanan mulai diterimanya.

Deru sura mobil menyadarkan Charlotte dari kenangannya. 

“Edwin” kata Charlotte gembira.

Seketika itu pula Charlotte melepas celemek hijau yang membungkus tubuhnya dan berlari ke arah pintu masuk. Air mukanya yang bahagia berubah drastis saat melihat wajah Edwin. Langkahnya yang mantap pun berhenti mendadak di depan pintu. Otaknya mengatur anggota tubuhnya untuk tidak mendekati Edwin.

“Ada apa?” mulut Charlotte mengucapkan pertanyaan tersebut tanpa suara dan lebih ditujukan pada Algeron.

Algeron mengangkat kedua bahunya lalu menepuk bahu Edwin. Edwin menggeram perlahan dan berlari ke dalam rumah tanpa mempedulikan Charlotte. Charlotte berteriak memanggil nama Edwin dan ingin menyusulnya namun Algeron menahannya.

“Biarkan dia”

“Ada dengannya Edwin? Kenapa wajahnya jadi mengerikan seperti itu? Kenapa dia seperti benci melihatku?” tanya Charlotte tanpa henti.

Algeron menghela napas panjang dan berat, dia memberi isyarat pada Charlotte untuk duduk. Kepalanya yang mulai terlihat tandus dielusnya dengan perlahan, dia mencoba memikirkan alasan yang bagus untuk diceritakan pada Charlotte.

Sebelum Charlotte membuka mulutnya untuk mulai bertanya tentang ini-itu, Algeron berkata, “Kami bertemu ketiga saudarimu karena Algeron ingin meminta restu untuk membunuh mereka”. Bagian akhir dari kalimat tersebut, diucapkannya dalam hati.

Charlotte tercekat mendengar perkataan tersebut. Dia tahu bahwa tindakan Edwin sangat konyol karena sudah jelas ketiga saudarinya tidak akan memberikan restu meskipun Edwin bersujud dan mencium kaki mereka. Sekarang Charlotte mengerti mengapa wajah Edwin menjadi aneh saat pulang ke rumah mungil mereka.

“Terus apa yang terjadi?”

“Edwin membunuh mereka” batin Algeron.

Charlotte terus menatap Algeron yang tersenyum sendiri dan tidak menjawab pertanyaannya. Algeron tersadar dari pemikiran liarnya dan berdehem sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Tentu saja mereka bertengkar”

Charlotte memasang wajah sedih, tidak ada yang lebih menyakitkan baginya kecuali berada pada keadaan membingungkan seperti ini. Dia sangat mencintai Edwin namun disisi lain dia juga menyayangi keluarganya, namun satu hal yang pasti dia harus  memilih. Kekerasan yang diterimanya membuat batinnya semakin mantap untuk memilih Edwin tapi hari ini, ketika dia mendengar pertengkaran itu batinnya kembali tersiksa.

“Aku harus menemui Edwin, dia pasti sangat terpukul”

Algeron menarik tangan Charlotte dengan cepat lalu menggelengkan kepalanya.

“Kenapa?”

“Sebaiknya disini saja, dia butuh sendiri. Jangan kesana demi dirimu dan hubunganmu”

*

Malam semakin larut namun Charlotte tetap tidak bisa memejamkan matanya sendiri. Hampir lima jam dia berbaring di tempat tidur dan mencoba menutup matanya namun semuanya sia – sia. Sejam berikutnya dia mencoba menghitung domba, hal yang selalu dianjurkan ibunya jika dia terlihat susah tidur.

“seratus domba melompati pagar”

Charlotte mendesah lalu bangkit dari tempat tidurnya. Dia menatap bantal guling berselimut disebelahnya - tanpa Edwin. Sudah hampir seminggu Edwin tidak tidur dengannya. Setiap malam dia beralasan untuk melakukan sesuatu dan memilih menginap di rumah Algeron daripada pulang dan menemani Charlotte. Charlotte juga tidak pernah bisa duduk semeja lagi dengan Edwin ketika sarapan, makan siang, bahkan makan malam sekalipun.

Charlotte merasa Edwin telah berubah sejak bertemu dengan ketiga saudarinya. Dia merasa pasti telah terjadi sesuatu saat mereka bertemu sehingga perilaku Edwin berubah drastis. Charlotte selalu mencari kesempatan untuk menanyakan hal itu pada Edwin dan Algeron, namun keduanya tampak enggan mengungkit – ngungkit hal itu. Dan kini Charlotte pun tampaknya mulai bosan menanyakan hal yang sama.

Dia menatap keluar jendela sambil memikirkan itu semua. Bulan purnama bercak hitam tampak tersenyum pilu dibalik awan kelabu. Bulan tersebut tampak mengintip malu – malu dari balik awan, mencoba bermain hide and seek untuk menghibur Charlotte. Namun ketika melihat bulan penuh itu, hati Charlotte seperti teriris. Dia mengingat Edwin serta wajahnya yang kecoklatan ketika menatap Charlotte setiap bulan purnama menjelang. Edwin sangat suka mengajak Charlotte duduk dipinggir hutan saat malam menjelang dan menampakkan cahaya putih temaran dilangit yang gelap. Tapi, malam ini hal tersebut tidak dapat terjadi karena Edwin telah berubah.

Malam yang sama ditempat lain . . .

Edwin mondar – mandir di sebuah aula, dia tidak peduli dengan dengungan suara orang – orang yang berada di tempat tersebut. Dahinya tampak berkerut sementara kedua tangannya yang kekar mengelus dagunya yang bersih tanpa janggut.

“Apa yang sebenarnya kau pikirkan Edwin?” kata seorang pria jangkung berkulit pucat.

“Dia memikirkan rencana yang tepat untuk menghabiskan keluarga tersebut tanpa sisa” Algeron menjawab dari balik meja bundar yang berada di tengah aula.

“Aku tidak bertanya padamu Reamus, aku bertanya pada anak ini” pria jangkung menunjuk ke arah Edwin.

“Tenanglah Lanny, Algeron benar. Aku sedang memikirkan sesuatu yang bagus untuk membinasakan mereka tanpa sisa”

Pria jangkung tampak puas mendengar perkataan Edwin. Dia mengangguk khidmat dan memamerkan giginya yang putih dan berjejer rapi. Algeron menghela napas panjang dan tertunduk, entah mengapa dia merasa kasihan pada Charlotte yang sebenarnya tidak pantas untuk dijadikan tumbal.

“Kau tampak ragu, Reamus” kata seorang pria berkulit hitam dan bertubuh kekar yang duduk tepat diseberang Algeron.

“Dia kasihan pada gadis kecil keluarga Louis” lanjut seorang pria yang berwajah serupa dengan si pria hitam.

“Bagaimana bisa kalian mengatakan hal itu setelah apa yang telah ku lakukan untuk keluarga kecil ini? Tanyakan pada diri kalian sendiri apa yang terjadi pada gadis berambut emas dari keluarga Louis yang ditugaskan untuk kalian. Dimana dia sekarang? Naluri liarku mengatakan kalian menyembunyikannya, dasar saudara kembar yang aneh” cecar Algeron.
Kedua pria berkulit hitam itu tampak geram dan menggebrak meja bundar. Edwin menganggkat kedua tangannya, mencoba menenangkan suasana aula yang tampaknya mulai memanas.
“Phoeboo, Phoebee aku harap kalian duduk tenang” kata Edwin sambil mendekati kedua pria hitam tersebut lalu melanjutkan “Algeron, ku mohon bersikap dewasa”

Algeron menatap Edwin dengan tajam seakan berbicara “aku sudah bersikap dewasa”. Setelah semua yang hadir disitu tampak mulai menguasai emosi masing – masing, Edwin duduk disalah satu kursi dan mulai berbicara tentang rencananya dan apa yang harus dilakukan tiap anggota keluarga Sparks.

“Demi kelangsungan para serigala dan manusia, mari kita bersulang” Edwin mengakhiri pertemuan hari itu dengan sebuah dentingan gelas.

*

Algeron merasa semakin aneh dengan sikap Edwin. Edwin tampak telah kehilangan rasa cinta yang dulu sempat tumbuh memenuhi ruang dihatinya. Edwin kini seperti seorang pria bertubuh atletis yang pongah dan kasar. Awalnya Algeron tidak begitu peduli dengan perkataan Edwin yang ingin menghabisi seluruh keluarga Louis karena dia tahu bahwa Edwin sangat mencintai Charlotte, dan rasa cinta itu akan menyelamatkan semuanya. Namun melihat kematangan rencana Edwin, Algeron mulai merasa takut dan khawatir.

Perang telah terjadi di dalam hati Algeron, disatu sisi dia sangat mendukung keinginan Edwin untuk melakukan balas dendam pada keluarga Louis namun disatu sisi dia tidak tega melihat Charlotte dijadikan ‘alat’ untuk membalaskan dendam.

Sore ini di kabin tuanya, Algeron termenung memikirkan hal itu. Dalam hatinya dia tahu bahwa kebenciannya pada keluarga Louis sama sekali tak penting. Keluarganya telah bertahun – tahun bekerja pada keluarga itu. Perlakuan keluarga Louis pada para pelayan dan pekerja sangatlah baik sehingga keluarga Algeron secara turun temurun mengabdi pada keluarga tersebut meskipun telah mengetahui kenyataan kelam yang disembunyikan keluarga itu. Tapi, rasa cinta yang tumbuh dihati Algeron pada seorang gadis dari keluarga tersebut mengubah segalanya secara drastis.

Algeron merupakan penerus keluarga Reamus terakhir yang mengabdi pada keluarga Louis. Algeron menyimpan dendam yang sangat mendalam pada Atheos, tetua keluarga Louis yang diketahui masih hidup hingga saat ini. Atheos dengan kejam membunuh salah satu anak gadis keluarga Louis hanya karena menjalin hubungan dengan Algeron. Pembunuhan sadis itu dilakukannya dihadapan Algeron langsung.

Sebelum melihat kejadian mengenaskan itu, tubuh Algeron dipecut oleh cambuk hingga lemas. Penyiksaan keji pada gadis muda yang disayangi Algeron dimulai dengan pemasungan. Tubuh gadis itu tampak gemetar hebat saat dua pria dewasa menariknya secara kasar ke arah pasung yang telah disediakan. Atheos tersenyum licik dari bangkunya lalu melempar wajah gadis muda itu dengan tomat busuk.

“Rasakan baunya” teriak Atheos dengan suara serak.

Algeron menatap hal tersebut dengan iba dan berdoa dalam hati semoga hal itu tidak akan menjadi lebih buruk. Namun, saat Atheos melempar sebongkah batu bulat hitam ke wajah gadis muda itu, Algeron tahu bahwa Atheos berniat membunuh gadis itu dengan cara menyiksanya.
Algeron bergidik mengingat hal itu. Tangannya yang memegang pancingan hitam mulai bergetar. Dia membuang pancingan tersebut ke dalam danau dan berlari mengambil kunci mobil tuanya.

“Aku harus menyelamatkan Charlotte dari dua keluarga gila ini”

*

“Charlotte”

Charlotte mengangkat wajahnya dari panci sup, dia merasa mendengar suara seseorang memanggilnya. Matanya mengarah ke arah sumber suara.

“Charlotte”

Charlotte tersenyum menatap pemilik suara itu lalu berkata dalam nada yang wajar, “kenapa kau berbisik seperti itu Algeron?”

Algeron melompati jendela dapur  lalu menarik tubuh Charlotte mendekatinya.

“Edwin ada dirumah?”

Charlotte menggelengkan kepala dan menatap Algeron dengan heran. Dia menarik salah satu kursi dan mempersilahkan Algeron duduk.

“Sebaiknya kita pergi, ah maksudku sebaiknya kau pergi dari rumah ini”

“Maksudnya?”

“Charlotte, aku tahu jika kau mendengar hal ini kau akan terkejut bahkan mungkin tidak akan mempercayainya tapi aku rasa aku harus menceritakannya”

Charlotte mengangguk dan berkata,”Aku akan siap mendengar apapun”

Seperti biasa, Algeron menarik napas berat sebelum mulai bercerita. Dia memulai dengan kejadian naas yang menimpa ketiga saudarinya saat Edwin pergi menemui mereka. Dia juga menceritakan alasan sebenarnya mengapa Edwin kini berubah. Algeron dengan nada rendah dan keengganan yang besar juga menceritakan tentang rencana Edwin yang ingin menghabisi keluarga Louis seutuhnya, dan menjadikan Charlotte sebagai tumbal. Dia pun tak lupa menambahkan kata menyesal karena telah membuat Edwin seperti itu.

“Aku menyesal menceritakan apa yang terjadi pada kedua keluarga ini padanya. Aku pikir, rasa cintanya padamu lebih besar daripada amarahnya. Tapi ternyata, aku salah . . . salah besar”

Charlotte tetap diam. Wajahnya tampak pucat dan dingin. Bulir – bulir airmata menetes membasahi pipinya. Jauh di dalam hatinya dia ingin menolak dan tidak mempercayai apa yang dikatakan Algeron namun hati kecilnya dengan sigap mengatakan bahwa Algeron pasti berkata jujur.

“A-a-apa yang sebenarnya terjadi p-p-pada keluargaku dan . . .” Charlotte tampak tidak sanggup melanjutkan pertanyaannya. Dia terisak kuat dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang ringkih.

“Aku berjanji akan menceritakannya, tapi lebih baik kita berkemas dan pergi dari tempat ini”

Charlotte terlihat ragu namun Algeron menyebutkan beberapa fakta yang bisa membuatnya yakin. Dan apa yang selama ini terjadi sudah cukup membuatnya sadar tentang satu hal, keluarganya dan keluarga Edwin menyembunyikan sesuatu. Jika dia ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, dia harus mengikuti Algeron dengan membawa setitik harapan.

Algeron menatap Charlotte untuk memastikan keputusan Charlotte. Dia tahu pasti sangat sulit bagi Charlotte untuk segera bergerak dan melakukan apa yang dikatakannya, namun gadis itu menampakkan sebuah semangat yang berbeda. Airmatanya memang masih menetes namun tubuh dan raut wajahnya menampakkan semangat yang kuat untuk menjauhi segala macam masalah. Algeron tahu bahwa sejak kecil, Charlotte pasti telah mengalami banyak penderitaan. Dan kini, disaat hatinya mulai memilih sebuah kebebasan yang dianggapnya terbaik dan akan membawakan kebahagiaan, takdir yang tertulis berkata lain. Algeron tidak yakin ada gadis lain yang akan kuat berdiri seperti Charlotte setelah melewati ini semua.

“Aku siap” kata Charlotte dengan lemah.

Algeron menatap Charlotte dengan tatapan yang menguatkan lalu dengan sigap mengangkat koper milik Charlotte ke dalam bagasi.

“Sebaiknya kau duduk dibelakang dan menutup tubuhmu dengan kain ini” Algeron melempar sebuah kain kotak – kotak tebal ke arah Charlotte.

Charlotte segera menuruti hal tersebut. Dia meringkuk dikursi belakang sambil terus mengingat kembali perkataan Algeron yang baru saja didengarnya. Dia sangat mencintai Edwin dan separuh dari hatinya masih tetap tidak mempercayai hal tersebut dan memaksa dirinya untuk tetap tinggal. Namun, sebagian dari hatinya lagi – bahkan hati kecilnya – menggerakkan naluri bertahan hidup yang ada pada dirinya dan juga sebuah kepastian. Tubuh Charlotte tampak lelah menjalani berbagai macam cobaan, sesekali dia ingin berlari dari semua yang ada tanpa pasrah menerima atau bahkan melawan. Charlotte tahu bahwa pasrah menerima dan melawan kini tidak lagi berlaku karena dirinya akan tetap tersakiti. Selain itu dia ingin memastikan satu hal.

“Sebaiknya aku memastikan ini semua lalu berlari dari mereka” batinnya.

*

Charlotte terbangun dari tidurnya karena mendengar suara Algeron yang memanggil namanya. Dia mengucek kedua matanya dan melihat sekelilingnya yang mulai gelap.

“Sebaiknya kau makan ini, sekarang sudah malam sebaiknya kau diam di dalam mobil”

Algeron menyodorkan dua buah roti gandum dan segelas susu hangat yang tampaknya baru saja dibelinya di sebuah pom bensin yang tampak berkedip beberapa meter dari tempat mereka terdiam.

“Dimana kita?” tanya Charlotte.

“Perbatasan, jangan kaget seperti itu. Aku harus membawamu pergi jauh dari kota ini. Menjauh dari keluarga Sparks dan keluargamu sendiri. Meskipun aku tahu itu adalah hal terkonyol yang pernah dilakukan oleh seseorang karena keluargamu memiliki koneksi yang sangat luas dan keluarga sparks memiliki . . .” Algeron tidak dapat melanjutkan kata – katanya. Dia menjatuhkan kopi yang dipegangnya seperti tersadar akan sesuatu.

“Oh tidak, aku melupakan hal terpenting”

“Kenapa?”

Algeron tidak menjawab pertanyaan Charlotte dan segera berlari ke arah pom bensin setelah mengambil beberapa potong baju milik Charlotte. Beberapa menit kemudian Algeron kembali dengan membawa sekaleng bensin. Dia menarik Charlotte keluar dari dalam mobil.

“Lumuri bensin ini ke tubuhmu”

“Apa kau gila?”

“Cepat !!!! Edwin memiliki penciuman serigala”

Charlotte membelalakkan matany. Algeron menghela napas lalu dengan kesal membasahi tubuh Charlotte dengan bensin. Charlotte mencoba mengelak namun gerakan Algeron tidak dapat diduga sehingga kini badannya telah basah dan berbau bensin.

“Bawa peta ini, kau harus pergi ke tempat yang ku lingkari. Dan ini uang yang akan menjadi bekalmu selama perjalanan. Sebaiknya kau cepat pergi dari sini” kata Algeron tergesa – gesa.
Charlotte tampak bingung dengan itu semua. Dia hanya menatap peta dan beberapa lembar uang yang ada ditangannya.

“Cepat !!! Aku akan menemui ditempat itu dan menceritakan detailnya” Algeron masuk ke dalam mobil dan mengambil sebuah agenda lalu berkata, “aku sudah menyiapkan sebuah penjelasan untukmu jika aku tidak dapat mendampingimu lagi. Aku tidak menyangka akan secepat ini. Semuanya ada di agenda ini, bacalah nanti!”

“Algeron , kau membuatku bingung”

Algeron tidak menggubris perkataan Charlotte dan bergumam, “ Oh tidak, dia datang”

Algeron dengan cekatan mendorong Charlotte dan menyuruhnya berlari sejauh mungkin dari tempat itu meskipun dia mendengar Edwin berteriak memanggil namanya. Charlotte merasa dadanya bergemuruh aneh, namun dia tahu bahwa dia harus menuruti perkataan Algeron.

Tubuh Charlotte menghilang diantara semak dan pepohonan dipinggir jalan tepat saat suara Edwin menggema karena amarah. Charlotte sempat mendengar suara Algeron dan Edwin serta seorang pria yang sedang berdebat sebelum akhirnya dia benar – benar menerobos masuk ke dalam semak belukar.

“KAU MEMBAWA KABUR CHARLOTTE !!!” suara Edwin terdengar keras dan kasar.

“Dia yang mengancamku untuk membawanya pergi karena sikapmu” jawab Algeron.

“BOHONG !!!” teriak seorang pria yang suaranya tidak dikenal Charlotte.

“LANNY ! JANGAN IKUT CAMPUR !!!” suara Edwin kembali menggema.

Setelah itu, Charlotte tidak dapat mendengar dengan jelas perdebatan itu. Dia hanya terus berlari tanpa menoleh ke belakang seperti permintaan Algeron. Peluhnya bercucuran seiring dengan langkah kakinya yang semakin kencang.

“Algeron, semoga kau baik – baik saja”

***

Charlotte telah duduk di depan perapian sambil menikmati secangkir susu hangat. Ditangan kanannya tergenggam sebuah agenda yang diberikan Algeron.

“Seabad lebih keluarga Louis dan Sparks bersitegang mengenai hal yang sebenarnya tidak ku ketahui. Ayah mengatakan padaku jika saatnya sudah tepat aku akan tahu kenyataan itu dan aku harus berjanji agar menjaga kehormatan keluarga Louis”

Charlotte membuka lembar demi lembar berikutnya dengan cepat.

“Hari ini semuanya terungkap. Aku melihat para Nona muda keluarga Louis berpesta di sebuah ruangan gelap. Aku melihat seorang gadis muda berpakaian putih dan berlumuran darah berbaring disana tepat saat Ayah menarikku. Ayah memarahi tingkahku yang tidak tahu malu ini. Aku tertunduk dan hanya berkata, ‘aku sudah tujuh belas Ayah sebaiknya aku tahu’. Ayah menghela napas dan menceritakannya sementara aku bergidik”

Charlotte menerawang jauh, mencoba mengingat kembali rumahnya di desa kecil. Dia ingat bahwa rumah setiap keluarga Louis pasti memiliki sebuah ruang bawah tanah tak tersentuh.

“Mereka keluarga penyihir hitam. Tradisi aneh selalu meliputi keluarga ini. Aku takut berada disini, namun Ayah mengingatkanku bahwa mereka sama sekali tidak tertarik pada darah pria sepertiku. Mereka hanya tertarik pada wanita muda”

Charlotte menutup agenda itu dengan kencang, airmatanya menetes. Sekarang dia tahu penyebab hilangnya beberapa wanita bangsawan muda di desanya. Charlotte kemudian melempar begitu saja agenda hitam itu. Secarik kertas pun tampak mencuat dari tengah agenda. Charlotte memungutnya dan mencoba membaca tulisan melingkar yang tampaknya bukan tulisan Algeron.

“Darah Werewolf untuk kehidupan abadi”

continue . . .


- Regards Pipit, menulis dan menggambar karena cinta -

2 komentar:

  1. Hoaaaaam panjang sekali, tapi perfecto ngga ada typo ding..

    Kasian Charlotte.. Edwin misterius.. gw kira awalnya Charlotte itu masih anak kecil kak, ternyata mereka udah menikah yah..

    BalasHapus
  2. haha iya panjangnya amit2 -_-,

    iya :D namanya juga anak bungsu jadi begitulah :3

    BalasHapus

what do u think, say it !